Sabtu, 31 Juli 2010

BIMBINGAN KONSELING

BIMBINGAN KONSELING


KONSEP BIMBINGAN KONSELING

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.

Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/12/paradigma-baru-bimbingan-dan-konseling/

Landasan Bimbingan dan Konseling

Agar dapat berdiri tegak sebagai sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan memberikan manfaat bagi kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun di atas landasan yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis; (3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor mutlak perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.

Kata kunci : bimbingan dan konseling, landasan filosofis, landasan psikologis; landasan sosial-budaya, landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

A. Pendahuluan

Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien).

Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya.

Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,- sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya.

Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.

B. Landasan Bimbingan dan Konseling

Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum.

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut:

1. Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :

• Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.

• Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.

• Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.

• Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.

• Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.

• Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.

• Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.

• Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.

• Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.

2. Landasan Psikologis

Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.

a. Motif dan Motivasi

Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.

b. Pembawaan dan Lingkungan

Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.

c. Perkembangan Individu

Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.

d. Belajar

Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.

Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.

e. Kepribadian

Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :

• Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

• Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.

• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.

• Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.

• Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.

• Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian.

3. Landasan Sosial-Budaya

Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.

Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.

4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.

Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).

Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.

Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.

Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.

Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.

Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi.

Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Sebagai sebuah layanan profesional, bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.

Landasan bimbingan dan konseling yang kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.

Landasan bimbingan dan konseling meliputi : (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya; dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Landasan filosofis terutama berkenaan dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan bimbingan dan konseling.

Landasan psikologis berhubungan dengan pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c) perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.

Landasan sosial budaya berkenaan dengan aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling, termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.

Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

Layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.

Sumber Bacaan :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius

Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti

Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.

Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika

Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company

Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB – IKIP Bandung

.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK SMP, SMA dan SMK

Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas

.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Rineka Cipta

.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta

Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Raja Grafindo

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.

Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/landasan-bimbingan-dan-konseling/

Tujuan Bimbingan dan Konseling

Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.

Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir.

1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:

• Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.

• Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.

• Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

• Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.

• Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.

• Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat

• Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya.

• Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.

• Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.

• Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.

• Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :

• Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.

• Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.

• Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.

• Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.

• Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.

• Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.

3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :

• Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.

• Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.

• Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.

• Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.

• Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.

• Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.

• Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.

• Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.

• Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/14/tujuan-bimbingan-dan-konseling/

Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling

Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :

1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.

2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).

3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.

4. Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.

5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.

6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.

7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.

8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.

9. Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.

10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli

Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:

1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).

2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.

3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.

4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.

5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.

6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.

1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.

2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.

3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.

4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.

5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.

6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.

7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.

8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.

10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.

11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/14/fungsi-prinsip-dan-asas-bimbingan-dan-konseling/

Bidang Bimbingan dan Konseling

Terdapat empat bidang bimbingan dan konseling yang menjadi ruang lingkup pelayanan. Keempat bidang tersebut adalah:

• Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.

• Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.

• Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.

• Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/bidang-bimbingan-dan-konseling/

Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling

Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:

Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.

Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.

• Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.

• Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.

• Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.

• Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan

• Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.

• Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.

• Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.

Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :

• Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.

• Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.

• Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.

• Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.

• Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/jenis-layanan-bimbingan-dan-konseling/

Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling

Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :

Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.

Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.

1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.

2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.

3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).

Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).



Gambar 1.

Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)

dalam Jalur Pendidikan Formal

Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan diri konseli.

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/14/posisi-pengembangan-diri-dalam-bimbingan-dan-konseling/

Konsep Bimbingan Karier

Konsep bimbingan jabatan lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat pada awal abad keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu (1850-1900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti urbanisasi; (3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk kembali dan menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka meningkatkan kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific), khususnya dalam bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang dipelopori oleh Freechner, Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan oleh Cattel, Binnet dan yang lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka muncullah gerakan bimbingan jabatan (vocational guidance) yang tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah, 1987).



Isitilah vocational guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun 1908 ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu anak-anak muda dalam memperoleh pekerjaan.

Pada awalnya penggunaan istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan.

Namun sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan dari model okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua model ini memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan individu untuk memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada kesesuaian antara bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan pada model karier, tidak hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan pekerjaan, namun mencoba pula menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan tujuan-tujuan yang lebih jauh sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri, rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai turut dipertimbangkan.

Bimbingan karier tidak hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan. Penggunaan istilah karier didalamnya terkandung makna pekerjaan dan jabatan sekaligus rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan bahwa istilah bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan bimbingan karier menitikberatkan pada perencanaan kehidupan seseorang dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang layak dilaksanakannya dalam masyarakat.

Perubahan istilah dari bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier mengandung konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut pula untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam rangka perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang. Dalam perkembangannya, sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dewasa ini, bimbingan karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil mempelopori pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling.

Sementara itu, dalam perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah mulai dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di SMA pada waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan bimbingan dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama bimbingan penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994, bimbingan karier ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan.

Sampai dengan sekarang ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang bimbingan. Dalam konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya membantu siswa dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill), yang merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education).

Terkait dengan penjabaran kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di SMTA, bidang bimbingan karier diarahkan untuk :

1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan.

2. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya.

3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA.

5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.

6. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin, dkk, 2004)

Sumber :

Bahrul Falah. 1987. Konstribusi Orientasi Nilai Pekerjaan dan Informasi Karier terhadap Kematangan Karier (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.

Hattari. 1983. Ke Arah Pengertian Bimbingan Karier dengan Pendekatan Developmental. Jakarta : BP3K.

Muslihudin, dkk. 2004. Bimbingan dan Konseling (Makalah). Bandung : LPMP Jawa Barat.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/07/konsep-bimbingan-karier/

Kesulitan Belajar dan Bimbingan Belajar

Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.



Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :

1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.

2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah

3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.

4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.

5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.

6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

7. Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :

8. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).

9. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.

10. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

1. Tujuan pendidikan

Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.

2. Kedudukan dalam Kelompok

Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.

Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.

3. Perbandingan antara potensi dan prestasi

Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.

4. Kepribadian

Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.

B. Bimbingan Belajar

Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut

1. Identifikasi kasus

Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :

• Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.

• Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.

• Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.

• Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.

• Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2. Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.

3. Diagnosis

Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

4. Prognosis

Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)

Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

6. Evaluasi dan Follow Up

Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :

• Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;

• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan

• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.

Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:

• Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.

• Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.

• Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).

• Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).

• Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya

• Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.

• Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya

Sumber bacaan :

Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud

Prayitno (2003), Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/kesulitan-dan-bimbingan-belajar/

Informasi Karier

Layanan informasi marupakan salah satu jenis layanan dalam bimbingan konseling di sekolah yang amat penting guna membantu siswa agar dapat terhindar dari berbagai masalah yang dapat mengganggu terhadap pencapaian perkembangan siswa, baik yang berhubungan dengan diri pribadi, sosial, belajar ataupun kariernya., Melalui layanan informasi diharapkan para siswa dapat menerima dan memahami berbagai informasi, yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan siswa itu sendiri.

Seorang siswa dalam kehidupannya akan dihadapkan dengan sejumlah alternatif, baik yang berhubungan kehidupan pribadi, sosial, belajar maupun kariernya. Namun, adakalanya siswa mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dalam menentukan alternatif mana yang seyogyanya dipilih. Salah satunya adalah kesulitan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan rencana-rencana karier yang akan dipilihnya kelak. Mereka dihadapkan dengan sejumlah pilihan dan permasalahan tentang rencana kariernya. Diantaranya, mereka mempertanyakan, dari sejumlah jenis pekerjaan yang ada, pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya kelak setelah menamatkan pendidikan ?

Kesulitan-kesulitan untuk mengambil keputusan karier akan dapat dihindari manakala siswa memiliki sejumlah informasi yang memadai tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia kariernya. Untuk itulah, mereka seyogyanya dapat dibimbing guna memperoleh pemahaman yang memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik dirinya, baik tentang bakat, minat, cita-cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada dalam dirinya. Dalam hal ini, tentunya tidak cukup hanya sekedar memahami diri. Namun juga harus disertai dengan pemahaman akan kondisi yang ada dilingkungannya, seperti kondisi sosio-kultural, pasar kerja, persyaratan, jenis dan prospek pekerjaan, serta hal-hal lainnya yang bertautan dengan dunia kerja. Sehingga pada gilirannya siswa dapat mengambil keputusan yang terbaik tentang kepastian rencana karier yang akan ditempuhnya kelak.

Dalam memberikan layanan informasi karier setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu tentang : (1) materi informasi dan (2) teknik layanan informasi.

Materi Informasi.

Dalam era informasi dewasa ini sesungguhnya kemudahan untuk memperoleh informasi sangat terbuka, baik melalui media cetak atau eleltronik. Terutama setelah adanya kemajuan yang menakjubkan dalam bidang teknologi komputer multi media, maka dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat kita dapat mengakses ribuan bahkan jutaan jenis informasi melalui internet. Namun, karena begitu banyak dan beragamnya jenis informasi yang dapat diakses, sehingga tidak mustahil dapat menimbulkan kekacauan informasi. Untuk itulah, dalam upaya pemberian layanan informasi seyogyanya dibutuhkan sikap arif dan selektif dari konselor dalam memilih berbagai materi informasi, yang sekiranya benar-benar dapat memberikan manfaat besar bagi siswa.

Materi informasi yang diberikan kepada siswa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan siswa, sehingga benar-benar dapat dirasakan lebih bermanfaat dan memiliki makna (meaningful). Pemilihan dan penetuan jenis materi informasi yang tidak didasarkan kepada kebutuhan dan masalah siswa akan cenderung tidak memiliki daya tarik, sehingga siswa akan menjadi kurang partisipatif dan kooperatif dalam mengikuti kegiatan layanan. Materi informasi yang lengkap dan akurat akan sangat membantu siswa untuk lebih tepat dalam mempertimbangkan dan memutuskan pilihan kariernya.

Beberapa jenis materi informasi tentang karier yang mungkin dibutuhkan siswa, diantaranya:

• Tugas perkembangan masa remaja tentang kemampuan dan perkembangan karier.

• Perkembangan dan prospek karier di masyarakat.

• Kursus-kursus dalam rangka pengembangan karier.

• Langkah-langkah dalam memasuki pekerjaan, jenis pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan.

• Syarat-syarat pekerjaan yang dapat dimasuki setelah tamat SMA.

• Kemungkinan permasalahan dalam pilihan pekerjaan, karier, dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya.

Di samping itu, materi informasi yang bersifat personal, seperti bakat, ciri-ciri kepribadian atau minat pekerjaan perlu dikuasai oleh siswa.

Hanya perlu dipertimbangkan jika memang sekolah sudah dapat menyelenggarakan pemeriksaan psikologis/tes psikologis, maka penyampaian materi hasil-hasil pemeriksaan psikologis harus benar-benar dilaksanakan secara cermat dan di bawah pengawasan konselor. Karena, biasanya data hasil pemeriksaan psikologis dideskripsikan dalam bahasa/terminologis tertentu, yang tentunya tidak semua siswa dapat memaknainya sendiri. Data-data personal ini memang perlu dipahami dan dimaknai oleh siswa, karena dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri, seperti kecerdasan, bakat, ciri-ciri kepribadian, atau minat pekerjaannya, siswa akan dapat lebih akurat lagi dalam mengambil keputusan kariernya, sesuai dengan karakterisitik diri yang dimikinya.

Teknik Layanan Informasi

Disamping konselor dituntut untuk banyak memahami berbagai informasi yang akan dibutuhkansiswa, juga seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik penyampaiannya secara variatif dan menyenangkan. Tanpa didukung kekayaan informasi dan keterampilan penyampaian, layanan informasi dikhawatirkan menjadi tidak memiliki daya tarik di hadapan siswa.

Penyampaian informasi bisa dilakukan oleh konselor itu sendiri melalui teknik ekspositorik. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara meminta bantuan dari pihak lain sebagai nara sumber, misalkan dengan mengundang “tokoh karier”. Upaya pemanfatan nara sumber memiliki keunggulan tersendiri, yakni informasi yang diberikan cenderung bersifat nyata, berdasarkan hasil pengalamannya.

Selain itu, dapat dilakukan pula melalui media “papan bimbingan”, yakni dengan menyediakan papan informasi untuk menempelkan berbagai bentuk tulisan yang mengandung nilai informasi. Untuk itu, konselor dituntut secara kreatif untuk dapat mengoleksi berbagai tulisan, keterangan, artikel, atau klipping yang berhubungan dengan karier.

Jika mengacu pada teori kontruktivisme yang saat ini sedang dikembangkan. Penggunaan teknik layanan informasi seyogyanya lebih mengedepankan aktivitas dan partisipasi siswa dalam menentukan kebutuhan, menggali dan mengolah serta menarik kesimpulan dari informasi yang diperolehnya. Misalkan, untuk memahami tentang kondisi nyata kehidupan di suatu perusahaan, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak langsung untuk berkunjung dan melakukan pengamatan ke perusahaan tertentu. Dari hasil kunjungan, siswa akan memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan, dalam rangka menambah wawasan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan kariernya, sekaligus dapat membangun dan mengembangkan sikap-sikap positif dan konstruktif terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja dibutuhkan sosiabilitas yang tinggi dari konselor untuk dapat menjalin hubungan secara luas dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk memfasilitasi siswa dalam proses penggalian informasi.

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sumber informasi saat ini dapat dengan mudah diakses melalui teknologi komputer multi media, maka dalam hal ini tidak salahnya konselor untuk belajar menguasai teknologi internet untuk menjelajah situs-situs yang menyediakan informasi yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier.

Dengan mengenal situs-situs yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier, maka di samping konselor dapat memperoleh berbagai tambahan informasi untuk dirinya, juga dapat menunjukkannya kepada siswa, agar siswa dapat belajar secara langsung menjelajah dan menggali berbagai informasi karier yang tersedia dalam internet.

Sumber bacaan :

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK

Depdikbud (1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV;

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta : IPBI

Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Guru Pembimbing SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/04/informasi-karier/

Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai

Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), menulis sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20 dengan judul tulisan “Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”. Isi tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut :

Bahwa tugas seorang konselor adalah menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada kawasan layanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengembilan keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui pendidikan mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor.

Seorang konselor sebagai pengampu layanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik, menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap pengguna layanan, dan selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.

Dengan karakteristik keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor dipersyaratkan memiliki kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani; (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.

Berkenann dengan komponen Pengembangan Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan untuk tidak menyeret layanan bimbingan dan konseling ke arah pembelajaran seperti bidang studi. Menurutnya, bahwa Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah kerja semua pendidik di sekolah dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya, pengembangan bakat dan minat peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang studi karena akan menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan berperan membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada dirinya., misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan yang paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier. Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin seorang konselor mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat peserta didik.

Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak bisa digantikan dengan komponen pengembangan diri, melainkan tetap sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi kepada upaya memfasilitasi kemandirian peserta didik.

Jika acuan guru bidang studi adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL), acuan konselor adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral, akademik, pribadi-sosial, dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh konselor dan setiap satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konseling.

Pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling merentang mulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh Roving Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu guru menyusun Program BK yang terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi perilaku yang mengganggu, melalui direct behavioral consultation.

Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi peserta didik secara optimal dan salah satunya adalah kemandirian dalam mengambil keputusan perencanaan pendidikan dan karier.

Pada jenjang SMP dan SMA, layanan Bimbingan dan Konseling untuk semakin mengokohkan pilihan dan pengembangan karier sejalan dengan bidang vokasi yang menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier (soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill) harus dikembangkan secara sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional.

Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk semakin memantapkan karier yang sebisa mungkin yang paling cocok, baik dengan rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang produktif, sejahtera, serta berguna untuk manusia lain.

Selain itu, dikemukakan pula tentang layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus dan anak berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus layanan Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan intervensi tidak langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan perkembangan yang akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus. Sedangkan layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini, konselor berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya

Atas semua itu, saat ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK, BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar kompetensi konselor, pendidikan profesional konselor dan penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya pengembangan Standar Kompetensi Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi konselor.

Sumber : Sunayo Kartadinata.“Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/07/layanan-bimbingan-dan-konseling-sarat-nilai/

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 1

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

I. Struktur Pelayanan Bimbingan dan Konseling

Pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah/madrasah merupakan usaha

membantu peserta didik dalam pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial,

kegiatan belajar, serta perencanaan dan pengembangan karir. Pelayanan Bimbingan

dan Konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik, secara individual, kelompok

dan atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, perkembangan,

kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki. Pelayanan ini juga membantu mengatasi

kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi peserta didik.

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara

perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal,

dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar,

dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung,

berdasarkan norma-norma yang berlaku.

B. Paradigma, Visi, dan Misi

1. Paradigma

Paradigma Bimbingan dan Konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan

dalam bingkai budaya. Artinya, pelayanan Bimbingan dan Konseling berdasarkan

kaidah-kaidah keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam

kaji-terapan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan

peserta didik.

2. Visi

Visi pelayanan Bimbingan dan Konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan

yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian

dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar peserta didik berkembang

secara optimal, mandiri dan bahagia.

3. Misi

Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan peserta didik melalui pembentukan

perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan masa depan.

Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan kompetensi

peserta didik di dalam lingkungan sekolah/ madrasah, keluarga dan masyarakat.

Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah peserta didik

mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 2

C. Bidang Pelayanan Bimbingan dan Konseling

Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta

didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat

dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya

secara realistik.

Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik

dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial

yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan

sosial yang lebih luas.

Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta

didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan

sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.

Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam

memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.

D. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan

lingkungannya.

Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau

menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat

perkembangan dirinya.

Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang

dialaminya.

Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik

memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang

dimilikinya.

Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak

dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.

E. Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling

Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling berkenaan dengan sasaran layanan,

permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan

pelaksanaan pelayanan.

Asas-asas Bimbingan dan Konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan,

keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan,

keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 3

F. Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling

Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru,

terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk

menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di

lingkungan yang baru.

Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami

berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.

Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh

penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar,

jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.

Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten

tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di

sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Bimbingan dan Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik

dalam mengentaskan masalah pribadinya.

Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam

pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan,

dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika

kelompok.

Bimbingan dan Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam

pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam

memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam

menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.

Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan

memperbaiki hubungan antarmereka.

G. Kegiatan Pendukung

Aplikasi Instrumentasi, yaitu kegiatan mengumpulkan data tentang diri peserta didik dan

lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes.

Himpunan Data, yaitu kegiatan menghimpun data yang relevan dengan pengembangan

peserta didik, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis, komprehensif,

terpadu, dan bersifat rahasia.

Konferensi Kasus, yaitu kegiatan membahas permasalahan peserta didik dalam

pertemuan khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data,

kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah peserta didik, yang bersifat

terbatas dan tertutup.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 4

Kunjungan Rumah, yaitu kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen bagi

terentaskannya masalah peserta didik melalui pertemuan dengan orang tua dan atau

keluarganya.

Tampilan Kepustakaan, yaitu kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang

dapat digunakan peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial,

kegiatan belajar, dan karir/jabatan.

Alih Tangan Kasus, yaitu kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah peserta

didik ke pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.

H. Format Kegiatan

Individual, yaitu format kegiatan Bimbingan dan Konseling yang melayani peserta didik

secara perorangan.

Kelompok, yaitu format kegiatan Bimbingan dan Konseling yang melayani sejumlah

peserta didik melalui suasana dinamika kelompok.

Klasikal, yaitu format kegiatan Bimbingan dan Konseling yang melayani sejumlah

peserta didik dalam satu kelas.

Lapangan, yaitu format kegiatan Bimbingan dan Konseling yang melayani seorang atau

sejumlah peserta didik melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.

Pendekatan Khusus, yaitu format kegiatan Bimbingan dan Konseling yang melayani

kepentingan peserta didik melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat

memberikan kemudahan.

I. Program Pelayanan

1. Jenis Program

Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.

Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi

seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.

Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.

Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.

Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan

pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari

program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan

pendukung (SATKUNG) Bimbingan dan Konseling.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 5

2. Penyusunan Program

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling disusun berdasarkan kebutuhan peserta

didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.

Substansi program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi keempat bidang, jenis

layanan dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan, dan

volume/beban tugas konselor.

II. PERENCANAAN KEGIATAN

1. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program

tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta

mingguan.

2. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan

jabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang

masing-masing memuat: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi

layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu

yang digunakan; (d) pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang

terlibat; (d) waktu dan tempat.

3. Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi kegiatan

di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang

menjadi tanggung jawab konselor.

4. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling

berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran.

5. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu

minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.

III. PELAKSANAAN KEGIATAN

Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi

secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan

keteladanan. Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam

bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis

kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

1. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling

a. Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah:

Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan

layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan

instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas.

Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan

dilaksanakan secara terjadwal

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 6

Kegiatan tidak tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan

konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan

kepustakaan, dan alih tangan kasus.

b. Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah:

Kegiatan tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan orientasi,

Bimbingan dan Konseling perorangan,, bimbingan kelompok, Bimbingan dan Konseling

kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas.

Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam

pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas.

Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran

sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan Bimbingan dan

Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah.

Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan

program (LAPELPROG).

Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di

dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan persetujuan

pimpinan sekolah/madrasah.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan

sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan

program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan

Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan

ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas

sekolah/ madrasah.

IV. PENILAIAN KEGIATAN

1. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui:

• Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan

kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan

peserta didik yang dilayani.

• Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu

minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan

pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui

dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.

• Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu

(satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan

dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk

mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan

dan Konseling terhadap peserta didik.

2. Penilaian proses kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui

analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam

SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan

kegiatan.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 7

3. Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam

LAPELPROG

4. Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu

semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

V. PELAKSANA KEGIATAN

1. Pelaksana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling adalah konselor sekolah/

madrasah.

2. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di

sekolah/madrasah wajib:

• Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan

profesional Bimbingan dan Konseling.

• Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor kepada pihak-pihak

terkait, terutama peserta didik, pimpinan sekolah/ madrasah, sejawat pendidik,

dan orang tua.

• Melaksanakan tugas pelayanan profesional Bimbingan dan Konseling yang

setiap kali dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama

pimpinan sekolah/madrasah, orang tua, dan peserta didik.

• Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan

pelayanan profesional Bimbingan dan Konseling.

• Mengembangkan kemampuan profesional Bimbingan dan Konseling secara

berkelanjutan.

3. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik lainnya di

sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

4. Pelaksana pelayanan Bimbingan dan Konseling

• Pelaksana pelayanan Bimbingan dan Konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya

adalah guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan

dan penyaluran, dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi layanan

tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk peserta didik Kelas IV, V, dan VI

dapat diselenggarakan layanan Bimbingan dan Konseling perorangan,

bimbingan kelompok, dan Bimbingan dan Konseling kelompok.

• Pada satu SD/MI/SDLB atau sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat seorang

konselor untuk menyelenggarakan pelayanan Bimbingan dan Konseling.

• Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat diangkat

sejumlah konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150 orang peserta didik.

VI. PENGAWASAN KEGIATAN

1. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah/madrasah dipantau,

dievaluasi, dan dibina melalui kegiatan pengawasan.

2. Pengawasan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan secara:

a. interen, oleh kepala sekolah/madrasah.

b. eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang Bimbingan dan Konseling.

Pengembangan diri ALLSON 20 s.d 21 September 2006 8

3. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan implementasi

kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling yang menjadi kewajiban dan tugas

konselor di sekolah/madrasah.

4. Pengawasan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan secara

berkala dan berkelanjutan.

5. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindaklanjuti untuk

peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan

dan Konseling di sekolah/madrasah.

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/04/bimbingan-konseling-di-sekolah.pdf

Pelayanan Bimbingan pada Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional

Pelayanan bimbingan sangat diperlukan agar potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat dikembangkan secara optimal. Program bimbingan diarahkan untuk dapat menjaga terjadinya keseimbangan dan keserasian dalam perkembangan intelektual, emosional dan sosial.

Selain itu program bimbingan diharapkan dapat mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses pembelajaran pada SKM/SSN. Potensi negatif tersebut misalnya peserta didik akan mudah frustasi karena adanya tekanan dan tuntutan untuk berprestasi, peserta didik menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain karena sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya, ataupun kegelisahan akibat harus menentukan keputusan karir lebih dini dari biasanya. (Semiawan, 1997).

Layanan bimbingan diperlukan siswa untuk memenuhi kebutuhan individual anak baik secara psikologis maupun untuk mengembangkan kecakapan sosial agar dapat berkembang optimal. Hal ini senada dengan pendapat Leta Hollingworth yang dikutip Wahab (2004) yang mengindikasikan bahwa “gifted children do have social/emotional needs meriting attention”. Ditegaskan bahwa betapa pentingnya persoalan kebutuhan sosial/emosional anak berbakat memerlukan perhatian orang dewasa di sekitarnya, karena boleh jadi kondisi demikian akan berpengaruh kepada kinerja dan aktivitas anak dalam belajarnya.

Lain dengan Pirto (1994) yang mengedepankan model bimbingan yang dipandang memiliki efektifitas tinggi untuk mengatasi masalah anak adalah multi model. Artinya tidak hanya menggunakan satu model pendekatan karena diharapkan dengan model yang beragam lebih mampu mengatasi beberapa persoalan yang dihadapi anak, terlebih-lebih dalam mengatasi aspek sosial maupun emosional.

Model lain dikemukakan oleh Wahab (2003) bahwa model pembimbingan yang dipandang memiliki efektifitas tinggi untuk mengembangkan kecakapan sosial-pribadi peserta didik adalah development model. Dengan model ini dapat membantu pengembangan potensi kecakapan sosial-pribadi yang dimiliki peserta didik, sehingga mereka dapat mengendalikan perilaku sosial-emosionalnya secara produktif. Dengan kata lain model layanan bimbingan yang dapat diberikan kepada peserta didik dalam mengikuti program SKM/SSN adalah model perkembangan, multi model, development model yang disesuaikan dengan karakter individual peserta didik agar perkembangan sosio-emosional mereka dapat berkembang dengan baik terutama dalam menyelesaikan pendidikan.

Bimbingan tersebut dapat diupayakan dengan melakukan langkah seperti 1) Pertemuan rutin dengan orang tua siswa untuk saling bertukar informasi, 2) Menghimpun berbagai data dari guru yang mengajar, khususnya berkaitan dengan aktivitas siswa pada saat pembelajaran, 3) Menjaring data dari siswa melalui daftar cek masalah, sosiometri kelas, angket maupun wawancara (Munandar, 2000).

Sumber:

Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/01/pelayanan-bimbingan-pada-sekolah-kategori-mandiri-sekolah-standar-nasional/

15 Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :

1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.

Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.

Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).

2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.

Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.

Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.

3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.

Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.

Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)

4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.

Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.

5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.

Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).

6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.

Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.

7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.

Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten

8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.

Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.

Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.

9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.

Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.

10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.

Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.

11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif

Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.

Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja

Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.

13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien

Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.

14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi

Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan

15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.

Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.

Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/11/15-kekeliruan-pemahaman-tentang-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah/

Kilas Balik Profesi Konselor Di Indonesia

Sejarah kelahiran layanan bimbingan dan konseling di lingkungan pendidikan di tanah air dapat dikatakan tergolong unik. Terkesan oleh layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah yang diamati oleh para pejabat pendidikan dalam peninjauannya di Amerika Serikat sekitar tahun 1962, beberapa orang pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria penentapan konselor ketika itu tidak jelas dan ragam tugasnyapun sangat lebar, mulai dari berperan semacam ”polisi sekolah” sampai dengan mengkon¬versi hasil ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar.

Pada awal dekade 1960-an, LPTK-LPTK mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga akademik yang akan membina program studi yang menyiapkan konselor yang dinamakan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan, dengan program studi yang diselenggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana Muda dengan masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana dengan masa belajar 2 tahun setelah Sarjana Muda. Program studi jenjang Sarjana Muda dan Sarjana dengan masa belajar 5 tahun inilah yang kemudian pada akhir dekade 1970-an dilebur menjadi program S-1 dengan masa belajar 4 tahun, tidak berbeda, dari segi masa belajarnya itu, dari program bakauloreat di negara lain, meskipun ada perbedaan tajam dari sisi sosok kurikulernya. Pada dekade 1970-an itu pula mulai ada lulusan program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan dan Konseling, selain juga ada segelintir tenaga akademik LPTK lulusan perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.

Kurikulum 1975 mengacarakan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak lanjutnya memang raib ditelan oleh waktu, karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Tambahan pula, dengan penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan layanan bimbingan karier.

Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu. Untuk jenjang sekolah menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.

Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka dengan dimotori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di LPTK-LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik konselor yang bertugas di LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang bermacam¬-macam yang secara de facto bertugas sebagai guru pembimbing di lapangan.

Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa mengajarkan 1 bidang studi. Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).

Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling mulai tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah air juga tidak mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing sekolah menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan

bimbingan dan konseling setelah dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut Guru Pembimbing. Dan pada tahun 2003 diberlakukan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat (6), akan tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya. Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”, meskipun tugas “melakukan pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat secara sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya PP nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh karena itu, tiba saatnya bagi ABKIN sebagai organisasi profesi untuk mengisi kevakuman legal ini, dengan menyusun Rujukan Dasar bagi berbagai tahap dan/atau sisi penyelenggaraan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal di tanah air, dimulai dengan penyusunan sebuah naskah akademik yang dinamakan Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.

*)) Diambil dari Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: 2007

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/12/28/kilas-balik-profesi-konselor-di-indonesia/

Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling

Selama empat hari (11-14 Desember 2007) penulis mengikuti pelatihan ‘Keterampilan Manajemen Bimbingan dan Konseling“, bertempat di Cikole Lembang Bandung, yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB-ABKIN) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas. Selama mengikuti pelatihan, penulis menerima berbagai materi dan penjelasan dari para nara sumber seputar penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah yang tampaknya akan menjadi cikal bakal untuk lahirnya kebijakan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.

Dalam tulisan sebelumnya di situs ini, penulis pernah menyampaikan keprihatinan atas ketidakpastian dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling selama ini, seperti : ketidakjelasan dalam sertifikasi guru bimbingan dan konseling, standar kompetensi konselor, Standar Kompetensi Lulusan atau sekarang dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), dan hal-hal lainnya tentang praktik Bimbingan dan Konseling.

Beberapa pertanyaan yang berkecamuk dalam benak penulis dan mungkin juga para guru Bimbingan dan Konseling di lapangan tentang bagaimana seharusnya Bimbingan dan Konseling di sekolah, melalui kegiatan pelatihan ini sebagian besar terjawab sudah. Hanya mungkin ada beberapa persoalan teknis yang belum bisa terjawab dan perlu ada tindaklanjut tertentu.

Ketika membuka kegiatan pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN, dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah bekerja secara intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik.

Hasil kerja keras ABKIN dalam satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah Akademik berupa “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal“, yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten untuk dijadikan sebagai kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.

Hal yang cukup mengagetkan penulis, bahwa ke depannya Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih mengembangkan model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu:

1. Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.

2. Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.

3. Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.

4. Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.

Jika kita perhatikan komponen-komponen program di atas, tampaknya ada upaya dari ABKIN untuk mengelaborasi konsep bimbingan dan konseling sebelumnya, baik dalam Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, mau pun Kurikulum 1994. Selain itu, keempat komponen program bimbingan dan konseling di atas tampaknya menggunakan rujukan model penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini sedang dikembangkan di Amerika Serikat. Perbedaannya, untuk komponen layanan dasar di Amerika cenderung menggunakan istilah guidance curriculum.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/21/konsep-bimbingan-dan-konseling/

OPINI TENTANG BIMBINGAN DAN KONSELING

Menyoal tentang Ruang Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Meski Bimbingan dan Konseling disebut-sebut sebagai bagian integral dalam layanan pendidikan di sekolah, namun hingga kini nasibnya masih tetap memprihatinkan. Khusus berkenaan dengan kondisi ruang Bimbingan dan Konseling, di sekolah-sekolah kita masih bisa ditemukan ruang Bimbingan dan Konseling dalam kondisi yang seadanya dan memprihatinkan, atau bahkan sama sekali tidak memiliki ruang khusus Bimbingan dan Konseling, sehingga para guru BK/konselor terpaksa harus bekerja di ruangan yang serba seadanya, atau bahkan bekerja dimana-mana karena memang tidak disediakan ruangan khusus.

Tentunya banyak alasan kenapa sekolah tidak memiliki ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Namun dari sejumlah alasan, tampaknya alasan komitmen dan kepedulian dari pihak yang kompeten (khususnya dari para pemegang kebijakan pendidikan) menjadi lebih utama. Hingga saat ini para pemegang kebijakan tampaknya belum pernah menjadikan layanan Bimbingan dan Konseling sebagai prioritas dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan sekolah. Prioritas pembangunan sekolah yang terjadi selama ini cenderung lebih memfokuskan pada pembangunan yang terkait dengan pelayanan pembelajaran dan administratif, seperti pengadaan ruang kelas, ruang guru, ruang TU, ruang kepala sekolah, ruang laboratorium atau perpustakaan. Jika sekolah tidak memiliki ruangan-ruangan itu dianggap sebagai masalah besar, tetapi jika sekolah tidak memiliki ruang Bimbingan dan Konseling tampaknya belum dianggap sebagai masalah.

Berbagai bantuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ruangan-ruangan tersebut mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, baik yang dialokasikan melalui APBN mau pun APBD. Namun untuk pengadaan ruangan Bimbingan dan Konseling (termasuk sarana Bimbingan dan Konseling lainnya) hingga saat ini kita (khususnya saya pribadi) belum pernah mendengar hal itu. Bahkan ketika pemerintah membuka paket-paket sekolah baru pun tidak pernah secara eksplisit dalam master plan mencantumkan ruang atau paling tidak menyediakan lahan yang secara sengaja diperuntukkan bagi layanan Bimbingan dan Konseling.

Beberapa sekolah yang saat ini telah memiliki ruang khusus Bimbingan dan Konseling yang representatif, pada umumnya dibangun dan disediakan setelah mereka mampu menyelesaikan kebutuhan ruang kelas dan ruang-ruang lainnya. Artinya, tetap saja penyediaan ruang Bimbingan dan Konseling menjadi prioritas ke sekian. Hal itu pun kadang-kadang dilalui setelah berganti-ganti dan bertukar tempat dengan ruang lainnya, misalnya dengan menyulap ruang WC atau gudang menjadi ruang Bimbingan dan Konseling, kemudian berpindah lagi, berpindah lagi dan seterusnya hingga akhirnya dapat terwujud sebuah ruang Bimbingan dan Konseling yang lumayan representatif.

Barangkali semuanya sepakat, bahwa agar pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat berjalan optimal, mutlak harus tersedia ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Seorang kepala sekolah sebagai manajer di sekolah pada dasarnya sangat berkeinginan memliki ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif. Demikian pula, para guru BK/Konselor pun sangat berharap memiliki ruang kerja yang representatif dan membuat mereka betah dalam bekerja. Begitu pula, para orang tua siswa ketika berkonsultasi dengan guru BK/Konselor tidak menghendaki diterima di ruangan yang tidak jelas bentuknya. Tentu saja, para siswa pun untuk menarik manfaat dari Bimbingan dan Konseling, mereka ingin dilayani di ruangan yang dapat memberikan kenyamanan bagi dirinya.

Ada setitik harapan, jika memang benar ke depannya pemerintah mampu mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 %, diharapkan salah satu proyeksinya adalah penyediaan ruang Bimbingan dan Konseling beserta sarananya yang memadai dan representatif, sehingga ke depannya tidak terjadi lagi ruang Bimbingan dan Konseling dengan kategori RSS (Ruangan Sangat Sempit), yang selama ini justru membuat para siswa enggan datang ke ruang Bimbingan dan Konseling.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/05/menyoal-tentang-ruang-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah/

Standar Ruang Bimbingan dan Konseling

Dalam perspektif pendidikan nasional, bimbingan dan konseling merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan di sekolah, yang bertujuan untuk membantu para siswa agar dapat mengembangkan dirinya secara optimal dan memperoleh kemandirian. Agar pelayanan bimbingan dan konseling dapat berjalan efektif dan efisien maka perlu ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Salah satu sarana penting yang dapat menunjang terhadap efektivitas dan efisiensi layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah ketersediaan ruang Bimbingan dan Konseling yang representatif, dalam arti dapat menampung segenap aktivitas pelayanan. Bimbingan dan Konseling.

Dalam hal ini, ABKIN (2007) telah merekomendasikan ruang Bimbingan dan Konseling di sekolah yang dianggap standar, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Letak lokasi ruang Bimbingan dan Konseling mudah diakses (strategis) oleh konseli tetapi tidak terlalu terbuka sehingga prinsip-prinsip konfidensial tetap terjaga.

2. Jumlah ruang bimbingan dan konseling disesuaikan dengan kebutuhan jenis layanan dan jumlah ruangan

3. Antar ruangan sebaiknya tidak tembus pandang

4. Jenis ruangan yang diperlukan meliputi: (a) ruang kerja; (b) ruang administrasi/data; (c) ruang konseling individual; (d) ruang bimbingan dan konseling kelompok; (e) ruang biblio terapi; (f) ruang relaksasi/desensitisasi; dan (g) ruang tamu.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan kondisi yang diharapkan dari masing jenis ruangan tersebut.

Ruang kerja Bimbingan dan Konseling disiapkan agar dapat berfungsi mendukung produkltivitas kinerja guru BK/konselor. Untuk itu, diperlukan fasilitas berupa: komputer yang dilengkapi dengan berbagai software Bimbingan dan Konseling (akan lebih baik bila dilengkapi fasilitas internet) dan meja kerja konselor, lemari dan sebagainya.

Ruang administrasi/data perlu dilengkapi dengan fasilitas berupa lemari penyimpanan dokumen (buku pribadi, catatan-catatan konseling, dan lain-lain) maupun berupa softcopy, Dalam hal ini harus menjami keamanan dan kerahasiaan data yang disimpan.

Ruangan konseling individual merupakan tempat yang nyaman dan aman untuk terjadinya interaksi antara konselor dan konseli. Ruangan ini dilengkapi dengan satu set meja kursi ata sofa, tempat untuk menyimpan majalah, yang dapat berfungsi sebagai biblio terapi.

Ruangan Bimbingan dan Konseling Kelompok merupakan tempat yang aman dan nyaman untuk terjadinya dinamika kelompok dalam interaksi antara konselor dengan konseli dan konseli dengan konseli. Ruangan ini dilengkapi dengan perlengkapan antara lain: sejumlah kursi, karpet, tape recorder, VCD dan televisi.

Ruangan Biblio Terapi pada prinsipnya mampu menjadi tempat bagi para konseli dalam menerima berbagai informasi, baik informasi yang berkenaan dengan pribadi, sosial, akademik maupun karier di masa mendatang. Ruangan ini dilengkapi dengan perlengkapan daftar buku (katalog), rak buku, ruang baca, buku daftar pengunjung, dan jika memungkinkan disediakan internet.

Ruang relaksasi/desensitisasi/sesnsitisasi yang bersih, sehat, nyaman dan aman, yang dilengkapi dengan karpet, televisi, VCD/DVD, tempat tidur (bed rest) beserta bantalnya.

Ruang tamu hendaknya berisi kursi dan meja tamu, buku tamu, jam dinding, tulisan atau gambar yang dapat memotivasi konseli untuk berkembang.

Penataan ruang Bimbingan dan Konseling di atas dapat divisualisasikan seperti tampak dalam gambar sederhana berikut ini:



Keterangan:

• R. I : Ruang Data

• R. II : Ruang Konseling Individual

• R. III :Ruang Tamu

• R IV : Ruang bimbingan dan konseling kelompok

• R V : Ruang relaksasi

• R.VI : Ruang Kerja

Sementara itu, BNSP (2006) memberikan gambaran yang berbeda tentang standar sarana yang terkait dengan ruang Bimbingan dan Konseling di sekolah, sebagai berikut :

1. Ruang konseling berfungsi sebagai tempat peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.

2. Luas minimum ruang konseling 9 m2.

3. Ruang konseling dapat memberikan kenyamanan suasana dan menjamin privasi peserta didik.

4. Ruang konseling dilengkapi berbagai sarana penunjang lainnya.

Tips Advokasi Bimbingan dan Konseling

Pekerjaan bimbingan dan konseling kerapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang justru memiliki kepentingan dengan bimbingan dan konseling itu sendiri, Misalnya, oleh siswa, guru mata pelajaran, kepala sekolah, para pemegang kebijakan lainnya atau masyarakat. Tidak sedikit mereka yang beranggapan bahwa konselor atau guru BK di sekolah hanya makan gaji buta, tidak jelas kerjanya, atau hanya dianggap sebagai pekerjaan embel-embel saja.

Ungkapan-ungkapan miring semacam itu bisa ditepis jika saja konselor atau guru BK yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerjanya sekaligus mampu melakukan advokasi di hadapan mitra-mitra kerjanya di sekolah.

Di bawah ini beberapa tips untuk melakukan advokasi sekaligus untuk meyakinkan berbagai pihak yang berkepentingan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.

1. Pada saat sedang mengikuti rapat, Anda minta waktu untuk berbicara dan pembicaraan Anda difokuskan pada hasil-hasil siswa bukan memaparkan apa yang telah dilakukan konselor. Yang dimaksud dengan hasil – hasil siswa adalah berbagai kemajuan yang dicapai siswa melalui intervensi bimbingan dan konseling, baik dalam bidang akademik, sosio-personal, maupun bidang karier.

2. Dukung pembicaraan Anda dengan data-data, karena data akan lebih berbunyi keras dari pada kata-kata (data speak louder than words), gunakan chart atau grafik untuk menggambarkan hasil-hasil siswa tersebut.

3. Untuk lebih meyakinkan bisa saja Anda memanfaatkan siswa untuk berbicara dalam forum mewakili kepentingan Bimbingan dan Konseling atau konselor, dengan menceritakan kisah sukses (success story) mereka atas bantuan layanan bimbingan dan konseling yang telah diterimanya.

4. Program bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan investasi siswa di sekolah tersebut, oleh karena itu konselor dituntut dapat menunjukkan pengembalian investasi tersebut dalam bentuk hasil-hasil siswa tersebut

5. Bertindak layaknya seorang ”politisi” yang aktif melakukan berbagai lobby dan berkomunikasi dengan seluruh mitra kerja yang ada sehingga kepentingan bimbingan dan konseling dapat terwakili dalam setiap keputusan atau kebijakan di sekolah.

6. Ciptakan akuntabilitas kerja melalui laporan hasil bimbingan dan konseling, baik laporan harian, bulanan, atau tahunan.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/06/tips-advokasi-bimbingan-dan-konseling/

Guru BK tak Perlu Beri Solusi

Guru bimbingan dan konseling (BK) harus mampu membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri. Guru BK tidak perlu memberikan solusi atas masalah para siswa tapi menjadi pendengar yang baik dan memberikan arahan-arahan.

Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis, M.Pd., mengatakan hal itu kepada ”PR” di sela-sela lokakarya “Konselor Sekolah” di SMAN 5 Bandung, Jl. Belitung, Menurut dia, solusi yang diberikan guru malah belum tentu menjadi yang terbaik untuk para siswa. “Tidak ada yang dipecahkan pembimbing. Siswa harus memecahkannya sendiri atas bantuan guru,” ujarnya.

Staf pengajar pada program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia itu mengatakan, guru BK bisa saja memberikan usulan tapi tidak dalam bentuk nasihat. “Alternatif bisa diusulkan guru, tapi siswa tetap yang harus memikirkan. Yang baik, alternatif juga dari dia (siswa-red),” ungkapnya.

Selain terlalu sering memberikan nasihat, katanya, ada beberapa hambatan lain yang membuat guru BK tidak berfungsi dengan baik di sekolah. Terutama, citra yang telanjur melekat pada guru BK sebagai polisi sekolah.

Menurut dia, kantor BK di sekolah bahkan telah dianggap sebagai tempat pesakitan. Padahal, guru BK harus memberikan konseling kepada seluruh siswa, bukan yang memiliki masalah saja. Karenanya, hubungan konseling harus dijaga supaya selalu baik sehingga siswa bisa percaya pada guru BK secara personal.

Hambatan lain adalah banyaknya guru BK yang tidak mampu mengelompokkan masalah yang diungkapkan siswa. Saat melakukan konseling, siswa sering berbicara banyak hal sehingga guru tidak cepat menangkap pokok masalahnya. Karenanya, konseling harus berlangsung secara berkesinambungan.

Supaya konseling cukup efektif, jumlah guru BK di setiap sekolah harus memadai. Menurut Sofyan, satu guru BK sebanding dengan 150 siswa.

Berkaitan dengan peran sekolah, ia mengungkapkan, semua guru — terutama guru BK — harus melakukan pendekatan secara bijak dan personal kepada siswa. Guru pun harus mampu mengajar sambil membimbing para siswa.

Sumber :

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/042006/07/0702.htm

Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi

Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan.

Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi konseling.

Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran – mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling.

Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis, setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :

1. Kelangkaan Tenaga Konselor

Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling, yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.

Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga konselor di daerahnya.

Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi.

2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi konseling

Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.

Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.

Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.

Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. !

Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.

*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. Pengawas Satuan Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/perjalanan-jauh-bimbingan-dan-konseling-sebagai-profesi/

1

School Counselors and Principals:

Partners in Support of Academic Achievement

by

Carolyn B. Stone

Assistant Professor

Counselor Education

University of North Florida

and

Mary Ann Clark

Assistant Professor

Counselor Education

Old Dominion University

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

2

Educational reform has sharply focused on the mission and functions of public education

(National Commission on Excellence in Education 1983; National Science Foundation 1983;

Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills 1991). School counselors have been

conspicuously absent from educational reform reports and are often viewed as peripheral to the

main function of schooling and academic achievement. Recent efforts to bring school counselors

into the mainstream of educational reform propose that future school counselors become leaders

of efforts to improve teaching and learning and to advocate for equal opportunity and access to a

quality education for all students (House and Martin 1998). Key to the school counselor’s new

leadership role will be an alliance with the principal.

School counselors and principals can act as powerful allies in school reform focusing on

helping students access and be successful in more rigorous academic standards. The school

counselor as part of the principal’s educational team in the schools, has a vital role to play in

supporting academic achievement by acting as a proactive leader and advocate for student

success (Capuzzi1998; House and Martin 1998; Lee and Walz 1998). Although the counselor

and principal may have separate and specific roles and corresponding responsibilities to carry

out, there is overlap with regard to accomplishing common goals for the school and its students.

New attitudes about school counselors and principals joining forces for leadership and advocacy,

can positively impact the mission and climate of the school in delivering academic success.

School systems and university educational leadership programs have responded to the

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

3

call for rigorous academic standards by examining and increasing standards of professional

behavior and accountability for services to students (Mostert 1997). Slower to respond to the

educational reform movement, school counseling pre-service and in-service programs are

beginning to show signs of serious examination of the school counselors’ role in actively

promoting student academic success. Instead of being isolated in their offices, counselors need

to play an integral role in the total educational process (Kaplan and Evans 1999; Myrick 1997;

Tollerud and Nejedlo 1999). The current movement by the American School Counseling

Association (ASCA) to establish school counseling standards is furthering the effort to bring

counselors to the heart of the educational reform movement (Dahir, et al 1997). By viewing

themselves as an integral part of the mission of schools and partnering with their school

principals, counselors can empower themselves to seek new ways to benefit students’ academic

success (Worzby and Zook 1992). This article will outline the evolving leadership and advocacy

roles of the school counselor in supporting the principal in the effort to move schools toward

rigorous academic achievement for all and will examine the partnership efforts already underway

by school counselors and principals throughout the nation.

Educational Reform

The report of the Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills (SCANS)

demonstrates that schools are not equipping students with the necessary higher level skills and

half of America’s youth are leaving school without the knowledge or foundation required to find

and hold a good job (SCANS 1991). In response, major school reform efforts have focused on

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

4

setting more rigorous academic standards. But reform leaders have paid little attention to the

partnership role school counselors can play with principals to promote rigorous academics for all

students (House and Martin 1998; need others too). As we embrace the new millennium, the

school counseling profession is taking stock of where it stands currently in the educational

reform movement and is evaluating where it is headed in the future with regard to promoting

high achievement levels for all students.

Educational Leadership

Leadership is becoming an increasingly valued and shared phenomenon at the school

level. Although it begins with the principal, it should also include other players such as teachers,

parents, students, the superintendent, and community members who contribute to making schools

even better (NASSP 1996). Yet counselors and principals have not traditionally viewed

themselves as partners in educational leadership.

For the school counselor, leadership has not been duly explored and emphasized in either

practice or in school counseling preparation programs. Many counselors do not see themselves

as educational leaders; however they have unique opportunities to assert leadership. School

counselors exercise leadership through increased collaboration and consultation interventions

with those significant people in the lives of students; teachers, administrators, family members

and people in the community (Cooper and Sheffield 1994). The principal must take a stand on

important educational issues to be perceived as a strong leader and an advocate for continuous

school improvement, and it is becoming expected that the effective school counselor exercise the

same leadership behaviors (need some references here). “Counselors need to be role models

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

5

and change agents which is more easily accomplished when they are seen in a leadership role in

the schools. The more they are in the classrooms and working with teachers, parents, and

administrators, the more credible they become” (Guerra 1998). Further, in partnering with the

principal to provide leadership in working toward common goals, the counselor and principal can

enhance each other’s influence while being perceived as a collaborative team, thus increasing the

leadership potential of the school.

Leadership Through Advocacy

Educational reform coupled with widespread societal changes impacting schools are

compelling reasons for principals and school counselors to join forces to positively intervene in

the lives of their students and their environments. Thus, these educators can use their influence to

eradicate systems and ideologies that have the potential to impact negatively upon students

(House and Martin 1998; Lee and Walz 1998; Stone and Turba 1999). Helping to create

alternatives and opportunities for people is one of the action steps that counselors can take. All

people, particularly those who have been marginalized in society need more life choices (Lee

and Walz 1998). Counselors and principals can advocate in numerous ways for students,

particularly with regard to motivation, achievement, and future planning. To be seen as an

advocate for “all students” is particularly important with regard to the perception of the

counselor as an educational leader (House and Martin 1998). A number of specific areas in

which counselors and principals can collaborate to demonstrate leadership and advocacy are

outlined below.

Changing Attitudes and Beliefs. The partnership between counselors and school

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

6

principals in changing attitudes and beliefs is particularly crucial. School counselors as human

relations experts can impact the beliefs and attitudes of teachers and administrators regarding

educating all students to achieve high standards. The school counselor collaborating with the

principal can help establish a vision and belief in the development of high aspirations in every

child. The counselor who believes that all children should be supported to be successful in

rigorous academic course work, will act in ways that demonstrate that belief, influencing other

educators (Handy 1987). The training counselors receive in communication, interpersonal

relationships, problem solving and conflict resolution give them a vantage point in promoting

collaboration among colleagues to promote such achievement (West and Idol 1993). Close

communication and the coordination of efforts to improve and ensure student success are vital.

Ideally, school principals and counselors should be seen as partners who work closely together.

Cooper and Sheffield (1994) write of a collaborative management model where the principals’

and counselors’ roles are interchangeable allowing them to work together to impact attitudes and

beliefs in each student’s ability to learn, improve instruction and provide support in the

classroom. Although this model is not yet implemented in many school settings, the principle of

collaboration between school principals and counselors is being seen as increasingly necessary to

the operation of an effective instructional program.

Developing High Aspirations in Students. Counseling can help students develop high

aspirations rather than just attending to aspirations as they may emerge. School counselors can

positively impact students’ desire to stretch and strive academically by helping them understand

their choices and the full weight, and the meaning of those choices (other references here;

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

7

Stone and Turba 1999). Students need to understand the logic and interrelatedness of the

curriculum and the consequences of academic choices. The school counselor as academic

advisor to all students, can clearly communicate to students and their parents that academic

choices widen or narrow future options and opportunities. The academic advising role includes

helping students to register for appropriate courses, helping them understand the interrelationship

between curriculum choices and future economic success, and helping them understand that

financing a higher education is possible (references).

It is important for students and their parents to believe that college is a real possibility,

financially as well as academically. Without this assurance, students may make curriculum

choices that limit their aspirations. An example of helping students develop high aspirations can

be found in the Duval County Public Schools in Jacksonville, Florida where students are

informed as to available financial aid and scholarship opportunities. The school counselors in

this district annually train approximately 100 volunteers who then deliver individual advising

sessions to high schoolers about how to access financial aid and scholarships for postsecondary

education (Stone and Turba 1999). Another example of advocacy for higher academic

achievement can be found in a large urban school district which recently implemented a policy

requiring all students to pass algebra to obtain a high school diploma. This new policy has

mobilized the counselors to help change the attitudes and beliefs of teachers about math

requirements for students. Armed with data about the success of similar programs in other

school districts, these counselors were able to show how the percentage of students enrolling in

and passing algebra had increased significantly. Passing algebra and other higher mathematics

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

8

prepares students for college admission which otherwise may have been denied to them.

Career Guidance. The school counselor as academic advisor is ideally situated to act as

an advocate in helping make students aware of as well as succeed in a rigorous academic

program. Providing critical, timely information will result in more students stretching

themselves and striving to enroll in the most appropriate academic course work. The National

College Counseling Project (1986) stated, “outstanding counselors . . . consistently emphasize

that their students have the potential to better themselves and to meet ambitious goals” (p.32).

Classroom guidance, a traditional school counselor intervention can be updated to be a

vehicle for more direct advocacy for student success. Test preparation, study skills, educational

and future planning, career development, and the use of specific data to further such topics can

be used to encourage a positive “mindset” for achievement and success for all students (Clark

and Stone 2000). Sharing statistics with students about the impact education has on lifetime

salaries may encourage a higher degree of motivation and understanding of course relevancy

than just presenting students with course sign up sheets to complete. Specific up to date

information on what jobs and accompanying skills/training will be required in our future society

is very important data for students as well as their parents to have (Clark and Stone 2000). As

well as facilitating the large group sessions themselves, counselors can serve as consultants and

resources for Teacher Advisor Programs which can disseminate similar types of information to

students in an organized program with a planned curriculum (Myrick 1997).

Additionally, the use of technology for career and academic advising should be an

integral part of the counselor-as-leader repertoire. Turba (1998) described technological skills

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

9

needed for the school counselor in career advising.

For counselors to perform their job functions adequately, at the minimum, they must

possess basic computer literacy skills. This should include extensive knowledge of

Internet resources, software that relates to career advising, distance learning, virtual

activities such as chat rooms, discussion groups, listservers, using Internet video

conferencing, constructing virtual guidance offices that help students access Internet

resources, and the interest to stay current on the changing scene of computer technology

(p.10).

Coursework Assignments. School counselors in collaboration with principals, are ideally

situated to positively impact opportunities for student course assignment into rigorous academic

programs. Most educators recognize the American public education system as the mechanism in our

society for upward mobility and is a basic right of all students. Yet, we are also aware that we have

not achieved equity in academic advising or course assignment, and that not all students are

sufficiently supported and challenged to reach their full academic potential. Course assignment

contributes to the furthering or hindrance of educational opportunity. Teachers, and to a lesser degree

school counselors, are placing students in course assignments that will widen or narrow future

opportunities. Further, students are making decisions that are inconsistent with their future goals

(Stone 1997).

The College Entrance Examination Board found that by tenth grade, only half of the ninth

graders who said they were going to college were enrolled in courses that would qualify them for

college entrance. Researchers have found that students from low-income families are less likely to

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

10

have access to course assignment guidance both at home and at school and that students from upper

socioeconomic backgrounds tend to have more exploratory interviews with their counselors (Garza

and McNeal 1988). Stratified learning opportunities contribute to the continuity of a stratified social

order (George 1988; Rosenbaum 1987; Slavin 1987, 1988) and schools whose students are

predominately white, middle-class, and relatively high achievers receive more opportunities for

enriched and rigorous academic experiences (Gamoran 1986; Oakes 1997).

A 1995 study by Stone examined the mathematics placement of the ninth graders of one large

urban school district. An analysis of the 1611 ninth-graders who scored in the upper quartile on one

of three mathematics subtests, revealed that placement in higher level mathematics differed for upper

quartile students depending on where the student went to school. In this school district, a student’s

future opportunities were stratified based on the attitudes and beliefs of the personnel and community

of individual schools. Principals and counselors together can impact schools’ practices which deter

equity and adversely affect opportunities for the students of their schools. Together this powerful

team can change enrollment patterns and implement safety nets for helping students be successful.

Data Analysis. School counselors and principals who understand equity issues and have

technological skills to aggregate and disaggregate student information, have critical, powerful skills

that can allow them to act as advocates to identify and eliminate school practices that may be

deterring equitable access and opportunities for student success in higher level academics. Using

school district data, the principal/counselor team can identify through the use of technology, broad

system-wide practices that contribute to inequitable situations for individual students. As a team,

these two disciplines can manage and monitor patterns of enrollment and student success.

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

11

Many school counselors have databases available that contain biographical information as

well as scheduling, attendance, discipline, and test history. This information is useful in itself when

working with students about any of the information contained in the database, such as attendance and

past academic performance. The information in these databases can be exported to relational

databases to provide more flexibility and increased accessibility to more student information.

For example, Duval County Public Schools in Jacksonville, Florida has initiated a computer

training program called School Wide Assessment Through Technology (SWATT). This program

provides to the principal, principal’s designee, and counselor of every school in the county, data

formatted into an integrated software program. The data consists of biographic information,

attendance, test scores, and current grades. Within this program, forms, reports, and other useful data

formats are included so that data can be easily accessed, printed, charted and used in a variety of ways

that could benefit all students. By containing the data in this type of program, assurances are built

into the system that no students are left out of the picture when viewing the data. This provides equity

in analysis as well as in access to opportunities, and also guarantees that no group of students will be

left out of calculations (Stone and Turba 1999).

An example of how these databases can be used to help students occurred when a Florida

school counselor discovered that 47 students who took Spanish I in eighth grade were planning to

enter his high school as ninth graders in the fall without plans to continue their Spanish education or

any other foreign language instruction. Understanding the consequences of such a decision on

postsecondary educational opportunities, this school counselor was able to quickly generate through

mail merge, a letter to each of the 47 students explaining the ramifications of their decision and

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

12

inviting them to a group presentation about the relationship between curriculum enrollment and

postsecondary opportunities. Instructions on how to change their schedules were included. Without

data analysis, this counselor would have had to catch these students the second or third week into the

school year and vital instruction time would have been lost. Further, classes are planned for and

scheduled in advance based on course requests, so many of the students may not have been able to

add the class at a later date.

Counselors can increase their visibility and empower their positions as leaders by

demonstrating accountability and sharing pertinent data with students, teachers, parents,

administrators and the community (Myrick 1997). Keeping records of students’ educational and

career decisions, enrollment and retention in higher education, school climate information, needs

assessments, outcomes from various guidance and counseling interventions, case studies as well as

publicizing such information with the current school population can enhance the counselors’ position

as a credible resource and leader. Such information can be shared through articles in local and school

newspapers, presentations to student, parent and community groups, automatic dialer of the school

telephone system, and a school guidance website (Clark and Stone 2000). If counselors

systematically gather and analyze results of their work, ask for ideas for program improvement, and

use this information to modify their services as appropriate, they will gain support, understanding and

advocacy for their work (Humphrey and Myer 1994).

Staff Development. Collaborating with the principal to conduct in-service training for teachers

and parents in such important areas as educational planning, motivation, student appraisal and

achievement, identification of and interventions for special needs students, and issues of student

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

13

diversity and related attitudes is an example of counselors teaming with the principal to play a unique

role in fostering understanding and cooperation among the school community. Other examples of

counselor facilitated staff development can include learning styles and strategies, student leadership

training, school improvement plans, cooperative discipline and classroom management, study skills,

and college admissions procedures. An ultimate goal is to assist the principal in providing support to

teachers through information, intervention, modeling, and encouragement (Cooper and Sheffield

1994; Dedmond 1998).

One middle school counselor decided to try to address some student behavioral issues that

frequently frustrated parents and teachers by organizing a Parent/Teacher Forum. She conducted a

needs assessment and identified the most frequently occurring problems and concerns of educators

and parents in her school such as Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), lack of study

skills, underachievement, aggressive/defiant behavior, and substance abuse. She then organized and

hosted a one night fair at the school in which parents and teachers were able to choose three different

presentations to attend. Speakers were obtained from various community agencies to provide

information and facilitate discussions on the topics of interest. The physical education coaches

assisted in the endeavor by providing clinics in the multi-purpose room for children ages 6–16 while

the adults were attending the workshops (Clark and Stone 2000).

Staff development took a different twist for the counselor and administrative staff of a large

elementary school when they decided to address the stress level of their faculty following a

particularly grueling spring testing schedule. During a planning day they set up wellness workshops

in which teachers could attend lectures on nutrition, receive a massage, listen to a chiropractor, and

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

14

participate in a healthy, low-calorie lunch. Evaluations indicated that these workshops were well

received and contributed to an increase in faculty morale during a difficult period of the school year.

Collaboration and Team Building. Institutions do not change unless leaders within them

initiate and implement team building for change. Counselors are in a strategic position to collaborate

with the principal to promote the change process in school reform. As part of leadership team as well

as being trained facilitators, counselors can provide technical and staff support to facilitate change

efforts and team building within a school and community (Sheldon 1998). Further, with their

specialized knowledge and skills in collaboration, coordination, cooperation, resource brokering, and

assessment and evaluation, counselors can be leaders in policy and process changes that can affect

education and student achievement (Dedmond 1998). Specific organizational roles that a counselor

may choose to play can include participation and leadership in school and district committees on

school improvement, student assessment, enrichment programs, management advisory committees,

curriculum committees, and parent-teacher organizations. Heading up school groups/teams, and

taking a stand on important issues will further a leadership image and will empower the counselor to

help the principal (Clark and Stone 2000). Collaboration in home-school partnerships is another area

of opportunity for the principal/school counselor team. Individual students do better if their parents

are involved in their education and home-school partnerships also increases the overall effectiveness

of a school (Keenan, Willett, and Solsken 1993).

As the school leaders of the Child Study Team, the counselor and principal partnership can

help teachers, school psychologists, and other resource personnel collaborate to identify and resolve

student problems by designing the most appropriate and innovative program or instructional

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

15

modifications. Child Study Teams, the mechanisms for handling special education referrals, can be a

means to advocate for appropriate interventions outside of special education thus, curbing the over

identification of students for special education (Clark and Stone 2000).

Promoting a Safe Learning Environment. Essential in today’s rapidly changing society is

collaboration on the part of the counselor with the principal, teachers, and parents to help individual

students and classroom groups communicate regarding multicultural awareness and understanding.

Further, by teaching communication skills and emphasizing the valuing of differences, counselors can

work with teachers to help children learn to convey caring and respect for one another. Our public

schools continue to reflect an increasingly diverse population. It is essential that school counselors

and principals work as a team to embrace cultural diversity for students, teachers, parents, and

members of the community (Harris 1999). Championing multiculturalism and challenging

intolerance are roles for the counselor as leader and advocate (Grieger and Ponterotto 1998;

Ponterotto 1991; Ponterotto and Pedersen 1993).

For example, in July 1999, the U.S. Court of Appeals for the Eleventh Circuit ruled in Denno

v. School Board of Volusia County, Florida, that students have the right to display symbols in

schools, even if the symbols evoke unpleasantness such as the confederate flag. The school counselor

can be in a pivotal position to help the principal diffuse negative feelings aroused by such displays, as

well as teach and promote tolerance if a school faces overt problems or even more subtle, insidious

prejudice. Counselors teaming with principals can help teachers recognize what is involved in

teaching a diverse population, encourage them to become more knowledgeable about other cultures,

and assist them in examining their own beliefs, values, and prejudices (Harris 1999; Lee 1995;

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

16

Ponterotto and Pedersen 1993).

School counselors are ideally situated to collaborate with the school principals to promote an

emotionally and physically safe environment so that all students can concentrate on academic

achievement. For example, sexual harassment once regarded as innocuous horseplay is now widely

understood to be destructive, illegal, and a hindrance to student’s ability to benefit from the

educational environment. School counselors are the logical choice to collaborate with principals to

establish and implement a “no tolerance” policy for sexual harassment.

Conclusion

The time has come for school counselors to join forces with the school principal to assume

and exert leadership within their schools and communities. Educational reform and numerous

societal changes have both contributed to the need for a shift in the role of the school counselor to

educational leader who establishes a vision and belief in the development of high aspirations for

every child. Opportunities for leadership through social action and collaboration through increased

community involvement and improved communication are natural roles for the counselor. Many

counselors are already beginning to team with principals in a variety of the activities and strategies

described in this article. What remains is for counselors to view themselves as natural allies with the

school’s leadership and to look for opportunities to develop and implement their special leadership

skills in order to maximize their effectiveness in the promotion of success for all students.

We are faced with a need to prepare all students for a society that will be unlike any that has

come before us. The school counselor joining forces with the principal can ensure that all students

have access to the information and experiences that will allow them to influence the society of the

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

17

future. Such a leadership team is ideally situated to advocate for all students by providing academic

advising and support to encourage them to obtain the best possible education as the gateway to

greater social and economic opportunities in their futures.

References

Capuzzi, Dave. Addressing the needs of at-risk youth: Early prevention and systemic intervention.

Social Action: A Mandate for Counselors. Edited by C. C. Lee and G. R. Walz. Alexandria,

VA: American Counseling Association, 1998: 99-116.

Cooper, D. E., and S. B. Sheffield. The principal-counselor relationship in a quality high

school. Quality Leadership and the Professional School Counselor. Edited by D. G. Burgess

and R. M. Dedmond. Alexandria, VA: American Counseling Association, 1994: 101-114.

Dahir, Carol, et al. Supporting a Nation of Learners: The Development of National Standards for

School Counseling Programs, 1997: 7.

Dedmond, Rebecca M. Total quality leadership and school counseling. School Counseling: New

Perspectives & Practices. Edited by J. M. Allen. Greensboro, NC: ERIC Clearinghouse on

Counseling and Student Services, 1998: 133-137.

Denno v. School Board of Volusia County, Florida, 193 F. 3d 1178 (11th Cir. 1999).

Gamoran, Adam. Instruction and institutional effects of ability grouping. Sociology of Education,

59, 1986: 185-198.

Garza, Jorge F., and A. E. McNeal. Equity in Counseling and Advising Students: Keeping Options

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

18

Open (Report No. UD 026 838-849). Columbus, OH: National Middle School Association.

(ERIC Document Reproduction Service No. ED 322 233), 1988.

George, P. S. “Tracking and ability grouping: Which way for the middle school?” Middle

School Journal 20, 1 (1988): 21-28.

Grieger, Ingrid, and Joseph G. Ponterotto. Challenging intolerance. Social Action: A Mandate for

Counselors. Edited by C. C. Lee and G. R. Walz. Alexandria, VA: American Counseling

Association, 1998: 17-50.

Guerra, P. “Reaction to DeWitt Wallace grant overwhelming”. Counseling Today 40, 10 (April,

1988).

Handy, C. The Language of Leadership. Paper presented to the Irish Management Institute, 34th

National Management Conference, 1987.

Harris, H. L. School counselors and administrators: Collaboratively promoting cultural diversity.

NASSP Bulletin 83, 603 (1999): 54-61.

Homes, David R. Frontiers of Possibility. The National College Counseling Project, Winter Park,

FL, 1986.

House, Reese M., and Patricia J. Martin. Advocating for better futures for all students: A new

vision for school counselors. Education 119 (1998): 284-291.

Humphrey, R. S., and J. A. Myer. Telling and selling customer satisfaction: Advocacy. Quality

Leadership and the Professional School Counselor. Edited by D.G. Burgess and R. M.

Dedmond. Alexandria, VA: American Counseling Association, 1994: 279-287.

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

19

Kaplan, L. S, and M. W. Evans. “Hiring the best school counseling candidates to promote students’

achievement.” NASSP Bulletin 83, 603 (1999): 34-39.

Keenan, Jo-Anne W., et al. Constructing an Urban Village: School/Home Collaboration in a

Multicultural Classroom 70, 3 (March, 1993): 204-214.

Lee, Courtland C., ed. Counseling for Diversity: A Guide for School Counselors and Related

Professionals. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon, 1995.

Lee, Courtland C. Counselors as agents of social change. Social Action: A Mandate for Counselors.

Edited by C. C Lee and G. R. Walz, 1998: 3-14.

Lee, Courtland C., and G. R. Walz, eds. Social Action A Mandate for School Counselors.

Alexandria, VA: American Counseling Association, 1998.

Mostert, J. B. Professional Collaboration in Education. 1st ed. Needham Heights, MA: Allyn &

Bacon,1997.

Myrick, Robert D. Developmental Guidance and Counseling: A Practical Handbook. Minneapolis,

MN: Educational Media Corporation, 1997.

National Association Secondary School Principals. “Breaking ranks: Changing an American

institution. A “Bulletin” special.” NASSP Bulletin 80, 578 (March, 1996): 55-66.

National Commission on Excellence in Education. “A Nation at Risk.” Working paper,

National Institution of Education, Washington, DC, 1983.

Oakes, J. Detracking: The social construction of ability, cultural politics, and resistance to reform.

Teachers College Record 98, 1997: 482-510.

Ponterotto, Joseph. G. “The nature of prejudice revisited: Implications for counseling interventions”.

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

20

Journal of Counseling and Development, 70 (1991): 216-224.

Ponterotto, Joseph. G., and Paul B. Pedersen. Preventing Prejudice: A Guide for Counselors and

Educators. Newbury Park, CA: Sage, 1993.

Rosenbaum, James E. Making Inequality: The Hidden Curriculum of High School Tracking. New

York, NY: Wiley, 1987.

Sheldon, C. B. School counselor as change agent in education reform. School Counseling: New

Perspectives & Practices. Edited by Jackie M. Allen Greensboro, NC: ERIC Clearinghouse

on Counseling and Student Services, 1998: 61-65.

Slavin, Robert E. “Ability grouping and student achievement in elementary schools: A best-evidence

synthesis”. Review of Educational Research 57, 3 (1987): 293-336.

Stone, Carolyn B., and Mary Ann Dyal. “School counselors sowing the seeds of character education”.

Professional School Counseling 1, 2 (December, 1997): 22-24.

Stone, Carolyn B., and Robert Turba. “School counselors using technology for advocacy”.

The Journal of Technology in Counseling 1, 1 (1999).

Tollerud, T. R., and R. Nejedlo. 2nd ed. Designing a developmental counseling curriculum.

Counseling Children and Adolescents. Edited by A. Vernon. Denver, CO: Love Publishing

Company, 1999: 333-362.

Turba, Robert. From supporters of academic rigor. School Counselors: Supporters of Academic

Rigor. Edited by C. B. Stone. Unpublished, University of North Florida, 1998.

U.S. House of Representatives, 1984 National Science Foundation Authorization. Hearings

before the Subcommittee on Science, Research and Technology of the Committee on

School Counselors & Principals

Carolyn B. Stone & Mary A. Clark

21

Science and Technology (Washington, DC: 1983), 43.

U.S. House of Representatives. “Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills.”

Elementary, Secondary, and Higher Education. Hearings before the Committee on the

Budget (Washington, DC: 1991), 196.

West, Frederick J., and Lorna Idol. “The counselor as consultant in the collaborative school”.

Journal of Counseling and Development 71 (1993): 678-682.

Worzbyt, John. C., and Thomas Zook. “Counselors who make a difference: Small schools and rural

settings”. The School Counselor 39 (1992): 344-350.

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/06/school-counselors-and-principals.pdf

Guidance Curriculum 1

Comprehensive Guidance and Counseling Programs’ Use of Guidance Curricula Materials:

A Survey of National Trends

William J. Rowley, Heather R. Stroh, and Christopher A. Sink

Seattle Pacific University

Accepted for publication in Professional School Counseling

Authors’ information:

William J. Rowley, Ed.D.

Associate Professor of School Counseling and Psychology

Seattle Pacific University

3307 Third Avenue West

Seattle, WA 98119-1997

206.281-2671 (phone)

206.281.2756 (fax)

email: wrowley@spu.edu

Heather R. Stroh

Assistant Researcher and Doctoral Student

Washington School Research Center

Christopher A. Sink, Ph.D.

Professor, School Counseling and Psychology

Seattle Pacific University

Abstract

Comprehensive guidance and counseling programs are being implemented throughout the United States. One of

the most widely used programs, the Missouri Model, includes a guidance curriculum as one of its central program

elements. The authors discuss the results of a study exploring the national trends in the use of school counseling

guidance materials. Implications for comprehensive guidance and counseling program implementation are included.

The American School Counselor Association (ASCA, 1997) clearly supports a comprehensive guidance and

counseling orientation through its policy statement, the publication of the National Standards for School

Counseling Programs (Campbell & Dahir, 1997), and the ASCA National Model (ASCA, 2003). Variations of the

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 2

comprehensive guidance and counseling program model (CGCP) have been adopted throughout the United States

(Sink & MacDonald, 1998). Given its widespread acceptance, this approach is likely to serve as the foundation for

delivering guidance and counseling services to schools for many years to come.

One of the most used programmatic orientations has been the Missouri Model (Gysbers & Henderson, 2000,

2005; Sink & MacDonald, 1998). This model has four major components: guidance curriculum, individual planning,

responsive services, and system support. Although each element of the model is important, perhaps the guidance

curriculum component is the most innovative. It helps transform and focus school counseling from a collection of

practices to an educational program, integrating the CGCP into the academic mission of a school district (e.g.,

ASCA, 2003; Borders & Drury, 1992; Gysbers & Henderson, 2000, 2001; Lapan, 2001, 2005; Watkins, 1994).

A review of the literature describes several dimensions of the guidance curriculum component. Numerous

writers suggested the guidance curriculum component must include developmentally appropriate student

competencies (e.g., ASCA, 2003; Gysbers & Henderson, 2000, 2001, 2005; Hughey, Gysbers, & Starr, 1993; Lapan,

2001, 2005; Lapan, Gysbers, Multon, & Pike, 1997; Lapan, Gysbers, & Sun, 1997; Sears, 2005; Starr & Gysbers,

1993), educationally-focused classroom presentations (Hughey et al., 1993; Hughey, Lapan, & Gysbers, 1993;

MacDonald & Sink, 1999), and guidance classroom activities (ASCA, 2003; Gysbers & Henderson, 2001, 2005;

Hughey et al., 1993; Lapan, 2001, 2005; Lapan et al., 1997; Lapan, Gysbers, & Petroski, 2001). Research studies

have indicated that guidance curriculum activities have a positive impact on student development (e.g., Brigman &

Early, 2003; Carns & Carns, 1991; Evans & Burck, 1992; Gerler, 1985; Gerler & Anderson, 1986; Hadley, 1988;

Jarvis & Keeley, 2003; Lapan, Gysbers, Hughey, & Arni, 1993; Lee, 1993; Sears, 2005; Sink & Stroh, 2003; St. Clair,

1989).

The importance of integrating current developmental theory into a guidance curriculum has been emphasized by

multiple counselor educators (e.g., Borders & Drury, 1992; Gysbers & Henderson, 2001, 2005; MacDonald & Sink,

1999; Myrick, 2003; Paisley & Hubbard, 1994; Sears, 2005; Sink & MacDonald, 1998). Moreover, content areas,

intervention strategies (Lapan et al., 1997), and developmental domains (ASCA, 2003; Gysbers & Henderson, 2001;

Sink & MacDonald, 1998) are perceived as important features of a guidance curriculum.

Rationale for Research

The weight placed on a guidance curriculum in the Missouri Model and the National Model (ASCA, 2003)

strongly suggests school counselors need to be familiar with curriculum materials that can benefit students. This

familiarity of available resources should begin in higher education programs that train future school counselors,

given effective counselors are the product of strong graduate counseling programs (Kaplan, 2002), and continue

throughout the school counselor’s tenure in the role.

A review of the general and school counseling research literature located relatively few guidance studies that

used more widely published curricular resources and materials covering any or all of CGCPs’ personal-social,

educational-academic, and career developmental domains (e.g., Bergin, Miller, Bergin, & Koch, 1990; Borders &

Paisley, 1992; Jarvis & Keeley, 2003). It appears that most guidance studies used various curricular materials and

lessons either developed specifically for the study or synthesized multiple resources. For instance, a descriptive

study designed to determine the effects of comprehensive developmental guidance program’s activities on a rural

school’s counseling program (Bergin et al., 1990), utilized four curriculum resources in implementing the guidance

curriculum: Developing Understanding of Self and Others (DUSO), Kits I-R and II-R (Dinkmeyer & Dinkmeyer, 1982);

Transition (Dupont & Dupont, 1979); Test Buster Pep Rally (Bowman, 1987); World of Work Adventures of the Lollipop

Dragon (Himmel, 1970). The results of the attitudinal survey distributed to students, parents, and teachers

indicated that most respondents rated their school’s CGCP in a favorable light, as well as perceived the guidance

materials and the classes used within the program to be helpful in meeting the program goals and developmental

competencies.

In another study, Borders and Paisley (1992) used children’s literature as the foundation for a bibliotherapeuticoriented

classroom guidance curriculum. This story-based curriculum comprised of widely published quality

children’s books was designed to teach thinking skills (e.g., decision-making, self reflection) and values. The results

of the quasi-experimental study indicated some conceptual growth (i.e., a personal quality reflecting cognitive

complexity and interpersonal maturity) could be achieved in upper level elementary-age children after

implementation of 12 guidance lessons over a period of three months.

With the increased emphasis in the profession on accountability (ASCA, 2003; Lapan, 2001, 2005; Maliszewski &

Mackiel, 2002), two guidance-related studies of late have used more research-based curricular materials. Brigman

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 3

and Campbell (2003) tested the impact of school counselor-directed interventions on student achievement and

school success behavior using a group counseling and classroom guidance approach called Student Success Skills

(SSS). The SSS guidance curriculum (Brigman & Goodman, 2001) focuses on developing students’ cognitive, social,

and self-management skills. By conducting a well controlled experimental study with lower-achieving fifth, sixth,

and eighth grade students, these researchers demonstrated that about 70% of the students in the experimental

group improved on average 22 percentile points, as measured by the School Social Behavior Scale (Merrell, 1993).

This instrument seeks to measure student behavior relative to cognitive, social, and self-management skills.

Moreover, not only were there significant group differences found between the experimental and control students’

overall test scores, favoring the former group, 82% and 61% of the students receiving the guidance intervention

improved in their mathematics and reading scores, respectively.

Finally, Jarvis and Keely (2003) conducted a literature review on career development issues, including in their

article a summary of promising guidance-related curricula/programs. Even though, very few were mentioned, the

authors singled-out the Real Game Series (Barry, 2001) as a valuable collection of comprehensive, developmentallysequenced

programs for student career building. While not fully articulated in the article, this career development

resource appears, in part, to be research-based.

Aims of the Study

Given the paucity of information distinguishing the most salient and well-researched guidance curricula and

resources, the overall goals of this article were to first investigate national trends in the use of curriculum

materials within the context of comprehensive guidance and counseling programs, and second, to offer preservice

and inservice school counselors a summary of available curricula and resources which can be readily used in their

guidance lessons.

With these aims in mind, the following research questions were addressed:

1. To what degree do school counselors use guidance curriculum materials to implement the guidance

curriculum component in a CGCP?

2. Are there guidance materials commonly used by school counselors in these programs?

3. What developmental domains are addressed by the use of these materials?

4. What counseling program objectives are addressed through the use of these materials?

Method

The authors surveyed 102 school districts in 12 states that were identified as having implemented a CGCP.

Participating districts were previously identified in a nationwide study on counselors’ perceptions of

comprehensive guidance and counseling (Sink & Yillik-Downer, 2001). Respondents were either school counselors

or representatives of school districts noted as having implemented a CGCP.

In order to differentiate between the terms guidance curriculum and guidance curriculum materials, it was necessary

to define the use of these terms. For purposes of this study, the expression guidance curriculum relates to one of

four components of the Missouri Guidance Model, and guidance curriculum materials are those resources (e.g.,

Second Step) that have been developed to assist in the delivery of a particular curricular area (e.g., violence

prevention) that addresses one or more developmental domains (e.g., career, educational, psychosocial,

personal/affective, character/moral development).

Survey Instrument

An initial letter and a survey instrument requesting participation in the study were mailed to 193 school

counselors or district counseling and guidance representatives in the 102 identified districts in the spring of 2000.

Due to an inadequate response rate (n = 11, 6%), participants were re-surveyed in the fall of 2000 using a revised

version of the letter requesting participation in the study and the revised survey instrument. Copies of these

documents can be obtained upon request from the first author.

Respondents were asked to provide demographic information such as age, gender, ethnicity, and number of

years in the position. Additionally, participants were requested to list the curricular materials used in their CGCP,

the publisher, the publication year, and the grade level for which the curriculum is used. Counselors participating in

the study identified the developmental domain(s) being addressed by the use of particular curriculum material.

Categories included the areas of educational, cognitive, psychosocial, personal/affective, character/moral

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 4

development, and career/vocational. Finally, participants noted the district guidance and counseling program

objective(s) addressed by the curriculum materials. Program objectives included anger management, problemsolving

skills, drug/alcohol awareness, personal safety, empathy training, social skills, impulse control, conflict

resolution, goal setting, self-awareness/concept, and study skills.

Once the results from the surveys were compiled, the authors purchased selected guidance curriculum

materials noted by the respondents. Curricular materials were purchased only when (a) the publishers were

identified by respondents in the study, (b) the curricula was available from the publishers, and (c) the curricula did

not involve extensive training or workshop participation. These were then thoroughly analyzed by the researchers

(see Table 1). Respondents in the study were given the opportunity to request a final report of the study.

Results

A total of 86 surveys were returned, for a return rate of 45%. Rates of return from individual states ranged

widely from 0% to 100%. Reflecting the gender makeup of most US school personnel, the school counselors

surveyed were 81% female. They were primarily of European American descent (73.3%), with the remainder

African American (3.5%), Asian American (2.3%), and Hispanic (1.2%). Participants choosing not to identify

ethnicity accounted for 19.9% of returned surveys. The mean age of respondents was 45 years, and they were in

their current position for an average of 9.6 years.

Ninety-four different curricular materials were noted by respondents, with 84% of those noted only once (see

Table 2). Sixty-three different curricular materials were used at the elementary school level, 42 at the middle

school level, and 28 at the high school level, with some curricula used at multiple school levels. Only 15 curricular

materials were noted as being deployed by more than one respondent and only four of these were reported as

being used by more than two respondents.

Results of the study indicate that curricular materials were utilized by school counselors to assist students in key

developmental domains, with use in the personal/affective domain reported the most (n = 140, 74%) and the

cognitive (academic) domain the least (n = 92, 49%). The personal/affective domain was the most often reported

developmental domain addressed by curriculum that was used exclusively at the elementary school level (n = 48,

79%) while the most often reported developmental domain addressed by curriculum used exclusively at the middle

school and/or high school levels was the career/vocational developmental domain (n = 32, 65%).

Participants in the study were asked to note district guidance/counseling program objectives being addressed

through the use of curricular materials. Although counselors reported all objectives listed on the survey were

addressed to some degree, curricular materials were used most often to help improve student selfawareness/

concept (n = 118, 62%) followed by increased problem-solving skills (n = 115, 61%) and social skills (n =

107, 57%). For curriculum used exclusively at the elementary school level, curricular materials used most often

were for the purpose of improving a student’s social skills (n = 42, 69%). In contrast, improving elementary

students’ study skills was the least mentioned objective (n = 7, 12%). Raising student self-awareness/concept by

using curricular materials was the most commonly reported objective at the middle and high school levels (n = 30,

61%), with impulse control mentioned the least (n = 7, 14 %).

Discussion

The primary goal of this study was to examine national trends in the use of curriculum materials as applied in

schools with an operational CGCP. The findings are sequentially discussed here.

Research Question 1

In response to the first research question, every respondent in the study indicated the use of curricular

materials in the implementation of their guidance curriculum component. For those school counselors participating

in the study, the degree to which curricular materials are used to implement their CGCP was high, supporting

statements by various researchers that this CGCP component is important to the overall success of CGCP (e.g.,

Bergin et al., 1990; Borders & Drury, 1992; Brigman & Campbell, 2003; Gysbers & Henderson, 2000, 2001, 2005;

Lapan, 2001, 2005; MacDonald & Sink, 1999; Sink & MacDonald, 1998; Sink & Stroh, 2003).

The number of different curricular materials reportedly deployed by respondents declined

from the elementary school level (n = 63) to the middle school level (n = 42) to the high school

level (n = 28). Perhaps this finding is consistent with the observation that school counselors spend more time

working in the guidance curriculum and less time in individual planning at the elementary school level, while the

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 5

reverse time allocation is true at the middle school and high school levels (e.g., Gysbers & Henderson, 2001,

Myrick, 2003; Sink & Yillik-Downer, 2001).

Research Question 2

The second research question asked whether or not there are commonly used curricular materials in use by

school counselors. The results showed that a wide variety of curricular materials addressed a range of topics at the

elementary, middle/junior high, and high school levels. Curricular materials such as books, videos, workshops,

trainings, classroom materials, and consumables to be used one time only were reported as being used to address

such student issues as anger management, bullying, problem solving, personal safety, social skills, conflict resolution,

impulse control, self-esteem/awareness/concept, study skills, friendship, divorce, and drug/alcohol use.

Although school counselors reported a wide range of curriculum materials in use, there was a distinct lack of

continuity of resources. For example, no curriculum was noted as being deployed consistently across districts or

states. Only four curricula were reported as being used by more than two respondents: (a) The Missouri

Comprehensive Guidance and Counseling Program, (b) Here’s Looking at You, (c) Second Step, and (d) Talking About

Touching (see Table 2).

The Missouri Comprehensive Guidance and Counseling Program was the most frequently cited curricular materials

used by counselors nationwide. Missouri has been at the forefront of the comprehensive guidance and counseling

movement for almost two decades. This CGCP model is a K-12 programmatic approach that includes guidance

curricular materials targeting educational planning, career planning and exploration, and knowledge of self and

others. The curriculum seeks to address various competencies outlined in the content element program (Gysbers

& Henderson, 2001, 2005). This approach is highly consistent with the developmental domains suggested by the

American School Counselor Association’s National Standards (Campbell & Dahir, 1997) and the National Model

for School Counseling Programs (ASCA, 2003).

Second Step, a K-8 violence prevention program, is designed to reduce impulsive and aggressive behavior and

promote social competence through teaching students to change attitudes and behaviors that contribute to

violence. Second Step focuses on the skill areas of empathy, impulse control, problem solving, and anger

management (Committee for Children, 1991, 1992a, 1992b, 1997). Results from research examining the efficacy of

Second Step indicate positive effects for decreasing physically aggressive behavior and increasing prosocial

behavior (e.g., Frey, Hirschstein, & Guzzo, 2000; Grossman, et al., 1997; McMahon & Washburn, 2003; McMahon,

et al., 2000; Orpinas, Parcel, McAlister, & Frankowski, 1995; Taub, 2002; Van Schoiak-Edstrom, Frey, & Beland,

2002), verbal perspective taking, and social problem solving (Beland, 1988, 1989, 1991; Moore & Beland, 1992).

Talking About Touching is a personal safety curriculum for P-3 students. It covers the areas of personal safety,

sexual abuse, and bullying. Designed to increase children’s knowledge of personal safety, awareness of sexual

abuse, and their options for resisting abusive situations, it provides information about where to go for assistance

(Sylvester, 1997). Talking About Touching program evaluation results, albeit limited, indicate an increase in P-6

students’ personal safety knowledge (Madak & Berg, 1992; Sylvester, 1997), as well as preschoolers’ and

kindergarteners’ perceived competence regarding personal safety (Sylvester, 1997).

Here’s Looking at You (HLAY) is a K-12 drug education program designed to provide students with healthy

behavioral norms, increase protective factors, and reduce risk factors that have been correlated with drug use. It

claims to be a research-related curriculum that focuses on the gateway drugs of alcohol, nicotine, and marijuana

and has a strong abstinence message. It is developed around three major elements: giving students current and

accurate information, teaching them social skills, and providing them with opportunities to connect with their

school, families, and community. Results from studies examining the efficacy of HLAY produced mixed results,

indicting that although the program may be effective at transmitting information about alcohol and drugs to

students, the program has little effect on changing students’ attitudes and behaviors regarding drugs and alcohol

(Green & Kelly, 1989; Kim, 1988; Kim, McLeod, & Shantzis, 1993).

With the exception of the Missouri Comprehensive Guidance and Counseling Program, which was reported as being

used by every Missouri respondent, the other three commonly reported curricula (Second Step, Talking about

Touching, and Here’s Looking at You) were noted as being used by ten counselors or less (≤ 11%). Other than these

four programs, most of the curricular materials reported as being used do not appear to be well researched or

implemented systemically and purposefully as a part of the guidance component of a CGCP (see Table 2).

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 6

Although the districts responding to the study may have implemented a CGCP, there appears to be a deficiency

of district- or state-adopted curriculum to satisfy the guidance curriculum component of a CGCP. As stated

previously, the guidance component is one of four integral components of a CGCP (Gysbers & Henderson, 2000,

2005). Without such a component— or a well- designed and implemented one—students’ personal, social, and

academic needs as set forth in the CGCP’s competencies and benchmarks cannot fully be met (ASCA, 1997, 2003).

Research Question 3

The third and fourth research questions looked at the degree to which respondents used curricular materials to

address specific developmental domains and counseling and guidance program objectives, respectively. The results

of this study suggest that respondents clearly utilize guidance curriculum materials that speak to a variety of

developmental domains. Categories included the educational, cognitive, psychosocial, personal/affective,

character/moral, and career/vocational domains. The personal/affective dimension (n = 48) was the most

commonly reported developmental domain to be addressed by curriculum used at the elementary school level.

The indication that the career/vocational developmental domain was the most commonly reported at the

secondary level is encouraging since previous authors suggested that this domain did not appear to be an integral

component of the guidance curriculum (e.g., Hoyt, Hughey, & Hughey, 1995; Hughey, 2005; Jarvis & Keeley, 2003;

MacDonald & Sink, 1999). In sum, these findings suggest that school counselors using curricular materials to

address developmental domains are implementing the recommendations of the American School Counselor

Association’s National Model (ASCA, 2003) regarding quality developmental guidance and counseling programs.

Research Question 4

There was a positive effort by schools and school districts to use guidance curriculum materials to address a

broad range of counseling and guidance program objectives. Program objectives in the areas of selfawareness/

concept, problem-solving and social skills were reported the most often. However, objectives to

improve study skills, improve impulse control, and raise awareness of drugs and alcohol were reported the least

even though a major goal of a comprehensive counseling and guidance program is to assist students to achieve a

school’s learning goals (ASCA, 2003, Campbell & Dahir, 1997; Myrick, 2003) and a national priority is to warn

students of the deleterious impact of drugs and alcohol on learning (US Department of Education, 1994). Before

concluding, the study’s limitations and its application to school counseling practice are now considered.

Research Limitations and Suggestions for Future Investigations

Because this was a descriptive study using purposefully selected respondents, there are inherent concerns about

the validity of the results (Gall, Borg, & Gall, 2003). First, the study’s internal validity was compromised. For

instance, the use of self-report data was largely prejudicial and based on ex post facto reporting. Moreover, the

respondents’ information was cross-sectional in nature. Longitudinal data need to be collected in subsequent

research. Second, nonprobability sampling affected external validity. Given the truncated number of schools and

school districts represented in the sample and the inadequate survey return rates for various school districts in

several regions of the country, the generalizability of the results to a nationwide audience is problematic. Future

studies would benefit from not only stratified random sampling procedures, but also from experimental studies

looking at the efficacy of large-group guidance in a variety of developmental domains.

With these caveats in mind, the study does provide initial data to determine the nature and extent of published

guidance curriculum materials being used by school counselors in various states. The results are encouraging for

they support the recommendations of ASCA (2003), Gysbers and Henderson (2000), and Myrick (2003) that these

materials should be used, for example, to address student competencies within developmental domains as well as

CGCP program objectives.

Recommendations for School Counselors Working within CGCPs

We recommend that school counselors within counseling and guidance programs consider the following when

implementing their guidance curriculum:

• Develop district-wide guidance curriculum materials by grade level (Neukrug, Barr, Hoffman, &

Kaplan, 1993; Snyder & Daly, 1993; Haack, 1994; Lapan et al., 1997; MacDonald & Sink, 1999; Gysbers

& Henderson, 2001, 2005) to meet the benchmarks set forth in the CGCP. Vertically align the middle

school/junior high curriculum with both the elementary and high school curriculum (Lapan, 2001,

2005). Horizontally align the curriculum so that all schools at a particular level use the same

curriculum. An example is where all elementary schools in the district use the same curriculum to

help students develop effective social skills. Finally, developmentally align the curriculum for gifted,

average, and slow learners (MacDonald & Sink, 1999).

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 7

• Set aside financial resources to select and purchase appropriate research-based guidance curriculum

materials and human resources to assist in the implementation of the guidance curriculum

component. Gysbers and Henderson (2000, 2001, 2005) strongly advocated that financial support for

the guidance program is crucial.

• Collaborate with local universities and schools of education to research and design curriculum that

meets students’ particular needs in the geographic area (Kaplan, 2002).

• Increase efforts to raise student awareness of the potential harmful affects of drugs and alcohol by

conducting classroom guidance units using drug/alcohol awareness curricula or by assisting teachers

to integrate this curriculum into their classroom lessons. Bibliocounseling approaches can help

students solve problems and gain self-understanding through identification with characters in the

story who experience similar problems (Borders & Paisley, 1992; Whiston, 2003; Whiston & Sexton,

1998).

• Select or develop curricular materials to teach study skills through classroom guidance lessons or

small groups of students who are falling behind. This would be consistent with the findings that

guidance interventions can positively affect students’ success in the classroom (Borders & Drury,

1992; Whiston, 2003; Whiston & Sexton, 1998) and guidance curriculum activities can have a positive

impact on student development (Brigman & Campbell, 2003; Borders & Paisley, 1992; Carns & Carns,

1991; Evans & Burck, 1992; Gerler, 1985; Gerler & Anderson, 1986; Hadley, 1988; Jarvis & Keeley,

2003; Lapan et al., 1993; Lee, 1993; Sears, 2005; Sink & Stroh, 2003; St. Clair, 1989).

• Develop and implement a guidance curriculum that positively affects student learning. Doing so aligns

the school counselor’s role and responsibilities with the educational mission of the school (ASCA,

2003; Brigman & Campbell, 2003; Gysbers & Henderson, 2001; Lapan, 2005; Sears, 2005; Sink &

Stroh, 2003).

Summary and Concluding Remarks

The guidance curriculum component of CGCPs are strongly recommended to fulfill, in part, the academic

missions of schools (ASCA, 2003; Borders & Drury, 1992; Brigman & Campbell, 2003; Campbell & Dahir, 1997;

Myrick, 2003; Sears, 2005). Given this component’s educational importance, a descriptive study was initiated with

three principal foci. First, the investigation asked a nationwide sample of school counselors operating within the

context of a comprehensive guidance and counseling programs to identify what guidance curricular materials they

were regularly using for the guidance curriculum component of the program. Second, it looked at the nature and

degree to which school counselors are implementing the guidance curriculum component. Third, the survey asked

the respondents about the developmental domains and guidance program objectives being addressed through the

implementation of a guidance curriculum. In brief, the study tentatively shows that school counselors believe the

guidance component as a teaching-learning process aids in meeting programmatic goals as well as helps students

attain developmental competencies. Further, there were a multiplicity of guidance-related resources being used by

school counselors, and in only a few locations (e.g., Missouri), was there any real implementation consistency.

Clear curricular differences emerged across grade levels. Finally, several recommendations for using curricula more

effectively to implement this component were specified. This investigation reinforces the notion that school

counselors can utilize guidance curricula to accomplish the educational aims of schools as well as assist students to

realize their own learning goals (ASCA, 2003; Borders & Drury, 1992; Campbell & Dahir, 1997; Myrick, 2003).

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 8

References

American School Counselor Association. (1997). Position statement: The professional school counselor and

comprehensive school counseling programs. Retrieved May 10, 2004, from

http://www.schoolcounselor.org/content.cfm?L1=1000&L2=9

American School Counselor Association. (2003). The ASCA National Model: A framework for school counseling

programs. Alexandria, VA: Author.

Barry, B. (2001). The Real Game Series (Rev. ed.). St. John’s, Newfoundland, Canada: The Real Game.

Beland, K. (1988). Second Step grades 1-3 pilot project: Summary report. Seattle, WA: Committee for Children.

Beland, K. (1989). Second Step grades 4-5 pilot project: Summary report. Seattle, WA: Committee for Children.

Beland, K. (1991). Second Step, preschool-kindergarten: Summary report. Seattle, WA: Committee for Children.

Bergin, J. J., Miller, S. E., Bergin, J. W., & Koch, R. E. (1990). The effects of a comprehensive guidance model

on a rural school’s counseling program. Elementary School Guidance & Counseling, 25, 37-45.

Borders, L. D., & Drury, S. M. (1992). Comprehensive school counseling programs: A review for policy

makers and practitioners. Journal of Counseling & Development, 70, 487-498.

Borders, L. D., & Paisley, P. O. (1992). Children’s literature as a resource for classroom guidance.

Elementary School Guidance & Counseling, 27, 131-139.

Bowman, R. P. (1987). Test buster pep rally. Minneapolis, MN: Educational Media.

Brigman, G., & Campbell, C. (2003). Helping students improve academic achievement and school success

behavior. Professional School Counseling, 7, 91-98.

Brigman, G., & Goodman, B. E. (2001). Academic and social support: Student success skills. In G. Brigman &

B. E. Goodman, Group counseling for school counselors: A practical guide (pp. 106-131). Portland, MA: J. Weston

Walch.

Campbell, C. A., & Dahir, C. A. (1997). Sharing the vision: The national standards for school counseling programs.

Alexandria, VA: American School Counselor Association.

Carns, A. W., & Carns, M. R. (1991). Teaching study skills, cognitive strategies, and

metacognitive skills through self-diagnosed learning styles. The School Counselor, 38,

341-346.

Committee for Children. (1991). Second Step: A violence prevention curriculum; preschool-kindergarten.

Seattle, WA: Author.

Committee for Children. (1992a). Second Step: A violence prevention curriculum; grades 1-3. Seattle, WA:

Author.

Committee for Children. (1992b). Second Step: A violence prevention curriculum; grades 4-5. Seattle, WA:

Author.

Committee for Children. (1997). Second Step: A violence prevention curriculum; middle school/junior high.

Seattle, WA: Author.

Dinkmeyer, D., & Dinkmeyer, D., Jr. (1981). Developing understanding of self and others (DUSO I & II). Circle

Pines, MN: American Guidance Service.

Dupont, H., & Dupont, C. (1979). Transition. Circle Pines, MN: American Guidance Service.

Evans, J. H., & Burck, H. D. (1992). The effects of career education interventions on academic achievement:

A meta-analysis. Journal of Counseling & Development, 71, 63-68.

Frey, K. S., Hirschstein, M. K., & Guzzo, B. A. (2000). Second Step: Preventing aggression by promoting

social competence. Journal of Emotional and Behavioral Disorders, 8, 102-112.

Gall, M. D., Borg, W. R., & Gall, J. P. (2003). Educational research: An introduction (7th ed.). White Plains, NY:

Longman.

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 9

Gerler, E. R. (1985). Elementary school counseling research and the classroom learning environment.

Elementary School Guidance & Counseling, 20, 39-48.

Gerler, E. R., Jr., & Anderson, R. F. (1986). The effects of classroom guidance on children’s success in

school. Journal of Counseling & Development, 65, 78-81.

Green, J. T., & Kelly, J. M. (1989). Evaluating the effectiveness of a school drug and alcohol

prevention curriculum: A new look at “Here’s Looking at You, Two.” Journal of Drug Education, 19, 117-132.

Grossman, D. C., Neckerman, H. J., Koepsel, T. D., Liu, P. Y., Asher, K. N., Beland, K., et al. (1997).

Effectiveness of a violence prevention curriculum among children in elementary school: A randomized

controlled trial. The Journal of the American Medical Association, 227, 1605-1611.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2000). Developing and managing your school guidance program (3rd ed.).

Alexandria, VA: American Counseling Association.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2001). Comprehensive guidance and counseling programs: A rich history

and a bright future. Professional School Counseling, 4, 246-256.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2005). Designing, implementing, and managing a comprehensive school

guidance and counseling program. In C. A. Sink (Ed.), Contemporary school counseling: Theory, research, and

practice (pp. 151-188). Boston: Houghton Mifflin.

Haack, M. K. (1994). Defining outcomes for guidance and counseling. Educational Leadership, 51, 3-35.

Hadley, H. R. (1988). Improving reading scores through a self esteem intervention program. Elementary

School Guidance & Counseling, 22, 248-252.

Himmel, J. (1970). World of work adventures of the lollipop dragon. Chicago: Society for Visual Education.

Hoyt, K. B., Hughey, J. K., & Hughey, K. F. (1995). An introduction to the “Counseling for High Skills: Voc-

Tech Career Options” project. The School Counselor, 43, 10-18.

Hughey, K. F. (2005). Preparing students for the future: Career and educational planning. In C. A. Sink (Ed.),

Contemporary school counseling: Theory, research, and practice (pp. 214-256). Boston: Houghton Mifflin.

Hughey, K. F., Gysbers, N. C., & Starr, M. (1993). Evaluating comprehensive school guidance

programs: Assessing the perceptions of students, parents, and teachers. The School Counselor, 41, 31-35.

Hughey, K. F., Lapan, R. T., & Gysbers, N. C. (1993). Evaluating a high school guidance

language arts career unit: A qualitative approach. The School Counselor, 41, 96-102.

Jarvis, P. S., & Keeley, E. S. (2003). From vocational decision making to career building: Blueprint, Real

Games, and school counseling. Professional School Counseling, 6, 244-250.

Kaplan, D. M. (2002). Celebrating 50 years of excellence! Journal of Counseling &

Development, 80, 261-263.

Kim, S. (1988). A short-term and long-term evaluation of Here’s Looking at You alcohol

education program. Journal of Drug Education, 18, 235-242.

Kim, S., McLeod, J. H., & Shantzis, C. (1993). An outcome evaluation of Here’s Looking at You

2000. Journal of Drug Education, 23, 67-81.

Lapan, R. T. (2001). Results-based comprehensive guidance and counseling programs: A

framework for planning and evaluation. Professional School Counseling, 4, 289-299.

Lapan, R. T. (2005). Evaluating school counseling programs. In C. A. Sink (Ed.), Contemporary school

counseling: Theory, research, and practice (pp. 257-293). Boston: Houghton Mifflin.

Lapan, R. T., Gysbers, N. C., Hughey, K., & Arni, T. J. (1993). Evaluating a guidance and language arts unit for

high school juniors. Journal of Counseling & Development, 71, 444-452.

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 10

Lapan, R. T., Gysbers, N. C., Multon, K. D., & Pike, G. R. (1997). Developing guidance competency selfefficacy

scales for high school and middle school students. Measurement & Evaluation in Counseling and

Development, 30, 4-16.

Lapan, R. T., Gysbers, N. C., & Petroski, G. (2001). Helping 7th graders be safe and academically successful:

A statewide study of the impact of comprehensive guidance programs. Journal of Counseling & Development, 79,

320-330.

Lapan, R. T., Gysbers, N. C., & Sun, Y. (1997). The impact of more fully implemented guidance

programs on the school experiences of high school students: A statewide evaluation

study. Journal of Counseling & Development 75, 292-302.

Lee, R. S. (1993). Effects of classroom guidance on student achievement. Elementary School Guidance &

Counseling, 27, 163-171.

MacDonald, G., & Sink, C. A. (1999). A qualitative developmental analysis of comprehensive

guidance programmes in schools in the United States. British Journal of Guidance & Counselling, 27, 415-430.

Madak, P. R., & Berg, D. H. (1992). The prevention of sexual abuse: An evaluation of “Talking About

Touching.” Canadian Journal of Counselling, 26, 2-40.

Maliszewski, S. J., & Mackiel, J. J. (2002). Comprehensive guidance results-based evaluation: Developing a

practical approach. In Implementing comprehensive school guidance programs: Critical leadership issues and

successful responses (pp. 141-153). Washington, DC: US Department of Education Office of Educational

Research and Improvement. (ERIC Document Reproduction Service No. 461 793).

McMahon, S. D., & Washburn, J. J. (2003). Violence prevention: An evaluation of program effects with urban

African-American students. Journal of Primary Prevention, 24, 43-62.

McMahon, S. D., Washburn, J. J., Felix, E.D., Yakin, J. & Childrey, G. (2000). Violence prevention program

effects on urban preschool and kindergarten children. Applied and Preventive Psychology, 9, 271-281.

Merrell, K. (1993). School social behavior scales: Test manual. Brandon, VT: Clinical Psychology Publishing.

Moore, B., & Beland, K. (1992). Evaluation of Second Step, preschool-kindergarten: A violence prevention

curriculum kit. Summary report. Seattle, WA: Committee for Children.

Myrick, R. D. (2003). Developmental guidance and counseling: A practical approach (4th ed.). Minneapolis, MN:

Educational Media.

Neukrug, E. S., Barr, C. G., Hoffman, L. R., & Kaplan, L. S. (1993). Developmental counseling and guidance:

A model for use in your school. The School Counselor, 40, 356-362.

Orpinas, P., Parcel, G.S., McAlister, A., & Frankowski, R. (1995). Violence prevention in middle schools: A

pilot evaluation. Journal of Adolescent Health, 17, 360-371.

Paisley, P. O., & Hubbard, G. T. (1994). Developmental school counseling programs: From theory to practice.

Alexandria, VA: American Counseling Association.

Sears, S. (2005). Large group guidance: Curriculum development and instruction. In C. A. Sink (Ed.),

Contemporary school counseling: Theory, research, and practice (pp. 189-213). Boston: Houghton Mifflin.

Sink, C. A., & MacDonald, G. (1998). The status of comprehensive guidance and counseling in the United

States. Professional School Counseling, 2, 88-94.

Sink, C. A., & Stroh, H. R. (2003). Raising achievement test scores of early elementary school students

through comprehensive school counseling programs. Professional School Counseling, 6, 352-364.

Sink, C. A., & Yillik-Downer A. (2001). School counselors’ perceptions of comprehensive guidance and

counseling programs: A national survey. Professional School Counseling, 43, 278-288.

Snyder, B. A., & Daly, T. P. (1993). Restructuring guidance and counseling programs. The School Counselor,

41, 36-43.

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 11

St. Clair, K. L. (1989). Middle school counseling research: A resource for school counselors.

Elementary School Guidance & Counseling, 23, 219-226.

Starr, M., & Gysbers, N. C. (1993). Missouri comprehensive guidance: A model for program development,

implementation, and evaluation (rev. ed.). Jefferson City, MO: Department of Elementary and Secondary

Education.

Sylvester, L. (1997). Talking About Touching: Personal safety curricula (1996 editions). Preschool to grade 3.

Curriculum evaluation summary. Seattle, WA: Committee for

Children.

Taub, J. (2002). Evaluation of the Second Step violence prevention program at a rural

elementary school. School Psychology Review, 31, 186-200.

US Department of Education. (1994). Improving America’s Schools Act. Washington, DC: Author.

Van Schoiak-Edstrom, L., Frey, K.S., & Beland, K. (2002). Changing adolescents’ attitudes about relational

and physical aggression. School Psychology Review, 31, 201-216.

Watkins, C. (1994). Whole school guidance? British Journal of Guidance & Counselling, 22, 143-150.

Whiston, S. (2003). Outcomes research and school counseling services. In. B. T. Erford (Ed.), Transforming

the school counseling profession (pp. 435-447). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Lapan, R. (2005). Evaluating school counseling programs. In C. A. Sink (Ed.), Contemporary school counseling:

Theory, research, and practice (pp. 257-293). Boston: Houghton Mifflin.

Whiston, S., & Sexton, T. (1998). A review of school counseling outcome research: Implications for

practice. Journal of Counseling & Development, 76, 412-426.

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 12

Table 1

Curricula Purchased by Seattle Pacific University’s School of Education

Curricular Material Publisher

Publication

Date

Behavior Smart Center for Applied Research in Education 1994

Bullies Are a Pain in the Brain Free Spirit 1997

Bullyproof: Teachers Guide on Teasing and

Bullying

Wellesley College Center for Research 1996

Bully-Proofing Your School Sopris West 1994

Coping with Conflict Youthlight 1996

Counseling Toward Solutions Center for Applied Research in Education 1995

Giving Pain Words BJR Enterprise 1994

Growing Through Grief Mountain Rainbow 1989

Guiding Kids Through Divorce BJR Enterprise 1991

Helping Kids Handle Anger Sopris West 1991

Kelly Bear Behavior Kelly Bear Press 1988

Kelly Bear Feelings Kelly Bear Press 1988

Missouri’s Comprehensive Guidance and

Counseling Program (“The Box”)

Missouri Department of Education 1998

Pathfinder: Exploring Career and Educational

Paths

Power Play Youthlight 1999

Second Step—Grades 1-3 Committee for Children 1997

Second Step—Middle School Committee for Children 1997

Social Skills Activities for Special Children Center for Applied Research in Education 1993

Teaching Friendship Skills (Intermediate) Sopris West 1991

Teaching Friendship Skills (Primary) Sopris West 1991

Wise Quotes Wise Skills 1999

Wise Words Wise Skills 1999

6/23/2004

article in press

Guidance Curriculum 13

Table 2

The Most Frequently Reported Curricula Used In Comprehensive Guidance Program

Curriculum Publisher

N of counselors

reporting using this

curriculum

States of counselors

reporting using this

curriculum

Missouri Comprehensive

Guidance

Missouri Department of Education 48 Arizona, Missouri,

South Carolina

Here’s Looking at You Comprehensive Health Education

Foundation

10 Idaho, Missouri, Texas

Second Step Committee for Children 6 Idaho, Missouri, South

Carolina, Texas

Talking About Touching Committee for Children 4 Idaho, Texas

6/23/2004

article in press

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/05/comprehensive-guidance-and-counseling-programs_-use-of-guidance-curricula-materials.pdf

This article traces the evolution of accountability from

the 1920s to 2003. Attention is given to expressions of

concern about the need for accountability as well as

recommendations for school counselors about how to be

accountable. Then a sampling of empirical studies

that provide evidence of the impact of guidance and

counseling programs is presented. The article closes

with the challenge of accountability for today and

tomorrow and presents several themes that have

appeared consistently in the literature that identify

prerequisite conditions that must exist if accountability

is to be achieved.

Today the issue of accountability is in the forefront

of professional dialogue (Dahir & Stone,

2003; Gysbers & Henderson, 2000; Isaacs,

2003; Johnson & Johnson, 2003; Myrick, 2003).

School counselors, working within the framework of

comprehensive guidance and counseling programs,

increasingly are being asked to demonstrate that

their work contributes to student success, particularly

student academic achievement. Not only are

school counselors being asked to tell what they do,

they also are being asked to demonstrate how what

they do makes a difference in the lives of students.

Is the focus on accountability a new phenomenon

or has our profession always been concerned about

assessing the effects of the work of school counselors?

The purpose of this article is to answer this

question by tracing the evolution of accountability

as documented in professional literature. The story

begins in the 1920s, soon after guidance and counseling

was introduced in the schools as vocational

guidance in the early 1900s. A sampling of literature

in each decade from 1920 through 2003 was

reviewed, first for evidence of expressions of concern

about the need for accountability, and then, for any

recommendations that school counselors could follow

to be accountable. The results of this review are

presented in the first part of the article. Then, a sampling

of literature for the same period of time was

reviewed for empirical studies that provided evidence

that comprehensive guidance and counseling

programs have had an impact on the lives of students.

The results of this review are presented in the

second part of this article. Finally, the last part of the

article identifies several themes from the literature

that describe the necessary prerequisite conditions

for accountability to occur.

CONCERNS AND RECOMMENDATIONS

ABOUT ACCOUNTABILITY

The 1920s

Before the 1920s, the work of professionals focused

on establishing guidance and counseling (then called

vocational guidance) in the schools. Rapid progress

was made and this progress carried over into the

1920s. By the 1920s, however, concern about

accountability was beginning to be expressed in the

literature as indicated by this statement by Payne

(1924):

What method do we have of checking the

results of our guidance? For particular groups

was it guidance, misguidance, or merely a contributing

experience? We simply must work

out some definite method of testing and

checking the results of our work. If we do not,

some other group will, with possibly disastrous

results for our work. (p. 63)

During the same year, Edgerton and Herr (1924)

described the efforts of school districts in 143 cities

across the United States to provide organized educational

and vocational guidance activities in their

respective school systems. They did not describe any

studies that had been done to assess the impact of

these activities, but they did identify some outcomes

they thought were achieved.

As an outcome of these serious endeavors to

meet current and changing demands for purposeful

instruction and systematic guidance, it

is found that marked increases in interest,

ambition, and school attendance often follow

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 1

Norman C.Gysbers,

Ph.D., is a professor in

the Department of

Educational, School,

and Counseling

Psychology, University of

Missouri-Columbia.

E-mail:

gysbersn@missouri.edu.

A version of this article

was presented at the

ACES/ASCA School

Counseling Research

Summit on June 28–29,

2003, in St. Louis, MO.

Comprehensive Guidance and

Counseling Programs:The

Evolution of Accountability

the inauguration and development of suitable

courses of study and their accompanying guidance

programs. (p. 5)

Much of the work on accountability in the 1920s

focused on establishing standards for judging

whether or not a guidance and counseling program

was complete. Myers (1926) was one of the first to

suggest such standards. He identified four, including

completeness as measured by the number of guidance

and counseling activities, distribution of

emphasis as shown by the time devoted to each

activity, thoroughness as revealed by the kinds and

quality of the work completed, and consistency of

organization. Later Edgerton (1929) presented data

that indicated that a vocational guidance program

needed to contain seven guidance activities to be

claimed as complete.

The 1930s

The 1930s witnessed intensive work on the issue of

accountability, picking up on efforts begun in the

1920s. One line of investigation focused on the

work of Myers (1926) and Edgerton (1929) to

establish standards to judge which guidance and

counseling activities, when brought together, would

constitute a complete program. The need to develop

standards to judge the completeness of a program

arose because of the wide array of activities

being conducted under the banner of guidance and

counseling by this time. Proctor (1930) made this

point as follows:

One of the great needs in the field of guidance

is some fairly objective means of comparing

the guidance activities of one secondary

school system with that of another. It is only

in this manner that we shall ever arrive at an

estimate of what constitutes a standard setup

for the carrying out of a guidance program.

(p. 58)

To respond to this concern Proctor (1930) developed

a score card system designed to assess whether

or not certain guidance and counseling activities

were in place and functioning the way they should.

This system was the forerunner of today’s concept of

program evaluation (program audit). References to

this aspect of accountability continued to appear in

the literature in the 1930s. It was important work

because of the need to develop a generally accepted

notion of what constituted a complete program of

guidance and counseling in the schools.

While work continued on establishing standards

to measure the completeness of guidance and counseling

programs, several writers began expressing the

need to also focus on results. Hedge and Hutson

(1931), for example, worried that individuals

involved in guidance work were “still so occupied

with the establishment of procedures of guidance

that we have not yet attained the critical attitude

which engenders attempts at objective measurement

of results” (p. 508). This focus on results caused a

number of writers to begin identifying what they felt

were the desirable outcomes of guidance and counseling

programs. For example, Christy, Stewart, and

Rosecrance (1930), Hinderman (1930), and

Rosecrance (1930) identified the following student

outcomes:

❚ Fewer pupils dropping out of school

❚ Increase in the standard of scholarship

❚ Better morale in the student body

❚ Better all-round school life

❚ Fewer student failures and subject withdrawals

❚ Young people better informed about the future

❚ Satisfactory adjustment of graduates to community

life and vocation and to a college or university

❚ Fewer disciplinary cases

❚ Fewer absences

❚ More intelligent selection of subjects

❚ Better study habits

Other writers, picking up on the results theme,

began to explore what might be involved in measuring

results. In a series of articles from 1932 to 1934,

Kefauver and his colleagues (Kefauver, 1932;

Kefauver & Davis, 1933; Kefauver & Hand, 1932,

1934; Kefauver, Hand, & Block, 1934) described

possible outcomes for guidance. They also presented

different approaches to conducting evaluation

studies. Later, Hutson (1935) stated that the need

for measuring the results of guidance was beginning

to receive recognition. “These are days … when all

school activities are subject to the sharpest scrutiny,

and the administrator is called upon to justify every

expenditure of time and money in the operation of

the school.” (p. 21)

Treacy (1937) offered a series of questions for

administrators to use to review their guidance programs.

One of the questions was “Is there a constant

effort to evaluate the effectiveness of the guidance

program?” (p. 30). Alstetter (1938) stated that no

program in schools was more difficult to evaluate

than the guidance service. Finally, Becker (1937)

listed a number of criteria that could be used to

judge the effectiveness of guidance. She also identified

a number of ways that these criteria could be

measured.

The 1940s

The literature of the 1940s continued to emphasize

the need for the evaluation of guidance. Wrenn

(1940), substituting the phrase student personnel

2 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

By the time the

1971 project ended

in 1974, 44 states

had developed

some type of guide

or model for career

guidance,

counseling, and

placement.

work for guidance, urged that more studies were

needed. He recommended:

Let us have more developmental studies

that will follow over a period of years counseled

students and students exposed to certain

personnel procedures; that will use control

groups matched upon the more intangible

aspects of personality as well as upon such

objective measures as test scores and grades;

that will evaluate the success of the work done

with students in terms of broad areas of life

adjustment, and that will indicate the extent to

which the assistance the student receives is

effective in an after-institutional environment

as well as within the school walls. (p. 414)

Schultz (1941) reviewed the literature on guidance

in five educational magazines covering the period

1934 to 1939. He replicated a similar study conducted

by Kefauver and Davis (1933) covering the

time period 1927 to 1932. He found that in these

five magazines for the time period covered there

were no articles based on investigations which

involved “the projection of as complete a program

of guidance as possible, following a group of students

through this service, and making a careful

measure of the results.” (p. 494)

In the 1940s, the issue of what kind of training

should school counselors receive was receiving

increasing attention. Jager (1948) pointed out that

little or no mention of training in the evaluation of

guidance programs can be found in the literature.

He indicated that such training in evaluation should

take two forms: “that of the program as a whole and

of the techniques, staff, and administrative provisions

with which it operates; and that of its results as

evidenced in the counselees.” (p. 481)

A landmark document on evaluation appeared in

the 1940s authored by Froehlich (1949). He

reviewed and classified 173 studies according to the

following system:

1. External criteria, the do-you-do-this? method.

2. Follow-up, the what-happened-then? method.

3. Client opinion, the what-do-you-think? method.

4. Expert opinion, the “Information Please”

method.

5. Specific techniques, the little-little method.

6. Within-group changes, the before-and-after

method.

7. Between-group changes, the what’s-the-difference?

method. (p. 2)

Froehlich (1949) concluded his review by stating

that much more work on evaluation was needed. He

was concerned about the lack of suitable evaluation

criteria and the need for methods that met acceptable

research standards but yet could be used by

practitioners.

“Since its inception the guidance movement has

been concerned primarily with the establishment of

philosophies, the development of instruments and

techniques, and the organization of programs—to

the exclusion of the evaluation of results.” (Wilson,

1945, p. 1) This was the opening sentence in

Wilson’s book, Procedures in Evaluating a Guidance

Program. The remainder of her book focused on different

evaluation procedures including the use of

surveys, questionnaires, interviews, observations,

and self-evaluations. She provided detailed discussions

concerning the design and uses of each of

these procedures.

Later in the 1940s Wrenn (1947), again spoke to

the need for evaluating personnel services. (In this

article Wrenn was using the words personnel services

synonymously with the word guidance.) He stated

that “Neither they [personnel workers] nor the

public have been aware of the needs for evaluation,

but as the public becomes more intelligent about

what we are doing it will demand proof of value and

we must be prepared to supply it.” (p. 512)

One final article is worth noting from the 1940s.

Travers (1949), in a lengthy article that reviewed a

number of issues surrounding the evaluation of

guidance, stated that:

Progress will be slow until guidance workers

come to recognize guidance as a learning situation

which can be investigated by the methods

developed for investigating other learning

situations. These methods involve the specification

of the objectives of learning that are to

be achieved, the specification of the means of

achieving these objectives, the selection of criteria

for determining whether the learning

objectives have been achieved, and provision

for the control of relevant variables. Until

more studies of guidance are undertaken following

these steps, there will be very little certain

knowledge of what guidance is actually

accomplishing. (p. 223)

The 1950s

Interest in the evaluation of school guidance and

counseling programs continued unabated during

the 1950s. Calls for more and better evaluation of

guidance programs continued to be heard (Cottle,

1957; Jones, 1951; Mahoney, 1950). Such calls

stressed the need to establish better criteria for measuring

the results of guidance in schools.

Guidance and counseling activities in the 1950s

were reviewed three times in the Review of Educational

Research. Wagner, Arbuckle, & Carnes (1951)

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 3

noted that while there had been an increase in the

number of studies of guidance over the 3 years of

their review period, the focus of these studies had

been limited to specific parts of guidance. They

stressed the need “to evaluate total programs as well

as specific or isolated phases” (p. 106). Later,

McDaniel (1954), in his review of 3 years of literature,

pointed out that the research conducted during

that period had been mainly on the process

aspects of guidance programs and that more

research was needed on the effectiveness of various

organizational structures for guidance. Finally

Cottle (1957) reported on several studies that indicated

total programs of guidance in the schools had

had an impact on students’ lives.

The 1960s

In 1958, the National Defense Education Act

(NDEA) became law. Not since the passage of the

Vocational Education Act of 1946 (often referred to

as the George-Barden Act) did a federal law have as

much impact on the field of guidance and counseling.

NDEA provided funding for state supervisors of

guidance, statewide testing programs, and training

for individuals to become school counselors through

summer and year-long institutes. Propelled by

NDEA, the 1960s began a period of rapid expansion

for guidance in schools, particularly at the elementary

level.

The 1960s also witnessed the emergence of the

accountability movement in education. As education

was being held accountable for its outcomes, so too

was guidance. It was clear that it would be necessary

for school counselors to state guidance objectives in

measurable terms and then show how these objectives

related to the goals of education. It was also

clear that the value of guidance programs was

increasingly going to be judged based on their

impact on students.

In 1961, Wellman and Twiford prepared a bulletin

for the U.S. Office of Education (USOE) titled

Guidance Counseling and Testing Program Evaluation.

This bulletin was a response to a requirement in

Title V-A of NDEA that required states to review

and evaluate annually, local programs of guidance

and counseling. The bulletin summarized the recommendations

of the participants of a series of

workshops held in 1959 concerning the evaluation

of school guidance programs. It provided some

desired student outcomes of guidance programs,

offered suggestions for data collection, and presented

suggested procedural methods that could be used

in studies of students. The student outcomes identified

were:

1. Do students develop greater understanding of

their abilities, aptitudes, and interests?

2. Are students, and their parents, fully aware of

opportunities and requirements for education

and careers?

3. Do students select courses, and achieve in them,

in line with their abilities, aptitudes, interests, and

opportunities?

4. Do those students who are able to do so finish

secondary school?

5. Do those students who are capable of doing so

continue education beyond the secondary

school?

6. Are those students who continue their education

beyond the secondary school successful in their

educational pursuits?

7. Are significant numbers of the especially able students

getting more extensive background in

mathematics, science, and the foreign languages?

(Wellman & Twiford, 1961, p. 26)

The USOE continued its interest in the evaluation

of guidance and counseling by sponsoring research

seminars at the University of Georgia in 1961 and at

the University of Michigan in 1962. The focus of

these seminars was on problems in evaluating the

effectiveness of guidance. In 1963, the USOE initiated

a request for a proposal to evaluate the effectiveness

of guidance focusing on outcomes using the

recommendations from these seminars. Charles

Neidt (1965) was awarded a contract to develop the

research design while Fred Proff (1965) was awarded

a contract to do a literature review.

In his report, Neidt (1965) recommended that

the purpose of the proposed National Study of

Guidance should be “to identify factors of the guidance

process that are uniquely related to changes in

the behavior of students” (p. 2). As reported in

Wellman and Moore (1975, p. 5), the research

design Neidt suggested had four phases:

1. The development of taxonomies and operational

definitions of variables to be included in each of

the four variable domains, i.e., process, criterion,

student, and situational.

2. Instrumentation and field testing of instruments.

3. Sample selection.

4. Data collection and analysis.

(Wellman & Moore)

Only phase one of the proposed National Study

was completed with the work being done at the

University of Missouri-Columbia between 1966 and

1968 (Wellman & Moore, 1975).

One result of the work of Wellman and his colleagues

was the development of a systems model for

evaluation accompanied by a taxonomy of guidance

objectives classified in the three domains of educational,

vocational, and social development. This

4 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

model and its companion taxonomy of objectives

served as a basis for a number of evaluation models

that began appearing in the late 1960s and early

1970s. A Process Guide for the Development of

Objectives, originally published by the California

State Department of Education in 1970 and later by

the California Personnel and Guidance Association

(Sullivan & O’Hare, 1971), was an example of one

such model.

In a series of reviews of the evaluation of guidance

and counseling published in the 1960s in the

Review of Educational Research by Rothney and

Farwell (1960), Patterson (1963), Strowig and

Farwell (1966), and Gelatt (1969), discussion centered

on the need for evaluation and the lack of evidence

that it was occurring. Rothney and Farwell

stated that “Guidance services, like many others in

education, are still offered largely on the basis of

hope and faith” (p. 168). Strowig and Farwell were

particularly concerned about the lack of total program

research. Gelatt, repeating the concerns of previous

writers over the years, expressed his concern

about the confusion and vagueness that existed concerning

guidance objectives and outcomes.

In a report of research conducted in Minnesota,

Tamminen and Miller (1968) discussed the lack of

attention to outcomes research. To Rothney and

Farwell’s comment about accepting guidance in the

schools based on hope and faith, Tamminen and

Miller added charity.

Faith, hope, and charity have characterized

the American attitude toward guidance programs—

faith in their effectiveness, hope that

they can meet important if not always clearly

specified need, and charity in not demanding

more evaluative evidence that the faith and

hope are justified. (p. 3)

The 1970s

In the early 1970s the accountability movement

intensified. Concurrently, interest in the development

of comprehensive systematic approaches to

guidance program development and management

continued to increase. The convergence of these

movements in the 1970s served as a stimulus to continue

the task of defining guidance developmentally

in measurable individual outcome terms—as a program

in its own right rather than as services ancillary

to other programs.

On the West Coast, McDaniel (1970) proposed a

model for guidance called Youth Guidance Systems.

It was organized around goals, objectives, programs,

implementation plans, and designs for evaluation.

Closely related to this model was the

Comprehensive Career Guidance System (CCGS)

developed by personnel at the American Institutes

for Research (Jones, Helliwell, Ganschow, &

Hamilton, 1971; Jones, Hamilton, Ganschow,

Helliwell, & Wolff, 1972). The CCGS was designed

to systematically plan, implement, and evaluate

guidance programs. At about the same time, personnel

at the National Center for Vocational and

Technical Education designed a behavioral model

for career guidance based on a systems approach

focusing on evaluation (Campbell et al., 1971).

Later, the American College Testing Program

(1976) created the River City Guidance Model

which also stressed the evaluation of the results of

the program.

In addition to these approaches, a systematic

approach to guidance was being advocated in the

PLAN (Program of Learning in Accordance with

Needs) System of Individualized Education at about

the same time (Dunn, 1972). Guidance was seen as

a major component of PLAN and was treated as an

integral part of the regular instructional program.

According to Dunn the guidance program in PLAN

“to be effective, must be predicated on empirical

evidence.” (p. 8)

Concurrent with these efforts, a national effort

was begun to assist the states in developing and

implementing state models or guides for career

guidance, counseling, and placement. In 1971, the

University of Missouri-Columbia was awarded a

U.S. Office of Education grant to assist each state,

the District of Columbia, and Puerto Rico in developing

models or guides for implementing and evaluating

career guidance, counseling, and placement

programs in local schools. This project was the next

step in a program of work begun as a result of a previous

project at the university, a project that conducted

a national conference on career guidance,

counseling, and placement in October 1969, and

regional conferences across the country during the

spring of 1970. All 50 states, the District of

Columbia, and Puerto Rico were involved in the

1971 project, and by the time the project ended in

1974, 44 states had developed some type of guide or

model for career guidance, counseling, and

placement.

As a part of the assistance provided to the states,

project staff conducted a national conference in

January 1972 and developed a manual (Gysbers &

Moore, 1974) to be used by the states as they developed

their own guides. The manual described how

to develop, implement, and evaluate a comprehensive

guidance program. The program concept

described in the manual was evaluation-based,

focusing both on process and outcome evaluation.

Four questions were asked. What do we want to

accomplish? What kind of delivery system is needed?

What did we provide and do? What was the impact?

As the movement toward planning and imple-

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 5

Due to budget cuts

at federal, state,

and local levels

during the 1980s,

the theme that

school counselor

survival depended

upon accountability

was prevalent.

menting systematic developmental and accountable

guidance programs in the early 1970s became more

sophisticated, theoretical models began to be translated

into practical, workable models to be implemented

in the schools. One example of this occurred

in Mesa, Arizona. The guidance staff in the Mesa

Public Schools felt the need to reorient their guidance

program to make it more accountable.

Our main objective was, briefly stated, to

reduce the size of our “universe” down to

manageable size and then—within the parameters

of this “new” definition of guidance—be

responsible, i.e., accountable. We were committed

to move toward a model of accountability—

based not only upon what counselors

did—but rather based on results or outcomes

in terms of observable student behaviors.

(McKinnon, n.d., p. iii)

In 1974, the American Institutes for Research

began work on bringing together program planning

efforts previously undertaken by the Pupil Personnel

Division of the California State Department of

Education and their own Youth Development

Research Program in Mesa, Arizona, and elsewhere

(Jones, Helliwell, & Ganschow, 1975). This resulted

in the development of 12 competency-based staff

development modules on developing comprehensive

career guidance programs K–12. Module 3,

titled Assessing Desired Outcomes (Dayton, n.d.),

focused on the need for programs to be accountable

by starting with desired student outcomes spelled

out in “concrete, measurable terms, not vague statements”

(Dayton, p. 7).

In addition to these local, state, and national

efforts to establish guidance as a program and make

it accountable, there was substantial discussion of

these issues in professional literature. For example,

in a book titled Research and the School Counselor,

Cramer, Herr, Morris, and Frantz (1970) devoted a

chapter to the evaluation of guidance programs.

They pointed to the “increasing pressure on school

counselors to document and justify the efficacy of

their services” (p. 87). They described possible

methodology to accomplish the task whether the

focus is on total guidance program evaluation or it is

only on specific aspects of the program.

Another example of attention to the topic of

accountability occurred when one journal, Measurement

and Evaluation in Guidance, devoted an entire

issue (Volume 8, Number 3, October, 1975) to evaluation.

Pine (1975), writing in this issue, opened his

article with this statement: “In this age of accountability

the evaluation of school counseling is of paramount

concern to all counselors regardless of their

theoretical and philosophical biases” (p. 136). The

other writers in this special issue all echoed this concern

(Bardo & Cody, 1975; Buckner, 1975;

Helliwell & Jones, 1975; Lasser, 1975; & Miller &

Grisdale, 1975).

Pine (1975) went on in his article to identify criteria

typically used to establish that behavior change

in students has occurred at the elementary school

level as a result of being involved in counseling.

❚ Academic achievement

❚ Increase in grade point average

❚ Improvement in reading

❚ Peer relations

❚ Personal adjustment

❚ School attendance

❚ School adjustment

❚ School attitudes

❚ School anxiety

❚ Self-concept

❚ Self-esteem

❚ Self-understanding

❚ Teacher-pupil relationships

❚ Reduction of inappropriate behavior

❚ Intelligence test scores

❚ Setting realistic goals (p. 138)

Pine (1975) also identified methods typically used

for evaluating the effectiveness of elementary school

counseling programs. These were:

❚ The experimental approach—“after-only” design,

the “before-and-after” design, and the “beforeand-

after-with-control-group design

❚ The tabulation approach—the number of clients,

the number of counseling sessions, the nature and

kinds of problems discussed, the number of

parental contacts

❚ The follow-up approach

❚ The expert opinion, the “information-please”

method—a subjective evaluation by experts

❚ The client opinion (“what-do-you-think” method)

characterized by opinion surveys of counselees

❚ The external criteria, the “do you do this?” method—

the first step is to set up standards against

which the program to be evaluated is compared

❚ Opinion surveys of teachers, parents, and

employers

❚ The descriptive approach—counseling practices

are analyzed and described

❚ The case-study approach—a longitudinal view of

each client (p. 139)

Concern about accountability in the 1970s was

also evident in articles in a number of other journals

(Atkinson, Furlong, & Janoff, 1979; Bardo, Cody,

& Bryson, 1978; Carr, 1977; Crabbs & Crabbs,

1977; Gamsky, 1970; Gerler, 1976; Gubser, 1974;

6 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

Formative

evaluation answers

the question “How

are we doing” while

summative

evaluation answers

the question “How

did we do?”

Krumboltz, 1974; Thompson, & Borsari, 1978). In

addition, Wellman and Gysbers (1971) in the title of

their article asked the question that many others had

asked previously, “Did the program make a difference?”

They asked this question because they pointed

out that federal and state funding for guidance

placed responsibility on professionals to demonstrate

program effectiveness. They contended that outcomes

must be stated in behavioral terms that would

permit measurement. Finally, they suggested a variety

of designs for outcome evaluation including

baseline comparison group, within group design,

and experimental design.

Campbell (1978), Herr (1978), and Mitchell

(1978) writing in New Imperatives for Guidance all

stressed the need for and importance of accountability

for guidance. Campbell pointed out that simply

demonstrating that a guidance program is needed is

not enough; that decisionmakers want documentation

of the results. Herr reviewed definitions of the

terms research, evaluation, and accountability. He

focused his attention mainly on the issue of research

examining the need for research and how research

forms that basis for accountability. Mitchell emphasized

the importance of prioritizing student needs

and being accountable for student outcomes based

on those needs. In her discussion of the evaluation

of guidance she made an interesting observation

concerning the nature of such studies.

Evaluation studies need not be exhaustive,

scientifically oriented, statistically embellished.

On the other hand, they should be something

more than “warm puppy studies.” Warm

puppy studies focus on how happy everyone is

with the program, how much they like it. Such

studies, although helpful for ego-deficient

program leaders, do little to identify the

strengths and weaknesses of the program, or

to suggest direction for change in order to

enhance the likelihood of effectiveness.

(p. 127)

In the mid 1970s, the College Entrance Examination

Board (1978) developed the Career Skills

Assessment Program. John Krumboltz was the principal

consultant. Six content modules consisting of

an exercise booklet, self-scorable and machinescorable

response sheets, and a self-instructional

guide were created as follows:

❚ Self-evaluation and development skills

❚ Career awareness skills

❚ Career decision-making skills

❚ Employment-seeking skills

❚ Work effectiveness skills

❚ Personal economics skills

In the Career Skills Assessment Program manual

(College Entrance Examination Board, 1978),

Section IV described various uses of the instruments

including conducting evaluation and research studies

of career guidance programs. The point was

made that few evaluation tools existed to measure

student achievement in career guidance programs. It

was suggested that the instruments could help assess

program effectiveness from both a formative and

summative basis.

The 1980s

The concern about accountability did not lessen in

the 1980s, rather it increased. Due to budget cuts at

federal, state, and local levels, the theme that school

counselor survival depended upon accountability

was prevalent (Hayden & Pohlmann, 1981; Shay,

1981; Wiggins, 1981). Shay quoting Thurow (1980)

said that “the theme for the 1980s will be: All stress,

much strain” (p. 74).

As a result of these conditions numerous articles

were written about the need for accountability in

guidance and the lack of work being done to make

programs accountable (Froehle & Fuqua, 1981;

Wilson & Rotter, 1982; Wilson, 1985). A number

of other writers during the 1980s provided ideas

about how to do program evaluation (Lewis, 1983;

Lombana, 1985; Pine, 1981; Wheeler & Loesch,

1981). Fairchild and Zins (1986) reported on a

national survey of accountability practices. Of the

239 respondents (239 out of 500), 55 percent indicated

they were collecting accountability data. The

remainder stated they lacked knowledge of accountability

procedures and time was a major problem for

them.

In 1981, the California State Department of

Education published Guidelines for Developing

Comprehensive Guidance Programs in California

Public Schools: Kindergarten Through Adult School.

In this document formative and summative evaluation

were described using product data, process

data, and context data. It was stated that formative

evaluation answers the question “How are we

doing” while summative evaluation answers the

question “How did we do?”

The 1990s

Continued expressions about the lack of research

concerning the impact of guidance and counseling

were apparent as the decade of the 1990s began. For

example, Lee and Workman (1992) noted that

“Compared to other areas of the profession, school

counseling seems to have little empirical evidence to

support claims that it has a significant impact on the

development of children and adolescents” (p. 15).

Fairchild (1993) stated that while there had been an

increase in work on accountability by school coun-

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 7

When providing

guidance and

counseling

activities and

services, always

begin by first

identifying the

results anticipated.

selors since the survey Fairchild and Zins (1986) had

conducted earlier, there were still many practitioners

who did not collect accountability data.

Ways of proceeding with school guidance program

evaluation were also described in the 1990s.

Johnson and Whitfield (1991) presented an overall

plan to evaluate school guidance programs. In the

opening sentence of the introduction to their edited

monograph they stated that “Evaluation is an integral

part of every program and when considered

during the program development state, assures clear,

measurable goals” (p. 1).

Gysbers, Hughey, Starr, and Lapan (1992)

described the overall evaluation framework that

guided Missouri’s efforts to evaluate comprehensive

school guidance programs. Two of the five questions

that guided the evaluation process focused on

the measurement of students’ mastery of guidance

competencies and the possible impact of the program

on the climate and goals of the school.

During this same period of time, Borders and

Drury (1992) described components of effective

programs. One of the components was program

evaluation. In this component it was suggested that

“evaluation plans should focus on program results

rather than program services” (p. 493). They suggested

an evaluation plan that would focus on results

as well as a variety of evaluation methods that could

be used to accomplish this task.

Later in the 1990s, Whiston (1996) outlined a

number of approaches to research that could be

used in many settings including school settings. She

pointed out that school counselors were encountering

increased pressure to be accountable, and hence,

needed to be more active in outcome research. Then

in 1998, Whiston and Sexton (1998) presented a

review of school counseling outcome research published

between 1988 and 1995. In their opening

sentence they stated that “In this era of accountability,

school counselors increasingly are asked to provide

information to parents, administrators, and legislators

on the effectiveness of school counseling

activities” (p. 412).

2000

The emphasis on accountability that began in the

1920s has continued with renewed vigor in this the

first decade of the 21st century. Trevisan and

Hubert (2001) reiterated statements made over the

past 20 years concerning the importance of program

evaluation and of obtaining accountability data

regarding student results. Foster, Watson, Meeks,

and Young (2002) also reiterated the need for

accountability for school counselors and offered the

single-subject research design as a way to demonstrate

effectiveness. Lapan (2001) stressed the

importance of comprehensive programs of guidance

and counseling “conceptualized as results-based systems”

(p. 289). In his article he described a framework

for guidance program planning and evaluation.

Hughes and James (2001) noted the importance of

using accountability data with site-based management

teams and other school personnel. In addition,

articles by Myrick (2003), Johnson and Johnson

(2003), and Dahir and Stone (2003) in the February

2003 issue of Professional School Counseling all

emphasized the need for accountability.

EMPIRICAL STUDIES

Given 80 years of discussion about the importance

of accountability for guidance and counseling, the

question is, have there been empirical studies conducted

to evaluate the impact of guidance and counseling

on students? The answer is yes. These studies

have taken two forms; namely, evaluating the impact

of specific guidance and counseling activities and

services and evaluating the impact of total programs

of guidance and counseling. Both types of evaluation

are important. For purposes of this article however,

only selected total program evaluation studies

are presented. Three of the early empirical longitudinal

studies are described in some detail first

because of their historical importance while the

remainder of the studies are presented in the Table.

Kefauver and Hand

In the fall of 1934, Kefauver and Hand (1941)

undertook a study involving junior high school students

over a 3-year period, supported by a grant

from the Carnegie Foundation for the Advancement

of Teaching. For the study, two junior high schools

from Oakland, California, and two junior high

schools from Pasadena, California, were selected.

Students entering the seventh grade in the fall of

1934 served as the subjects. One school in each city

was chosen as an experimental school while the second

was chosen as a control school. Six tests and two

inventories developed by Kefauver and Hand were

administered to the experimental and control group

students at the beginning and end of the study.

Before highlighting some of the findings, it is

important to share the researchers’ use of the words

experimental and control.

It may be desirable to caution against interpreting

the use of the term “control” as referring

to groups or schools without any guidance

service. One cannot find a school without

some form of guidance. The comparisons

between experimental and control groups are

actually comparisons between schools with

different forms of guidance service and different

amounts of emphasis on guidance. The

8 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

added emphasis on guidance in the two socalled

experimental schools took the form, for

the most part, of an increase in the amount of

school time given to guidance activities by students,

increase in staff time for guidance work,

and extension in the amount of material and

tests over and above that generally employed

in the regular guidance programs in the two

cities. The comparisons reported in the study,

then, do not purport to show how students

develop with or without guidance. Instead,

they indicate some of the major outcomes

yielded by the two “plus” programs. (Kefauver

& Hand, 1941, p. 168)

What were the findings of this study? Kefauver

and Hand (1941) reported that there were small

beneficial effects in favor of the experimental schools

in providing educational, recreational, and socialcivic

guidance information. Larger beneficial effects

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 9

Selected Empirical Studies That Evaluated the Impact of Guidance and Counseling

Researchers Year Type of Study Major Findings

Cantoni 1954 Longitudinal experimental/control Follow-up data indicated experimental

study, high school students group had markedly better

adjustment in

• educational achievement

• occupational level

• emotional stability

Wellman & 1975 Experimental/control study, Experimental group had higher

Moore elementary school academic achievement

Lapan, Gysbers, 1997 Comparisons of students in high Students in high schools with more

& Sun schools with more fully implemented fully implemented programs reported:

guidance programs with students • they had earned higher grades

in less fully implemented programs • their education was better

preparing them for the future

• their schools had a more positive

climate

Nelson, 1998 Comparisons of students in high Students in high schools with

Gardner, & Fox schools with more fully implemented more fully implemented programs:

guidance programs with students in • took more advanced math and

less fully implemented programs science courses

• took more vocational/technical

courses

• had higher ACT scores on every

scale of the test

Lapan, Gysbers, 2001 Comparisons of students in middle Students in middle schools with more

& Petroski schools with more fully implemented fully implemented programs reported:

guidance programs with students in • they earned higher grades

less fully implemented programs • school was more relevant

• they had positive relationships

with teachers

• they were more satisfied with their

education

• they felt safer in school

Sink & Stroh 2003 Comparison of elementary students Elementary students (Grades 3 & 4)

enrolled for several years in enrolled in schools with a

well-established comprehensive comprehensive school counseling

school counseling program schools program produced higher

with students enrolled in non- achievement test scores on the

comprehensive school counseling Iowa Tests of Basic Skills—Form M

program schools and the Washington Assessment

of Student Learning

were noted in health guidance information. Even

larger beneficial effects were noted in imparting

vocational guidance information and information

about false guidance. Of particular interest to us

today was that “students in the experimental schools

typically made slightly greater gains in mean scores

on the Stanford Achievement Test that did the students

(1) in the corresponding control situations, or

(2) those who had been graduated by the two experimental

schools prior to the 3-year period during

which the study reported in this section of the volume

was conducted” (Kefauver & Hand, 1941, p.

215)

Rothney and Roens

Another major study of guidance began in the

school year 1936–1937 in Arlington, Massachusetts

(Rothney & Roens, 1950). Eighth graders were

divided into a guided group (experimentals) and an

unguided group (controls). At the beginning of the

study there were 129 students in each group. The

experimental group received intensive assistance by

counselors while the control group received no assistance

other than routine help in selecting courses

and making educational and vocational plans that

had been available previously.

Comparisons were made between the two groups

at the end of the senior year (June 1941). There

were 81 students in the guided group and 90 students

in the unguided group at graduation time in

June 1941. The comparisons were made on the following

criteria: drop-outs, subject failures, grade

failures, curriculum changes, graduation standing

(an over-all estimate of school achievement), and

admission to college. The findings were as follows:

1. The incidence of drop-out in the two groups was

approximately the same. Guidance apparently

had no effect with respect to the retention of students.

2. The rate of subject failures and the average number

of failures per subject decreased faster in the

guided group than in the unguided group.

3. The rate of grade failure was higher in the

unguided group in grade 10, the critical first year

of senior high school. It seems reasonable to

assume that the lower rate of the guided group

was partly the result of guidance.

4. Fewer students in the guided group made curriculum

changes, and the total number of changes

they made was less than in the unguided group.

More of the guided students who were in the college

curriculum remained in it. The relatively

more permanent decisions made by the guided

group may be attributed in part to guidance.

5. The mean scholastic rating of the guided group

was higher than that of the unguided group by a

statistically reliable margin.

6. A significantly larger percent of the guided group

than of the unguided group was admitted to

institutions of higher learning. (Rothney &

Roens, 1950, pp. 216–217)

Additional results from this study were gathered

by comparing the answers to questions administered

to the guided and unguided students during their

senior year (85 guided and 94 unguided) and 8

months later (85 guided and 82 unguided). The

questions dealt with education and employment.

What were the results? The responses indicated that

students in the guided group were better equipped

with information about their goals, better adjusted

and more confident, more familiar with community

agencies, more secure about their future, and more

satisfied with their choice of school or employment.

Rothney

The major study of the 1950s concerning the effects

of guidance in the schools occurred in the state of

Wisconsin. It is known as the Wisconsin Counseling

Study (Rothney, 1958). The full details of the study

were published in his book Guidance Practices and

Results. All 870 sophomores in the schools of the

four communities in Wisconsin were placed in either

an experimental group or a control group. The

experimental group received an intensive guidance

program while the controls did not.

Since the control and experimental subjects

attended the same school in the same city, questions

were raised about contamination. Rothney (1958)

acknowledged that contamination probably

occurred, but given the fact that this was a natural

setting, it could not be avoided. He stated that he

had “even observed an experimental boy with his

arm around a control-group girl while off on an

evening’s excursion and it was assumed that some

‘contamination’ might have resulted” (p. 61).

On graduation day in June 1951, there were 690

graduates. Three follow-ups took place: one 6

months after high school graduation, one 2 and

one-half years after graduation, and one 5 years after

graduation in 1956. One hundred percent of the

students (685) who were living participated in the

final follow-up.

Here are the findings of this landmark study.

Students who received counseling

1. Achieved slightly higher academic records in high

school and post-high school education.

2. Indicated more realism about their own strengths

and weaknesses at the time they were graduated

from high school.

3. Were less dissatisfied with their high school experiences.

10 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

Let us use the

wisdom of the past

to address the

challenge of

accountability

today and

tomorrow.

4. Had different vocational aspirations.

5. Were more consistent in expression of, entering

into, and remaining in their vocational choices,

classified by areas.

6. Made more progress in employment during the

5-year period following high school graduation.

7. Were more likely to go on to higher education,

to remain to graduate, and to plan for continuation

of higher education.

8. Were more satisfied with their post-high school

education.

9. Expressed greater satisfaction with their status 5

years after high school and were more satisfied

in retrospect with their post-high school experiences.

10. Participated in more self-improvement activities

after completing high school.

11. Looked back more favorable on the counseling

they had obtained. (Rothney, 1958, pp. 479–

480)

Rothney (1950) offered the following conclusion

to the study:

When so many small and a few large differences

in the directions hypothesized by guidance

workers can be obtained under representative

high school counseling conditions, it

seems likely that greater differences would

appear if counseling were done under more

ideal circumstances. Such circumstances

would seem to require more acceptance of

counseling as a regular part of secondary

school experience, more enthusiastic support

by parents and school personnel, and better

techniques of evaluation. (pp. 482–483)

ACCOUNTABILITY IS AN ONGOING

RESPONSIBILITY

Why has accountability been a topic of long standing

concern? By this time one might think that this

topic no longer requires professional attention

because empirical studies have demonstrated that

guidance and counseling does make a difference in

the lives of students. I believe that the topic keeps

reappearing because accountability is not a one-time

phenomenon. Accountability is an ongoing responsibility

of the profession at the national, state, and

local levels.

If accountability is never over, what can be learned

from the extensive literature on accountability of the

past 80 years that can help school counselors meet

their accountability obligations today? Space does

not permit a detailed presentation concerning how

the specific accountability techniques and methods

of the past can be applied to today’s world. However

there are several dominant themes that have

appeared consistently in the accountability literature

that speak to necessary prerequisite conditions that

must exist if accountability is to be achieved.

The first theme deals with mindset that individuals

have about accountability. Some see it as a threat.

The literature makes it clear that it is important to

rid the mind of the phobia of accountability, of the

persistent fear of accountability that often leads to a

compelling desire to avoid it. What is required is a

mindset that being accountable is simply a part of

the guidance and counseling work that is done in

schools every day. It is a way that this work can be

improved and its effectiveness demonstrated. It is

important to begin each school year, semester,

month, week, and day by being results oriented.

When providing guidance and counseling activities

and services, always begin by first identifying the

results anticipated.

The second theme focuses on the results of guidance

and counseling work in the schools. If questions

arise concerning which results are important to

focus on, review the local school district or local

building improvement plan. Those plans contain

outcomes that a local district has deemed important.

Most plans contain outcomes sought to which guidance

and counseling programs and/or specific activities

and services can contribute. There is extensive

language describing possible outcomes for guidance

and counseling available in the literature dating back

to the 1930s. These outcomes, presented in the literature

review in the first part of the article, are as

applicable to today’s work as they were for the work

in the past.

The third and final theme is that accountability

talk is not enough. It is important to remember that

expressing concern about accountability is necessary

but it is not sufficient. It is time for action. It is time

for school counselors and their leaders at all levels to

accept the challenge of accountability. The past has

much to offer us concerning this challenge and how

to address it. Let us use the wisdom of the past to

address the challenge of accountability today and

tomorrow. ❚

References

Alstetter,M. L. (1938). Guidance service in two hundred secondary

schools.Occupations 16, 513–520.

American College Testing Program. (1976). River City high

school guidance services: A conceptual model. Iowa City,

IA: Author.

Atkinson,D. R., Furlong,M. J., & Janoff,D. S. (1979). A four-component

model for proactive accountability in school

counseling. The School Counselor, 26, 222–228.

Bardo, H. R., & Cody, J. J. (1975).Minimizing measurement concerns

in guidance evaluation. Measurement and

Evaluation of Guidance, 8, 175–179.

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 11

Bardo, H. R., & Cody, J. J., & Bryson, S. L. (1978). Evaluation of

guidance programs: Call the question. Personnel and

Guidance Journal, 57, 204–208.

Becker, E.G. (1937). How shall guidance be evaluated? High

Points, 19, 5–10.

Borders, L.D., & Drury, S. M. (1992). Comprehensive school

counseling programs: A review for policymakers and

practitioners. Journal of Counseling and Development, 70,

487–501.

Buckner, E.T. (1975). Accountable to whom? The counselor’s

dilemma. Measurement and Evaluation of Guidance, 8,

187–192.

California State Department of Education. (1981). Guidelines

for developing comprehensive guidance programs in

California public schools: Kindergarten through adult

school. Sacramento, CA: Author.

Cantoni, L. J. (1954). Guidance: 4 students 10 years later. The

Clearing House, 28, 474–478.

Campbell, R. E. (1978).Developing exemplary guidance programs.

In G. R.Walz & L. Benjamin (Eds.), New imperatives

for guidance (pp. 30–62). Ann Arbor, MI: ERIC Counseling

and Personnel Services Clearinghouse.

Campbell, R. E.,Dworkin, E. P., Jackson,D. P., Hoeltzel, K. E.,

Parsons, G. E., & Lacey,D.W. (1971). The systems approach:

An emerging behavioral model for career guidance.

Columbus, OH:The Center for Vocational and Technical

Education.

Carr, R. (1977).The counselor or the counseling program as the

target of evaluation? Personnel and Guidance Journal, 56,

112–118.

Christy, E. B., Stewart, F. J., & Rosecrance, F. C. (1930). Guidance

in the senior high school. The Vocational Guidance

Magazine, 9, 51–57.

College Entrance Examination Board. (1978). Implementing the

career skills assessment program. New York: Author.

Cottle,W. C. (1957).The evaluation of guidance services. Review

of Educational Research, 37, 229–235.

Crabbs, S. K., & Crabbs,M. A. (1977). Accountability:Who does

what to whom, when, where, and how? The School

Counselor, 25, 104–109.

Cramer, S.H., Herr, E. L.,Morris, C. N., & Frantz,T.T. (1970).

Research and the school counselor. Boston, MA: Houghton

Mifflin.

Dahir, C. A., & Stone, C. B. (2003). Accountability: A M.E.A.S.U.R.E.

of the impact school counselors have on student

achievement. Professional School Counseling, 6, 214–221.

Dayton, C. (n.d.). Module 3 Assessing desired outcomes. Palo

Alto, CA: American Institutes for Research.

Dunn, J. A. (1972). The guidance program in the plan system of

individualized education. Palo Alto, CA: American

Institutes for Research.

Edgerton, A. H. (1929). Evaluating the effectiveness of guidance

practices. The Nation’s Schools, 3, 38–42.

Edgerton, A. H., & Herr, L. A. (1924). Present status of guidance

activities in public schools. The twenty-third yearbook,

National Society for the Study of Education, Part II,

Vocational guidance and vocational education for the

industries. Bloomington, IL: Public School Publishing.

Fairchild,T.N. (1993). Accountability practices of school counselors:

1990 national survey. The School Counselor, 40,

363–374.

Fairchild,T. N., & Zins, J. E. (1986). Accountability practices of

school counselors: A national survey. Journal of

Counseling and Development, 65, 196–199.

Foster, L.H.,Watson,T. S.,Meeks, C., & Young,T. S. (2002). Singlesubject

research design for school counselors: Becoming

an applied researcher. Professional School Counseling, 6,

146–154.

Froehle,T. C., & Fuqua,D. R. (1981). Systematic inquiry in the

school context. Personnel and Guidance Journal, 59,

509–514.

Froehlich, C. P. (1949). Evaluating guidance procedures: A review

of the literature.Washington, DC: Federal Security

Agency,Office of Education.

Gamsky, N. R. (1970). Action research and the school counselor.

The School Counselor, 18, 36–42.

Gelatt, H. B. (1969). School guidance programs. Review of

Educational Research, 39, 141–153.

Gerler, E. R. (1976). New directions for school counseling. The

School Counselor, 23, 247–251.

Gubser,M.M. (1974). Performance-based counseling:

Accountability or liability? The School Counselor, 21,

296–302.

Gysbers, N.D., Hughey, K. F., Starr, M., & Lapan, R.T. (1992).

Improving school guidance programs: A framework for

program personnel and results evaluation. Journal of

Counseling and Development, 70, 565–570.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2000).Developing and managing

your school guidance program. Alexandria,VA:

American Counseling Association.

Gysbers, N. C., & Moore, E. J. (1974). Career guidance, counseling

and placement: Elements of an illustrative program guide.

Columbia, MO: Career Guidance, Counseling and

Placement Project, University of Missouri-Columbia.

Hayden, C., & Pohlmann, N. (1981). Accountability and evaluation:

Necessary for the survival of guidance programs?

NASSP Bulletin, 65, 60–63.

Hedge, J.W., & Hutson, P.W. (1931). A technique for evaluating

guidance activities. School Review, 39, 508–519.

Helliwell, C. B., & Jones, G. B. (1975). Reality considerations in

guidance program evaluation. Measurement and

Evaluation of Guidance, 8, 155–168.

Herr, E. L. (1978). Research in guidance. In G. R.Walz & L.

Benjamin (Eds.), New imperatives for guidance (pp.

63–112). Ann Arbor, MI: ERIC Counseling and Personnel

Services Clearinghouse.

Hedge, J.W., & Hutson, P.W. (1931). A technique for evaluating

guidance activities. School Review, 39, 508–519.

Hinderman, R. A. (1930). Evaluating and improving guidance

services. Nation’s Schools, 5, 47–52.

Hughes,D. K., & James, S.H. (2001).Using accountability data

to protect a school counseling program: One counselor’s

experience. Professional School Counseling, 4, 306–309.

Hutson, P.W. (1935).Testing the guidance program. Nation’s

Schools, 15, 21–23.

Isaacs,M. L. (2003). Data-driven decision making: The engine of

accountability. Professional School Counseling, 6, 288–295.

Jager, H. A. (1948).Trends in counselor training.Occupations,

26, 480–482.

Johnson, S., & Johnson, C.D. (2003). Results based guidance: A

systems approach to student support programs.

Professional School Counseling, 6, 180–184.

Johnson, S. K., & Whitfield, E. A. (Eds.). (1991). Evaluating guidance

programs: A practitioner’s guide. Iowa City, IA:

American College Testing Program and the National

Consortium of State Career Guidance Supervisors.

Jones, A. J. (1951). Principles of guidance (4th ed.). New York:

McGraw-Hill.

Jones, G. B., Hamilton, J. A., Ganschow, L. H., Helliwell, C. B., &

Wolff, J.M. (1972). Planning, developing, and field testing

career guidance programs: A manual and report. Palo Alto,

CA: American Institutes for Research.

Jones, G. B., Helliwell, C. B., & Ganschow, L. H. (1975). A planning

model for career guidance. Vocational Guidance

Quarterly, 23, 220–226.

12 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

Jones, G. B., Helliwell, C. B., & Ganschow, L. H., & Hamilton, J. A.

(1971).Development and evaluation of a comprehensive

career guidance system. Palo Alto, CA: American Institutes

for Research.

Kefauver, G.N. (1932). Achievements of guidance in secondary

schools. The Vocational Guidance Magazine, 10, 199–201.

Kefauver, G. N., & Hand, H. C. (1932).Measurement of outcomes

of guidance in secondary schools. Teachers College

Record, 33, 324–334.

Kefauver, G. N., & Davis, A.M. (1933). Investigations in guidance.

Occupations, 12, 17–25.

Kefauver, G. N., & Hand, H. C. (1934). Evaluation of guidance

programs.Occupations, 12, 106–114.

Kefauver, G. N., & Hand, H. C. (1941). Appraising guidance in secondary

schools. New York:Macmillan.

Kefauver, G. N., & Hand, H. C., & Block,V. L. (1934). Objectives of

experimental guidance programs.Occupations, 13,

226–227.

Krumboltz, J.D. (1974). An accountability model for counselors.

Personnel and Guidance Journal, 52, 639–646.

Lasser, B. R. (1975). An outcomes-based approach to counseling

evaluation. Measurement and Evaluation of Guidance,

8, 169–174.

Lapan, R.T. (2001). Results-based comprehensive guidance and

counseling programs: A framework for planning and

evaluation. Professional School Counseling, 4, 289–299.

Lapan, R.T., Gysbers, N. C., & Petroski, G. (2001). Helping 7th

graders be safe and academically successful: A statewide

study of the impact of comprehensive guidance programs.

Journal of Counseling and Development, 79,

320–330.

Lapan, R.T., Gysbers, N. C., & Sun,Y. (1997).The impact of more

fully implemented guidance programs on the school

experiences of high school students: A statewide evaluation

study. Journal of Counseling and Development, 75,

292–302.

Lee, C. C., & Workman,D. J. (1992). School counselors and

research: Current status and future direction. The School

Counselor, 40, 15–19.

Lewis, J.D. (1983). Guidance program evaluation: How to do it.

The School Counselor, 31, 111–119.

Lombana, J. H. (1985). Guidance accountability: A new look at

an old problem. The School Counselor, 32, 340–346.

Mahoney, H. J. (1950). 10 years of evaluating guidance services.

Occupations, 29, 194–197.

McDaniel, H. B. (1954). Organization and administration of

guidance in elementary and secondary schools. Review

of Educational Research, 34, 109–112.

McDaniel, H. B. (1970). Youth guidance systems. Palo Alto, CA:

College Entrance Examination Board.

McKinnon, B. E. (n.d.). Toward accountability: A report on the

Mesa approach to career guidance, counseling, and placement.

Mesa AZ:Mesa Public Schools.

Miller, J.V., & Grisdale, G. A. (1975). Guidance program evaluation:

What’s out there? Measurement and Evaluation of

Guidance, 8, 145–154.

Mitchell, A.M. (1978).The design, development, and evaluation

of systematic guidance programs. In G. R.Walz & L.

Benjamin (Eds.), New imperatives for guidance (pp.

113–148). Ann Arbor, MI: ERIC Counseling and Personnel

Services Clearinghouse.

Myers, C. E. (1926). Some tentative standards for judging a comprehensive

guidance plan. Pittsburgh, PA:Department of

Vocational Guidance, Pittsburgh public Schools.

Myrick, R.D. (2003). Accountability: Counselors count.

Professional School Counseling, 6, 174–179.

National Defense Education Act of 1958. Pub. L. No. 85-864, 72,

Part 1, Stat. 1580 (1958).

Neidt, C.O. (1965). Relation of guidance practices to student

behavioral outcomes (OE-5-99-222). U.S.Department of

Health, Education, and Welfare. (Mimeographed).

Nelson,D. E., Gardner, J. L., & Fox D. G. (1998). An evaluation of

the comprehensive guidance program in Utah public

schools. Salt Lake City: Utah State Office of Education.

Patterson, C. H. (1963). Program evaluation. Review of

Educational Research, 33, 214–224.

Payne, A. F. (1924). Problems in vocational guidance. National

Vocational Guidance Association Bulletin 2, 61–63.

Pine, G. J. (1975). Evaluating school counseling programs:

Retrospect and prospect. Measurement and Evaluation in

Guidance, 8, 136–144.

Pine, G. J. (1981). Collaborative action research in school counseling:

The integration of research and practice. The

Personnel and Guidance Journal, 59, 495–501.

Proctor,W. M. (1930). Evaluating guidance activities in high

schools. The Vocational Guidance Magazine, 9, 58–66.

Proff, F. (1965). Research and counseling. Contractor’s Report,

U.S.Office of Education. (Mimeographed)

Rosecrance, F. C. (1930). Organizing guidance for the larger

school system. The Vocational Guidance Magazine, 9,

243–249.

Rothney, J.W. M. (1958). Guidance practices and results.New

York: Harper.

Rothney, J.W. M., & Farwell, G. F. (1960).The evaluation of guidance

and personnel services. Review of Educational

Research, 30, 168–175.

Rothney, J.W. M., & Roens, B. A. (1950). Guidance of American

youth: An experimental study.Cambridge, MA: Harvard

University.

Schultz, F. G. (1941). A re-check of articles on guidance in five

educational magazines.Occupations, 19, 492–495.

Shay,M. J. (1981). A zero-sum game: Are today’s economics

crunching counselor services? NASSP Bulletin, 65, 10–16.

Sink, C. A., & Stroh, H. R. (2003). Raising achievement test scores

of early elementary school students through comprehensive

school counseling programs. Professional School

Counseling, 6, 350–364.

Strowig, R.W., & Farwell, G. F. (1966). Programmatic research.

Review of Educational Research, 36, 327–334.

Sullivan, H. J., & O’Hare, R.W. (1971). Accountability in pupil personnel

services: A process guide for the development of

objectives. Fullerton, CA: California Personnel and

Guidance Association.

Tamminen, A.W., & Miller, G.D. (1968). Guidance programs and

their impact on students, Research Project No. OE-5-85-035.

St. Paul, MN:Department of Education.

Thompson,D. L., & Borsari, L. R. (1978). An overview of management

by objectives for guidance and counseling services.

The School Counselor, 25, 172–177.

Thurow, L. C. (1980, September 27). No progress without pain.

Time, p. 74.

Travers, R. M.W. (1949). A critical review of techniques for evaluating

guidance. Educational and Psychological

Measurement, 9, 211–225.

Treacy, J. P. (1937). Analyzing a guidance program. The

American School Board Journal, 44, 29–30.

Trevisan, M. S., & Hubert, M. (2001). Implementing comprehensive

guidance program evaluation support: Lessons

learned. Professional School Counseling 4, 225–228.

Vocational Education Act of 1946, Pub. L. No. 586, 60, Part 1,

Stat. 775 (1946).

Wagner, E. E., Arbuckle,D. S., & Carnes, E. F. (1951). Programs of

guidance. Review of Educational Research, 31, 106–114.

Wellman, F. E., & Gysbers, N. C. (1971).Main question is: Did the

program make a difference? American Vocational Journal,

46, 47–50.

8:1 OCTOBER 2004
ASCA 13

Wellman, F. E., & Moore, E. J. (1975). Pupil personnel services: A

handbook for program development and evaluation.

Washington, DC: U.S.Department of Health, Education,

and Welfare.

Wellman, F. E., & Twiford,D.D. (1961). Guidance Counseling and

Testing Program Evaluation Suggestions for Secondary

Schools Title V-A National Defense Education Act of 1958.

Washington DC: United States Government Printing

Office.

Wheeler, P.T., & Loesch, L. (1981). Program evaluation and

counseling:Yesterday, today, and tomorrow. The

Personnel and Guidance Journal, 59, 573–577.

Whitson, S. C. (1996). Accountability through action research:

Research methods for practitioners. Journal of Counseling

and Development, 74, 616–623.

Whitson, S. C., & Sexton,T. L. (1998). A review of school counseling

outcome research: Implications for practice. Journal

of Counseling and Development, 76, 412–426.

Wiggins, J.D. (1981). For counselors only: Steps to take in evaluating

a school’s guidance program. NASSP Bulletin, 65,

29–33.

Wilson, F. M. (1945). Procedures in evaluating a guidance program.

New York: Teachers College, Columbia University.

Wilson, N. H., & Rotter, J. C. (1982). School counseling: A look

into the future. The Personnel and Guidance Journal, 60,

353–357.

Wilson, N. S. (1985). School counselors and research:Obstacles

and opportunities. The School Counselor, 33, 111–119.

Wrenn, C. G. (1940).The evaluation of student personnel work:

Critique of the “guidance movement.” School and Society,

52, 409–414.

Wrenn, C. G. (1947).Trends and predictions in vocational guidance.

Occupations, 25, 503–513.

14 ASCA
PROFESSIONAL SCHOOL COUNSELING

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/05/evolution-of-accountabity.pdf

Counselors’ Role in 1

Running head: Counselors’ Role in a Changing, Diverse Society

Counselors’ Role in a Changing, Diverse Society

by

Victoria Merrill-Washington

University of Phoenix

October 27, 2007 Counselors’ Role in 2

ABSTRACT

School Counselors’ roles have changed with the challenges of today’s population. School counselors are support staff with high student-to-counselor ratios. Counselors are not only present in junior high and middle schools; they now service elementary schools. School counselors need to be aware of the demographics of the changing student populations and resources in order to provide multicultural guidance and obtain needed skills. Counselors need preparation in order to provide services for the changing, culturally diverse populations. Discussions include familiarity with the demographics of the changing student populations and resources to provide multicultural guidance and obtain needed skills. Counselors’ Role in 3

Counselors’ Role in a Changing, Diverse Society

Counselors’ roles have changed with the challenges of today’s population. Counselors are not only present in junior high and middle schools; they now service elementary schools. School counselors are support staff with high student-to-counselor ratios. The ratio of reported 100,052 guidance counselors in public schools is, on average, 477 students per counselor (Young, 2001-2002).

Counselors provide a diverse array of services to assist students including advising in academic, social, and behavioral matters as well as developmental issues (Cunningham & Cordeiro, 2003). The counseling relationship is formed upon trust and caring. Leadership through counseling and guidance fosters “enduring values, and honest, open communication” (Stephenson, 2004, p. 1). According to Cunningham and Cordeiro (2003),

Counselors provide a diverse array of services to help students, including advising in academic, social, emotional, and behavioral matters. They address a wide array of issues such as course selection, vocational placement, college selection, parental divorce, dating, loneliness, study habits, controlling aggressiveness, violence, depression, and many other developmental issues. (p. 236)

Counselors also develop relationships among students through large group, small group, and individual counseling sessions. Stephenson (2004) stipulates that a leader’s action set the tone for the caliber of the relationships and quality of communications. The quality of communication establishes a connection between counselor and student. The relationship that develops is a process that advances through various stages. Stephenson (2004) insists that leaders should ensure a climate of trust and compassion, based on open communication that expands Counselors’ Role in 4

from spoken communication to the act of listening, and use appropriate measures derived through learned information. With drugs, poor parental skills, abuse, homelessness, death, and other issues, there is great need for school counseling services. Leadership for counselors dictates that counselors provide services, address relevant issues in the school environment, and provide positive role modeling for students and staff.

National Populations

Counselors may need more preparation and skills in learning to deal with diverse populations. The nation is continually changing with one third of the country’s total population as a minority with numbers that will continue to increase (U. S. Census, 2006). This implies that counselors may interact with a changing population for which they must possess multicultural knowledge and competencies.

The country is also undergoing increases in crime. Nationally, the estimated number of arrests for drug violations increased from 1.69 million in 2003 to 1.75 million in 2004 and the number of adults in corrections systems has increased from 6.34 million in 2003 to 6.99 million in 2004 (The White House, 2006). Drug violators and adults in correctional systems may be parents with children in the school system.

Types of Cultures

There are various types of cultures. The definition of the word “culture” rests on two different levels: (1) culture as a reflection of ethnic heritage, national origin, religious affiliation, and the history and body of achievements of a demographic group and (2) the same word culture encapsulate a pervasive social problem that affects large numbers of people. Scott and Borodovsky (1990) explain the various types of cultures relevant to counselors and their students. They indicate that there should be an acknowledgment of numerous cultural, ethnic, Counselors’ Role in 5

and/or racial differences that exist as daily realities for the culturally different client (such as incidents of racism, discrimination, and dealing with neighborhood problems such as drug dealers) of which the member of the dominant culture has little awareness.

The counselor must have a working knowledge of these differences, not only as they pertain to her or his client as a member of a specific cultural, ethnic, or racial group, but also as they pertain to the client as an individual whose identity is intimately and intricately bound up in a specific culture, ethnic group, and/or racial group. In essence, this would entail a two-fold understanding: the client as a member of a culture different from that of the counselor and (perhaps more important) the client as an individual reacting to, from, and within her or his specific environment/culture. Hence, the counselor must acknowledge that he or she is faced with (a) a client whom he or she must get to know; (b) a culture that he or she must learn about; and (c) an individual client whose thoughts, feelings, and conceptions about her or his culture must be understood as they pertain to the client specifically. (Scott & Bordoysky, 1990, Counselor Role Taking section, ¶ 1)

The implication is that school counselors must deal with and work within the bounds of various types of cultures.

Counselors’ Intrinsic Requirements

The counseling profession requires counselors to “address the significance of ethnicity in the development of the students they serve” (Holcomb-McCoy, 2005, ¶ 5). Certain meanings, attire, and communication patterns may be prevalent in certain cultures and counselors must maintain cultural awareness to interact with various populations deriving meaning and emotional interactions that will benefit the client. According to the National Board for Professional Counselors’ Role in 6

Teaching Standards (2002), school counselors are knowledgeable concerning appropriate counseling strategies for diverse populations, and adjust their counseling styles and techniques to respond effectively to the needs of students whose worldviews and cultural experiences differ from the dominant culture.

The presence of multicultural knowledge may be crucial in discerning how counselors work with students and may play an important role in counselors’ ability to empathize and address the mental health concerns of culturally diverse students (Constantine & Gainor, 2001). The evolution in the diversity of student population challenges counselors’ communication skills. Of the data reported for 47.4 million students enrolled in public elementary and secondary schools in the 50 states and the District of Columbia, White non-Hispanic students made up the majority of students (60.3%), followed by Black (17.2), Hispanic (17.1%), Asian/Pacific Islander (4.2%), and American Indian/Alaska Native students made up 1.2% of the public school population (Young, 2001-2002). Pope-Davis, Liu, Toporek, and Brittan-Powell (2001) emphasize that much of the multicultural counseling research highlights the need for counselors to become culturally competent in addressing the needs of diverse communities. The National Board for Professional Teaching Standards also indicates (2002) that school counselors should be knowledgeable concerning appropriate counseling strategies for diverse populations and adjust their counseling styles and to respond effectively to the needs of students whose cultural experiences differ from the dominant culture.

The National Board for Professional Teaching Standards (2002) specifies that “Accomplished school counselors select and recommend research-based instructional materials and experiences that promote positive images of people of varying races, genders, religions, cultures, and physical and mental abilities” (p. 30). Since, school counselors should provide and Counselors’ Role in 7

select a positive curriculum for all people; then the expectation is that school counselors must possess multicultural counseling knowledge and awareness. Counselors need to be knowledgeable in delivering appropriate counseling services to diverse student populations. Counselors may then in turn facilitate students’ needs in acquiring multicultural knowledge and awareness so that they may interact socially and culturally with others to enhance students’ daily lives.

Counseling Population in Relation to the Student Population They Service

National statistics provide data on populations that school counselors serve, yet, there appears to be no data from national statistics regarding school counselors’ ethnicity. Research indicates the number of school-aged students from diverse backgrounds is increasing, yet, the majority of teachers and those in teacher education programs continue to be predominantly White (Cho & DeCastro-Ambrosetti, 2005). Constantine and Gainor’s (2001) study included both components of multicultural knowledge and awareness as well as emotional intelligence but could not address ethnicity due to an insufficient number of minorities in the sample population. A later study by Constantine (2001a) also factored in race and ethnicity. The study revealed that counselor race or ethnicity contributed a significant variance. The conclusion was that Black American and Latino American counselor trainees received ratings significantly higher in multicultural competence than their White American peers.

Support Diversity

School counselors can support diversity and enhance the understanding of cultures in various ways. School counselors may support diversity through speakers, sponsoring an awareness group, pursuing professional development, and presenting guidance lessons. The expectation is that school counselors utilize specific strategies that encourage respect for Counselors’ Role in 8

individual differences related to culture, gender, ethnicity, language, sexual orientation, disabilities, and other factors (National Board for Professional Teaching Standards, 2002).

Speakers

School counselors can bring in speakers of various ethnic groups to share their rituals and culture. Counselors or speakers can address issues concerning diversity at a Parents’ Night or PTA meeting. Counselors may become involved in hosting a culture night for the school and community. Through the culture night, students and families may discuss their country of origin (Hodgkinson, 2000) and open a dialogue with other families and staff.

Establish an Awareness Group

Sponsoring an awareness group may prove an option for students and teachers to develop tolerance, acceptance, and cultural understanding. School counselors must also recognize that students with different backgrounds may require unique types of counseling interventions (National Board for Professional Teaching Standards, 2002). Through an awareness group, counselors may employ strategies that recognize diversity and embraces approaches that support the worth, dignity, and potential of individuals within all contexts (ACA, 2005).

Professional Development

School counselors need to access professional development that encourages diversity, knowledge, and awareness. According to Cho and De-Castro-Ambrosetti (2005), to address the needs of an increasingly diverse population, it is imperative that those involved incorporate measures that prepare them to instruct culturally and linguistically diverse students in urban and suburban settings. Counselors may attend professional development workshops and conferences on diversity. School counselors may also provide professional development for teachers concerning diversity. Cho and DeCastro-Ambrosetti (2005) found that new teachers have limited Counselors’ Role in 9

cultural knowledge and teaching experience and feel ill equipped in teaching culturally and linguistically diverse students. Counselors may fill that gap by gaining professional development on diversity and passing on the information to staff and students.

Guidance Lessons on Diversity

Many counselors provide discussions and learning opportunities on various topics and issues through guidance lessons to students. School counselors may provide specific guidance lessons that address diversity and ethnicity issues. According to Zimmerman, Aberle, and Krafchick (2005), “Schools provide an ideal venue to initiate discussions related to diversity because they represent the first social settings where children interact with others who may not be of the same socioeconomic class or race” (para 3). School counselors should “select and promote counseling and teaching materials that positively depict children and adults with exceptionalities and that avoid using gender-specific terms and racially stereotypical language” (National Board for Professional Teaching Standards, 2002, p. 30). School counselors may make a list of successes for various ethic groups (Hodgkinson, 2000) and include role-plays, discussions, and classroom activities that represent various cultural perspectives (American Counseling Association, 2005). School counselors must design guidance lessons that will provide discussions and learning opportunities that promote positive growth on topics and issues of diversity.

Conclusion

School counselors’ roles have changed with the challenges of today’s population. School counselors must address and meet the needs of today’s changing society. Discussions included familiarity with the demographics of the changing student populations and resources to provide multicultural guidance and obtain needed skills. These resources include supporting diversity Counselors’ Role in 10

through various venues such as hosting speakers, sponsoring an awareness group, pursuing professional development, and presenting guidance lessons. Counselors’ investment and support through these types of cultural programs may provide the impetus for accepting and supporting diversity.

The nation is continually changing with one third of the country’s total population as a minority and the continuing growth of Hispanic and Black populations (U. S. Census, 2006). School counselors’ multicultural knowledge and awareness may influence and effect their interactions with culturally diverse students. This implies that counselors will interact with a changing population for which they must possess multicultural knowledge and competencies. Counselors’ Role in 11

References

American Counseling Association. (2005). ACA Code of Ethics. Retrieved October 9, 2007, fromwww.counseling.org

Cary, J. C. (1990). School counselors’ perceptions of training needs in multicultural counseling. Counselor Education and Supervision, 29(3), 155-169.

Cho, G., & DeCastro-Ambrosetti, D. (2005-2006). Is ignorance bliss? Pre-service teachers’ attitudes toward multicultural education. The High School Journal, 89(2), 24-28.

Constantine, M. G. (2001a). Predictors of observer ratings of multicultural counseling

competence in Black, Latino, and White American trainees. Journal of Counseling Psychology, 48(4), 456-463.

Constantine, M. G. (2001b). Theoretical orientation, empathy, and multicultural counseling competence and school counselor. Professional School Counseling, 4(5), 342-349.

Constantine, M. G., & Gainor, K. A. (2001). Emotional intelligence and empathy: Their relation to multi-cultural counseling knowledge and awareness. Professional School Counseling, 5(2), 131.

Cunningham, W. G., & Cordeiro, P. A. (2003). Educational leadership: A Problem based approach (2nd ed.). New York: Allyn and Bacon.

Hodgkinson, H. (2000, December/January). Educational demographics: What teachers should

know. Educational Leadership, 58(4), 6-11.

Holcomb-McCoy, C. (2005). Ethnic identity development in early adolescence: Implications and recommendations for middle school counselors. Professional School Counseling, 9(2), 120-127. Counselors’ Role in 12



National Board for Professional Teaching Standards. (2002). School Counseling Standards. Retrieved August 19, 2006, from http://www.nbpts.org/

Pope-Davis, D. B., Liu, W. M., Toporek, R. L., & Brittan-Powell, Ch. S. (2001). What’s missing

from multicultural competency research: Review, introspection, and recommendation. Cultural Diversity and Ethnic Minority Psychology, 7(2), 121-138.

Scott, N. E., & Borodovsky, L. G. (1990). Effective use of cultural role taking. Professional

Psychology: Research and Practice, 21(3), 167-170.

Stephenson, C. (2004, Jan/Feb). Rebuilding trust: The integral role of leadership in fostering values, honesty and vision. Ivey Business Journal Online. Retrieved January 16, 2005 from ProQuest.

The White House. (2006). Social Statistics. Retrieved July 28, 2006, from http://www.whitehouse.gov/fsbr/crime.html

U. S. Census Bureau. (2006). U. S. Department of Commerce. Retrieved August 16, 2006, from http://www.census.gov/

Young, B. A. (2001-2002). Elementary and secondary education. Education Statistics Quarterly, 5(2). Retrieved August 6, 2006, from

http://nces.ed.gov/programs/quarterly/vol_5/5_2/q own and own 3_4.asp

Zimmerman, T. S., Aberle, J. M., & Krafchick, J. L. (2005, Fall). Guidance and Counseling,

21(1), 47-56.

http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com/2008/02/counselors_-role-in-a-changing.pdf



STRATEGI BIMBINGAN DAN KONSELING

Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling

Sebagai sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut



A. Identifikasi kasus

Identifikasi kasus merupakan langkah awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :

1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.

2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.

3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.

4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.

5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.

B. Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.

Untuk mengidentifikasi kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.

C. Diagnosis

Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu : (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

D. Prognosis

Langkah ini dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus – kasus yang dihadapi.

E. Treatment

Langkah ini merupakan upaya untuk melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien, berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.

Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).

F. Evaluasi dan Follow Up

Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.

Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:

1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;

2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan

3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.

Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria jangka panjang.

Kriteria keberhasilan tampak segera, diantaranya apabila:

1. Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.

2. Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.

3. Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).

4. Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).

5. Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya

6. Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.

7. Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.

8. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.

9. Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:

10. Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.

11. Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.

12. Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.

Sumber:

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti

Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdiknas.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/31/prosedur-umum-layanan-bimbingan-dan-konseling/

Proses Layanan Konseling Individual

Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus



Dalam prakteknya, memang strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).

A. Tahap Awal

Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :

• Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.

• Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.

• Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.

• Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi: (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.

B. Inti (Tahap Kerja)

Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja.

Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :

• Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.

• Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.

• Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.

Hal ini bisa terjadi jika :

• Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

• Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.

• Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.

C. Akhir (Tahap Tindakan)

Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

• Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.

• Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.

• Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).

• Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya

Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2) perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/proses-layanan-konseling-individual/

Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah

Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.

Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya.

Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.

Secara visual, kedua pendekatan dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:



Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.

Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.

Perlu digarisbawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.

Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :

1. Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.

2. Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.

3. Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.

Secara visual, penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan berikut ini:



Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara optimal.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/penanganan-siswa-bermasalah-di-sekolah/

Teknik Umum Konseling (1)

Teknik umum merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :

A. Perilaku Attending

Perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :

1. Meningkatkan harga diri klien.

2. Menciptakan suasana yang aman

3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.

Contoh perilaku attending yang baik :

• Kepala : melakukan anggukan jika setuju

• Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum

• Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.

• Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.

• Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.

Contoh perilaku attending yang tidak baik :

• Kepala : kaku

• Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.

• Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.

• Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.

• Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.

B. Empati

Empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.

Terdapat dua macam empati, yaitu :

1. Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”. ” Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti keinginan Anda”.

2. Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.

C. Refleksi

Refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu :

1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”

2. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”

3. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”

D. Eksplorasi

Eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :

1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan ….”

2. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”.

3. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”

E. Menangkap Pesan (Paraphrasing)

Menangkap Pesan (Paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.

Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.

Contoh dialog :

Klien : ” Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa demikian ? ”

Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”

F. Pertanyaan Terbuka (Opened Question)

Pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.

Contoh : ” Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”

G. Pertanyaan Tertutup (Closed Question)

Dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3) menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.

Contoh dialog :

Klien : ”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan”.

Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.

Klien : ” Empat ”

Konselor: ” Sekarang berapa ? ”

Klien : ” Sebelas ”

H. Dorongan minimal (Minimal Encouragement)

Dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…, terus….dan…

Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.

Contoh dialog :

Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien menghentikan pembicaraan)

Konselor: ” ya…”

Klien : ” nekad bunuh diri”

Konselor: ” lalu…”

I. Interpretasi

Yaitu teknik untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.

Contoh dialog :

Klien : ” Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”

Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan meninggalkan SMA”.

J. Mengarahkan (Directing)

Yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.

Klien : ” Ayah saya sering marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”

Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”

K. Menyimpulkan Sementara (Summarizing)

Yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2) menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.

Contoh :

” Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar semakin jelas hasil pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”

Sumber :

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-umum-konseling/

Teknik Umum Konseling (2)

A. Memimpin (leading)

Yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .

Contoh dialog :

Klien :” Saya mungkin berfikir juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”

Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian Anda juga ?”

B. Fokus

Yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :

” Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.

Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :

1. Fokus pada diri klien. Contoh : ” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.

2. Fokus pada orang lain. Contoh : ” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?”

3. Fokus pada topik. Contoh : ” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.

4. Fokus mengenai budaya. Contoh: ” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”

C. Konfrontasi

Yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.

Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.

Contoh dialog :

Klien : ” Saya baik-baik saja”.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”

Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”. ”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.

D. Menjernihkan (Clarifying)

Yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.

Contoh dialog :

Klien : ” Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”

Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”

E. Memudahkan (facilitating)

Yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :

” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”

F. Diam

Teknik diam dilakukan dengan cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas bicara.

Contoh dialog :

Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”

Konselor :”…………..” (diam)

Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..

Konselor :”…………..” (diam)

G. Mengambil Inisiatif

Teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.

Contoh:

” Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.

G. Memberi Nasehat

Pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.

Contoh respons konselor terhadap permintaan klien : ” Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”

H. Pemberian informasi

Sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya.

Contoh :

” Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com di internet”.

I. Merencanakan

Teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.

Contoh :

” Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan kita sejak tadi ”

J. Menyimpulkan

Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-umum-konseling-2/

Teknik Khusus Konseling

Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt dan sebagainya

Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik khusus konseling, yaitu :

1. Latihan Asertif

Teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

2. Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.

3. Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.

4. Pembentukan Perilaku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

5. Permainan Dialog

Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :

Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.

Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.

Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.

Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.

Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.

Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.

6. Latihan Saya Bertanggung Jawab

Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.

Misalnya :

“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.

“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.

7. Bermain Proyeksi

Proyeksi yaitu memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain. Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

8. Teknik Pembalikan

Gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.

Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

9. Bertahan dengan Perasaan

Teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

10. Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

11. Adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

12. Bermain peran

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

13. Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.

Sumber :

H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Sofyan S. Willis. 2004.Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta

Sugiharto.(2005. Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-khusus-konseling/

Pendekatan Konseling Behavioral

Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.

Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.

Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.

Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.

Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.

Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.

Karakteristik konseling behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.

2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.

3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.

4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar

C. Tujuan Konseling

Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien.

Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik

Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.

D. Deskripsi Proses Konseling

Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.

Konselor aktif :

1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak

2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling

3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.

Deskripsi langkah-langkah konseling :

1. Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.

2. Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.

3. Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.

4. Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.

5. Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.

Teknik konseling behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral

• Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.

• Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.

• Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.

• Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).

• Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.

Teknik-teknik Konseling Behavioral

Latihan Asertif

Teknik ini dugunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.

Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.

Pengkondisian Aversi

Teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut.

Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.

Pembentukan Tingkah laku Model

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-behavioral/

Pendekatan Konseling Rasional Emotif

Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.

Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif

Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.

Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.

C. Tujuan Konseling

Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.

Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah.

Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :

Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.

Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.

Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.

Klien yang telah memiliki keyakinan rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.

D. Deskripsi Proses Konseling

Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.

Tugas konselor menunjukkan bahwa

• masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional

• usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.

Operasionalisasi tugas konselor : (a) lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.

Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :

1. Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.

2. Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.

3. Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.

4. Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.

E. Teknik Konseling

Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut.

Teknik-Teknik Emotif (Afektif)

Assertive adaptive

Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.

Bermain peran

Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.

Imitasi

Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.

Teknik-teknik Behavioristik

Reinforcement

Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif.

Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.

Social modeling

Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.

Teknik-teknik Kognitif

Home work assigments,

Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.

Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan

Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor

Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.

Latihan assertive

Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.

Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-rasional-emotif/

Pendekatan Konseling Gestalt

Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan integrasi pemikiran, perasaan, dan tingkah lakunya

Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.

Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang.

Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.

Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu.

B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi.

Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self).

• Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis

• Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya

• Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang

• Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi

Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :

• Kepribadian kaku (rigid)

• Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung

• Menolak berhubungan dengan lingkungan

• Memeliharan unfinished bussiness

• Menolak kebutuhan diri sendiri

• Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”.

C. Tujuan Konseling

Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan hidupnya.

Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal.

Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut.

• Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.

• Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya

• Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself)

• Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.

D. Deskripsi Proses Konseling

Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.

Konselor hendaknya menghindarkan diri dari pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat.

Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien.

Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.

Deskripsi fase-fase proses konseling :

Fase pertama, konselor mengembangkan pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang memungkinkan perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang diciptakan untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang harus dipecahkan.

Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan dan mengkondisikan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi klien. Ada dua hal yang dilakukan konselor dalam fase ini, yaitu :

Membangkitkan motivasi klien, dalam hal ini klien diberi kesempatan untuk menyadari ketidaksenangannya atau ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap ketidakpuasannya semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga makin tinggi pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.

Membangkitkan dan mengembangkan otonomi klien dan menekankan kepada klien bahwa klien boleh menolak saran-saran konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.

Fase ketiga, konselor mendorong klien untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini, klien diberi kesempatan untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu, dalam situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan memproyeksikan dirinya kepada konselor.

Melalui fase ini, konselor berusaha menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek kepribadian yang hilang, dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.

Fase keempat, setelah klien memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.

Pada fase ini klien menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik dan manusiawi.

Klien telah memiliki kepercayaan pada potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya dan tingkah lakunya.

Dalam situasi ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.

Teknik Konseling

Hubungan personal antara konselor dengan klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan dikembangkan dalam proses konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan selama proses konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu klien memperoleh kesadaran secara penuh.

Prinsip Kerja Teknik Konseling Gestal

Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien mengambil tanggung jawab atas tingkah lakunya.

Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi masa lalu atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya “mengapa”.

Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali dirinya: (a) klien mempergunakan kata ganti personal

klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi pernyataan; (b)klien mengambil peran dan tanggung jawab; (c) klien menyadari bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri atau tingkah lakunya

Teknik-teknik Konseling Gestalt

Permainan Dialog

Teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya : (a) kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh” (d) kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung; (e) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah

Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.

Latihan Saya Bertanggung Jawab

Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.

Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.

Misalnya :

“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan itu”

“Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.

“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu”.

Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.

Bermain Proyeksi

Proyeksi artinya memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya. Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya.

Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.

Teknik Pembalikan

Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.

Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.

Tetap dengan Perasaan

Teknik dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.

Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd. Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/pendekatan-konseling-gestalt/

Terapi Realitas

Terapi Realitas merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan.

Terapi Realitas berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan tanpa merugikan siapapun.

Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.

Adalah William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:

1. Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.

2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.

3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri

B. Ciri-Ciri Terapi Realitas

1. Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.

2. Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme.

3. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.

4. Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .

5. Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan disadarinya.

6. Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.

7. Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.

C. Tujuan Terapi

1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.

2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.

3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.

5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.

D. Proses Konseling (Terapi)

Konselor berperan sebagai:

1. Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.

2. Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.

3. Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.

4. Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.

5. Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.

Teknik-Teknik dalam Konseling

1. Menggunakan role playing dengan konseli

2. Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks

3. Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.

4. Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.

5. Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.

6. Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya

7. Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.

8. Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.

Sumber:

Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset

Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/14/terapi-realitas/

Pendekatan Konseling Psikoanalisis

A. Konsep Dasar

Hakikat manusia

Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:

• Anti rasionalisme

• Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.

• Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan lawan dari Thanatos

• Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.

• Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri biasa.

• Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego

B. Tujuan Konseling

• Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri

• Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.

C. Deskripsi Proses Konseling

1. Fungsi konselor

• Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis

• Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.

2. Langkah-langkah yang ditempuh :

• Menciptakan hubungan kerja dengan klien

• Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.

• Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya

• Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri

• Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.

• Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.

• Menutup wawancara konseling

D. Teknik Konseling

• Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.

• Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.

• Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.

• Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi

• Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/pendekatan-konseling-psikoanalisis/

Konseling Humanistik

A. Konsep Dasar:

• Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.

• Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri

• Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.

B. Asumsi Perilaku Bermasalah

Gangguan jiwa disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.

C. Tujuan Konseling

1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya

2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.

3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.

4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.

D. Deskripsi Proses Konseling

1. Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.

2. Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.

3. Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.

4. Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam hubungan konseling.

5. Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor.

E. Teknik-Teknik Konseling

Teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragement (memberi dorongan); (5) limited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).

Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.

Sumber:

Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta: Menara Mass Offset

Sofyan S. Willis. 2007. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/14/konseling-humanistik/

Terapi Kognitif-Behavioral

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) atau Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat menjadi lebih sehat, memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat memenuhi gaya hidup tertentu, dengan cara memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Pendekatan kognitif berusaha memfokuskan untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap orang lain (misalnya, hidup saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup saya). Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat memiliki cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa kehidupan dan tidak hanya sekedar berupaya mengatasi penyakit atau gangguan yang sedang dialaminya.. Dengan kata lain, konseling kognitif memfokuskan pada kegiatan mengelola dan memonitor pola fikir klien sehingga dapat mengurangi pikiran negatif dan mengubah isi pikiran agar dapat siperoleh emosi yang lebih positif. Sedangkan Konseling Behavioral memfokuskan pada kegiatan (tindakan) yang dilakukan klien, menentukan bentuk imbalan (rewards) yang dapat mendorong klien untuk melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan, guna mencegah klien melakukan tindakan yang tidak dikehendaki.

Sejarah Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) dapat dilacak dari awal para perintis psikologi, kecuali untuk konseling kognitif. Apa yang dipraktikkan sekarang ini sesungguhnya telah dikembangkan sejak tahun 50-an dan 60-an. Memasuki tahun 70-an, para pemikir dan praktisi aliran kognitif dan perilaku (behavioral) berusaha menggabungkan kedua pendekatan tersebut sehingga menghasilkan Konseling Kognitif-Behavioral. Sejak tahun 80-an hingga sekarang ini, Konseling Kognitif-Behavioral telah berkembang dan memiliki daya tarik tersendiri karena telah terbukti efektivitasnya dan mampu memberikan pelayanan dalam waktu yang lebih singkat, dibandingkan dengan psikoanalisis atau psikoterapi tradisional lainnya.

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) dapat digunakan dalam rangka membantu menangani berbagai masalah yang dihadapi individu: seperti : depresi, kecemasan dan gangguan panik, atau dalam menghadapi peristiwa hidup lainnya, seperti: kematian, perceraian, kecacatan, pengangguran, masalah yang berhubungan dengan anak-anak dan stres.

Dalam Terapi Kognitif-Behavioral (TKB), konselor dan klien bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang menyebabkan timbulnya gangguan fisik-emosional. Fokus dalam terapi ini adalah berusaha mengubah pikiran atau pembicaraan diri (self talk).

Proses Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) membantu klien dalam mengidentifikasi dan memperbaiki kesalahan spesifik dari apa yang dia pikirkan dan menyebabkan timbulnya perasaan negatif dan menyakitkan. Setiap bentuk pemikiran yang menyimpang klien ini dapat mempengaruhi tingkat emosi dan perilakunya.

Dalam memperlakukan orang yang mengalami kesulitan psikologis, titik yang paling efektif untuk dilakukan intervensi adalah pada tingkat pikiran yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Jika proses berpikirnya dapat berhasil dirubah, (misalnya asumsi, keyakinan, nilai-nilai), maka dengan sendirinya perubahan dalam emosi dan perilaku akan mengikutinya.

Berbagai teknik dan strategi behavioral therapy dapat digunakan untuk meningkatkan hasil perawatan (misalnya, teknik mengelola kemarahan, meditasi, latihan relaksasi, dan assertive training, dan sebagainya). Tidak seperti proses konseling tradisional umumya, Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) lebih memfokuskan pada hasil dan tujuan, termasuk didalamnya adalah hasil jangka pendek (segera) dari proses konseling yang sedang berjalan, yaitu tercapainya pengalaman positif klien yang relatif cepat dengan adanya kemajuan perasaan yang lebih lega dan daya tahan.

Berdasarkan hasil studi beberapa dekade belakangan ini, telah membuktikan bahwa Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan sebuah model sederhana yang sukses dan ampuh sebagai salah bentuk treatment psikologis. Saat ini Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) telah banyak diterapkan oleh para profesional di seluruh Amerika Serikat dan secara internasional.

“Jenis konseling ini adalah yang paling efektif dalam berurusan dengan individu-individu yang cerdas, rasional dan berkeinginan untuk memiliki gairah dan kenikmatan dalam hidup mereka” demikian menurut Beth Horwin, LPC, berdasarkan pengalamannya sebagai seorang therapist.

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) merupakan proses terapi yang mengambil banyak bentuk, sedikitnya terdapat 60 variasi. Secara ringkas, Beth Horwin mengemukakan proses konseling kognitif- behavioral ini, sebagai berikut:

• Membantu klien dalam mengenali, menganalisis dan mengelola keyakinannya.

• Membiarkan klien bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk memvalidasimya.

• Menempatkan dan menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang siapa dirinya dan apa tujuan hidup dia di dunia ini

• Menjaga fokus pada upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara menyeluruh”, bukan pada upaya penurunan emosi yang negatif

• Membelajarkan dan mendidik yakni memberikan kesempatan kepada klien untuk memeriksa/memguji kembali apa yang telah diucapkannya dengan kenyataan dirinya.

• Mengidentifikasi dan berbagai keterampilan praktis (misalnya, tentang penetapan tujuan dan pemecahan masalah).

• Melanjutkan untuk melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka panjang, setelah proses konseling selesai.

Sumber:

Terjemahan bebas dari tulisan: Beth Horwin, LPC, A Perspective on Cognitive Behavioral Therapy.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/09/05/terapi-kognitif-behavioral/

Konseling Pecandu Narkoba

Abstrak :

Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga, Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat mengkonsumsi narkoba.



Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri, keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik. Studi kasus aplikasi Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO, membuktikan bahwa dengan menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien telah menjadi anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di Jakarta.

Kata Kunci: Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.

*) Sofyan S. Willis adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).

Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).

Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.

Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.

Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).

Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.

Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.

Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).

1.2 Tujuan Studi Kasus

Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.

Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.

1.3 Kajian Literatur

Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.

Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.

“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.

Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.

2.Metode Penanganan Kasus

Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.

Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.

2.1 Konseling Individual (KI)

Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).

Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.

Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.

2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)

Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).

Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.

Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.

2.3 Konseling Keluarga (KK)

Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.

Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.

2. Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).

3. Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.

4. Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.

5. Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.

Secara berturut-turut telah dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual, bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.

Sumber : http://depdiknas.go.id, Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.

Konferensi Kasus untuk Membantu Mengatasi Masalah Siswa

Konferensi kasus merupakan kegiatan pendukung atau pelengkap dalam Bimbingan dan Konseling untuk membahas permasalahan siswa (konseli) dalam suatu pertemuan, yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan siswa (konseli).

Memang, tidak semua masalah yang dihadapi siswa (konseli) harus dilakukan konferensi kasus. Tetapi untuk masalah-masalah yang tergolong pelik dan perlu keterlibatan pihak lain tampaknya konferensi kasus sangat penting untuk dilaksanakan. Melalui konferensi kasus, proses penyelesaian masalah siswa (konseli) dilakukan tidak hanya mengandalkan pada konselor di sekolah semata, tetapi bisa dilakukan secara kolaboratif, dengan melibatkan berbagai pihak yang dianggap kompeten dan memiliki kepentingan dengan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli).

Kendati demikian, pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Artinya, tidak semua pihak bisa disertakan dalam konferensi kasus, hanya mereka yang dianggap memiliki pengaruh dan kepentingan langsung dengan permasalahan siswa (konseli) yang boleh dilibatkan dalam konferensi kasus. Begitu juga, setiap pembicaraan yang muncul dalam konferensi kasus bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh para peserta konferensi.

Konferensi kasus bukanlah sejenis “sidang pengadilan” yang akan menentukan hukuman bagi siswa. Misalkan, konferensi kasus untuk membahas kasus narkoba yang dialami siswa X. Keputusan yang diambil dalam konferensi bukan bersifat “mengadili” siswa yang bersangkutan, yang ujung-ujungnya siswa dipaksa harus dikeluarkan dari sekolah, akan tetapi konferensi kasus harus bisa menghasilkan keputusan bagaimana cara terbaik agar siswa tersebut bisa sembuh dari ketergantungan narkoba.

B. Tujuan

Secara umum, tujuan diadakan konferensi kasus yaitu untuk mengusahakan cara yang terbaik bagi pemecahan masalah yang dialami siswa (konseli) dan secara khusus konferensi kasus bertujuan untuk:

1. mendapatkan konsistensi, kalau guru atau konselor ternyata menemukan berbagai data/informasi yang dipandang saling bertentangan atau kurang serasi satu sama lain (cross check data)

2. mendapatkan konsensus dari para peserta konferensi dalam menafsirkan data yang cukup komprehensif dan pelik yang menyangkut diri siswa (konseli) guna memudahkan pengambilan keputusan

3. mendapatkan pengertian, penerimaan, persetujuan dari komitmen peran dari para peserta konferensi tentang permasalahan yang dihadapi siswa (konseli) beserta upaya pengentasannya.

C. Prosedur

Konferensi kasus dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Kepala sekolah atau Koordinator BK/Konselor mengundang para peserta konferensi kasus, baik atas insiatif guru, wali kelas atau konselor itu sendiri. Mereka yang diundang adalah orang-orang yang memiliki pengaruh kuat atas permasalahan dihadapi siswa (konseli) dan mereka yang dipandang memiliki keahlian tertentu terkait dengan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli), seperti: orang tua, wakil kepala sekolah, guru tertentu yang memiliki kepentingan dengan masalah siswa (konseli), wali kelas, dan bila perlu dapat menghadirkan ahli dari luar yang berkepentingan dengan masalah siswa (konseli), seperti: psikolog, dokter, polisi, dan ahli lain yang terkait.

2. Pada saat awal pertemuan konferensi kasus, kepala sekolah atau konselor membuka acara pertemuan dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakan konferensi kasus dan permintaan komitmen dari para peserta untuk membantu mengentaskan masalah yang dihadapi siswa (konseli), serta menyampaikan pentingnya pemenuhan asas–asas dalam bimbingan dan konseling, khususnya asas kerahasiaan.

3. Guru atau konselor menampilkan dan mendekripsikan permasalahan yang dihadapi siswa (konseli). Dalam mendekripsikan masalah siswa (konseli), seyogyanya terlebih dahulu disampaikan tentang hal-hal positif dari siswa (konseli), misalkan tentang potensi, sikap, dan perilaku positif yang dimiliki siswa (konseli), sehingga para peserta bisa melihat hal-hal positif dari siswa (konseli) yang bersangkutan. Selanjutnya, disampaikan berbagai gejala dan permasalahan siswa (konseli) dan data/informasi lainnya tentang siswa (konseli) yang sudah terindentifikasi/terinventarisasi, serta upaya-upaya pengentasan yang telah dilakukan sebelumnya.

4. Setelah pemaparan masalah siswa (konseli), selanjutnya para peserta lain mendiskusikan dan dimintai tanggapan, masukan, dan konstribusi persetujuan atau penerimaan tugas dan peran masing-masing dalam rangka pengentasan/remedial atas masalah yang dihadapi siswa (konseli)

5. Setelah berdiskusi atau mungkin juga berdebat, maka selanjutnya konferensi menyimpulkan beberapa rekomendas/keputusan berupa alternatif-alternatif untuk dipertimbangkan oleh konselor, para peserta, dan siswa (konseli) yang bersangkutan, untuk mengambil langkah-langkah penting berikutnya dalam rangka pengentasan masalah siswa (konseli).

C. Beberapa hal yang perlu diperhatikan

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan konferensi kasus, antara lain:

1. Diusahakan sedapat mungkin kegiatan konferensi kasus yang hendak dilaksanakan mendapat persetujuan dari kasus atau siswa (konseli) yang bersangkutan

2. Siswa (konseli) yang bersangkutan boleh dihadirkan kalau dipandang perlu, boleh juga tidak, bergantung pada permasalahan dan kondisinya.

3. Diusahakan sedapat mungkin pada saat mendeskripsikan dan mendikusikan masalah siswa (konseli) tidak menyebut nama siswa (konseli) yang bersangkutan, tetapi dengan menggunakan kode yang dipahami bersama.

4. Dalam kondisi apa pun, kepentingan siswa (konseli) harus diletakkan di atas segala kepentingan lainnya.

5. Peserta konferensi kasus menyadari akan tugas dan peran serta batas-batas kewenangan profesionalnya.

6. Keputusan yang diambil dalam konferensi kasus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional, dengan tetap tidak melupakan aspek-aspek emosional, terutama hal-hal yang berkenaan dengan orang tua siswa (konseli) yang bersangkutan

7. Setiap proses dan hasil konferensi kasus dicatat dan diadminsitrasikan secara tertib.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/08/konferensi-kasus-untuk-membantu-mengatasi-masalah-siswa/

Konseling FaceBook di Sekolah, Kenapa Tidak?

A. Mengapa Konseling FaceBook?



Salah satu yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah adalah landasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”.

Untuk kegiatan cyber counseling, idealnya sekolah atau konselor yang bersangkutan dapat menyediakan website tersendiri yang dipergunakan khusus untuk kepentingan Bimbingan dan Konseling bagi para siswanya. Namun untuk saat ini upaya menyediakan website khusus untuk kepentingan Bimbingan dan Konseling ini tampaknya di Indonesia masih menjadi kendala, baik karena faktor biaya maupun kesiapan sumber daya. Oleh karena itu perlu dipikirkan cara yang lebih praktis untuk menyediakan layanan cyber counseling ini. Salah satu alternatif yang mungkin dapat ditempuh yakni melalui pemanfaatan FaceBook sebagai salah satu media konseling.

Untuk memahami apa itu FaceBook, berikut ini sekilas informasi tentang Facebook yang penulis ambil dari berbagai sumber. Wikipedia menginformasikan bahwa Facebook adalah situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Dalam dua bulan selanjutnya, keanggotaannya diperluas ke sekolah lain di wilayah Boston (Boston College, Boston University, MIT, Tufts), Rochester, Stanford, NYU, Northwestern, dan semua sekolah yang termasuk dalam Ivy League. Banyak perguruan tinggi lain yang selanjutnya ditambahkan berturut-turut dalam kurun waktu satu tahun setelah peluncurannya. Akhirnya, orang-orang yang memiliki alamat e-mail suatu universitas (seperti: .edu, .ac, .uk, dll) dari seluruh dunia dapat juga bergabung dengan situs jejaring sosial ini.

Selanjutnya dikembangkan pula jaringan untuk sekolah-sekolah tingkat atas dan beberapa perusahaan besar. Sejak 11 September 2006, orang dengan alamat e-mail apa pun dapat mendaftar di Facebook. Pengguna dapat memilih untuk bergabung dengan satu atau lebih jaringan yang tersedia, seperti berdasarkan sekolah, tempat kerja, atau wilayah geografis.

Hingga Juli 2007, situs ini memiliki jumlah pengguna terdaftar paling besar di antara situs-situs yang berfokus pada sekolah dengan lebih dari 34 juta anggota aktif yang dimilikinya dari seluruh dunia. Dari September 2006 hingga September 2007, peringkatnya naik dari posisi ke-60 ke posisi ke-7 situs paling banyak dikunjungi, dan merupakan situs nomor satu untuk foto di Amerika Serikat, mengungguli situs publik lain seperti Flickr, dengan 8,5 juta foto dimuat setiap harinya.

Tak terkecuali di Indonesia, saat ini FaceBook telah menjadi trend yang banyak diminati oleh semua kalangan sebagai media pertemanan secara online. Meski belakangan kehadirannya sempat mengundang kontroversi dan nyaris diharamkan oleh sebagian para ulama karena mungkin dianggap sudah terjadi distorsi dari tujuan awal kehadiran FaceBook sebagai media pertemanan.

Trend penggunaan FaceBook di Indonesia memang sangat beragam, mulai dari sekedar ngobrol ngalor-ngidul tak menentu hingga penyampaian informasi yang serba serius. Dari hasil penelusuran dalam FaceBook yang pernah penulis lakukan ternyata sudah ada beberapa teman konselor yang menjadi FaceBooker, namun tampaknya belum sepenuhnya keanggotaan dalam FaceBook-nya dijadikan sebagai media yang dapat menunjang tugas dan pekerjaannya sebagai konselor di sekolah.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis berusaha menawarkan gagasan bagaimana memanfaatkan kehadiran FaceBook sebagai salah satu media yang dapat mengoptimalkan peran konselor di sekolah dalam rangka pemberian layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

B. Apa Konseling FaceBook itu?

Yang dimaksud dengan Konseling FaceBook di sini penulis artikan sebagai bantuan psikologis kepada siswa (konseli) secara online melalui FaceBook agar siswa dapat memahami, menerima, mengarahkan, mengaktualisasikan dan mengembangkan dirinya secara optimal.

Layanan yang diberikan melalui Konseling FaceBook ini bisa mencakup semua fungsi-fungsi layanan bimbingan dan konseling, baik pencegahan, pemahaman, pengembangan, penempatan atau bahkan pengentasan.

Fungsi pencegahan dan pemahaman dapat dilakukan melalui penyajian berbagai informasi yang sekiranya dibutuhkan siswa. Dalam FaceBook disediakan fasilitas untuk menyajikan informasi yang dapat diakses oleh seluruh komunitas.

Sumber informasi tidak hanya berasal dari konselor semata tetapi juga dimungkinkan bersumber dari siswa untuk dibagikan kepada anggota komunitasnya. Informasi yang disajikan dapat juga dilakukan dengan mengambil tautan (link) yang tersedia di internet, yang mungkin jauh lebih kaya dibandingkan offline, baik untuk bidang pribadi, sosial, akademik maupun karier.

Fungsi pengembangan juga dapat dilakukan dalam FaceBook ini, misalnya membangun kebiasaan interaksi sosial secara positif dengan komunitas FaceBook-nya, atau menyalurkan berbagai pemikiran yang ada dalam diri setiap siswa dengan cara menuliskannya dalam FaceBook yang dikelolanya.

Sementara fungsi pengentasan dapat dilakukan melalui chatting secara online yang telah disediakan dalam FaceBook, dimana konselor dan konseli dapat berinteraksi langsung. Salah satu keunggulan dari FaceBook yaitu adanya jaminan privacy, yang memungkinkan untuk dilaksanakannya konseling perorangan, dengan terjaga kerahasiaannya. Fungsi pengentasan tidak hanya melalui interaksi konselor-konseli (siswa), tetapi juga dilakukan antar konseli (siswa), dimana siswa dapat saling berbagi dengan teman-teman yang dipercayainya.

Kendati demikian, kehadiran Program Konseling FaceBook di sekolah bukan dimaksudkan menggeser konseling konvensional, tetapi lebih dimaksudkan untuk melengkapi dan menunjang tugas-tugas pelayanan konseling konvensional agar pelayanan bimbingan dan konseling dapat berjalan lebih efektif dan efisien.

C. Bagaimana Penyelenggaraan Konseling FaceBook itu?

Program Konseling FaceBook berbeda dengan keanggotaan dalam FaceBook pada umumnya, didalamnya membutuhkan kegiatan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang terorganisir, serta evaluasi yang jelas.

Dalam perencanaan, perlu dilakukan sosialisasi kepada berbagai pihak terkait, terutama kepada siswa dan juga pihak manajemen sekolah, sehingga program Konseling FaceBook mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Dalam pelaksanaan, konselor bertindak sebagai Admin dari Program Konseling FaceBook di sekolah, yang akan mengelola jalannya Program Konseling FaceBook. Selain itu, konselor juga terutama bertindak sebagai tenaga ahli yang selalu siap memberikan bantuan psikologis kepada anggota komunitas yang tergabung dalam Program Konseling FaceBook.

Program Konseling FaceBook juga perlu dilakukan evaluasi baik evaluasi program, proses maupun produk. Data dari hasil evaluasi dapat digunakan untuk kepentingan perbaikan dan pengembangan Program Konseling FaceBook berikutnya.

Secara teknis, berikut ini beberapa pemikiran penulis tentang bagaimana menyelenggarakan Konseling FaceBook:

1. Pemahaman dan Penguasaan Konselor tentang FaceBook

Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, untuk dapat menyelenggarakan Konseling FaceBook ini, terlebih dahulu konselor perlu memahami seluk beluk dalam mengoperasikan FaceBook, yang dapat dilakukan melalui belajar secara online melalui berbagai situs yang ada atau belajar kepada pihak lain yang sudah terbiasa menggunakan FaceBook. Dalam Konseling FaceBook, konselor bertindak sebagai Admin dari komunitas Bimbingan dan Konseling yang dikelolanya, yang bertugas men-setting FaceBook yang dikelolanya dan bertanggung jawab penuh terhadap kelancaran dan keberhasilan penyelenggaraan Konseling FaceBook

2. Keanggotaan

Idealnya keanggotaan Konseling FaceBook dapat diikuti oleh seluruh siswa (konseli) yang menjadi tanggung jawab konselor yang bersangkutan, kendati demikian sebaiknya untuk keanggotaan ini tidak perlu dipaksakan tetapi harus berdasarkan asas sukarela. Dalam hal ini konselor berkewajiban mensosialisasikan program Konseling FaceBook kepada para siswanya sehingga siswa terpahamkan dan dapat secara sukarela tertarik untuk bergabung dalam Program Konseling FaceBook.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam keanggotaan Konseling FaceBook bahwa keanggotaan dalam Konseling FaceBook seyogyanya bersifat eksklusif, artinya terbatas hanya bisa diikuti oleh para siswa yang menjadi tanggung konselor yang bersangkutan. Oleh karena itu kepada siswa, yang sudah bergabung dalam komunitas Konseling FaceBook sebaiknya tidak diijinkan untuk meng-add (menambah) anggota secara sembarangan, karena menambahkan anggota secara sembarangan dapat merusak kohesivitas kelompok yang sudah terbentuk.

3. Waktu PelayananKonseling

Salah satu kendala pelayanan konseling di sekolah saat ini adalah waktu pelayanan (khususnya untuk kepentingan konseling perorangan) yang kerapkali berbenturan dengan kegiatan belajar-mengajar siswa di kelas. Sementara jika pelayanan konseling dilakukan di luar jam efektif pun, para konselor seringkali merasa berkeberatan, karena berbagai alasan tertentu. Oleh karena itu, Konseling FaceBook tampaknya bisa dijadikan sebagai alternatif mengatasi benturan waktu ini. Waktu pelayanan konseling melalui Konseling FaceBook bisa jauh lebih fleksibel. Untuk kepentingan pelayanan kepada siswa (konseli) diharapkan konselor bisa menyediakan waktu khusus online yang terjadwal, untuk memberikan kesempatan kepada siswa berinteraksi langsung dengan konselor.

4. Menentukan Aturan Main (Rule of The Game)

Untuk menyelenggarakan Konseling FaceBook terlebih dahulu perlu dirumuskan aturan main yang harus ditaati oleh konselor sebagai admin maupun siswa sebagai anggota. Selain aturan main yang ditentukan oleh FaceBook (term of services) itu sendiri, juga perlu dibuat aturan khusus terkait dengan penyelenggaraan Konseling FaceBook, yang didalamnya dapat terpenuhi asas-asas konseling, misalnya: pemenuhan asas kerahasiaan dimana setiap siswa yang sudah bergabung dalam komunitas Konseling FaceBook dapat berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan atas setiap informasi yang berkembang dalam Konseling FaceBook. Demikian pula dengan pemenuhan asas-asas bimbingan dan konseling lainnya.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/06/06/konseling-facebook-di-sekolah-kenapa-tidak/

Pembelajaran Kompetensi Konseling Karir Mikro Melalui Metode Multi Inteligensi

Konseling merupakan layanan bantuan yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman individu akan potensi dirinya untuk memecahkan masalah. Tolbert pada Prayitno (1993) merumuskan pengertian konseling :

Konseling adalah hubungan antar pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara konselor yang memiliki kemampuan dan konseli yang membutuhkan pemecahan masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan masa depannya.



Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan proses hubungan antara konselor dan konseli yang terarah pada tercapainya tujuan tertentu yaitu pemecahan masalah. Untuk mencapai tujuan dalam upaya membantu, konselor menggunakan keahlian yang terlatih (kompetensi) untuk memahami berbagai permasalahan yang dihadapi konseli dan pemahaman terhadap berbagai karakteristik dan potensi yang dimiliki konseli.

Konseling karir menurut Drummond & Ryan ( 1995):

Career conseling and development are processes in which counseling activities, strategic and interventtions are used to work with people who seek help ini making career exploration, planning and transition decisions ……. in learning and working process.

Drummond & Ryan merumuskan konseling karir dan perkembangannya merupakan proses dimana kegiatan, strategi dan intervensi digunakan untuk membantu konseli dalam eksplorasi karir, perencanaan dan pengambilan keputusan karir dalam proses belajar pada lingkup sekolah dan atau dalam proses kerja. Dari rumusan tersebut terkandung makna bahwa fungsi konseling karir adalah memberikan layanan pada para konseli dalam membuat perencanaan dan pengambilan keputusan karir secara berkesinambungan berfungsi dalam lingkup lembaga kerja bahkan tren terakhir juga berfungsi pada lingkungan pasca kerja. Untuk menghadapi tren dan isu di abad 21 ini menurut Ryan peran dan strategi konselor karir tidak hanya berorientasi pada potensi konseli tetapi juga berorientasi pada kondisi globalisasi.

Kompetensi sebagai komponen utama keahlian/keterampilan profesi konselor karir merupakan wujud potensi dan aktualisasi diri dalam memberikan layanan konseling karir. Spencer & Spencer merumuskan pengertian kompetensi:

Competency is an underlying characteristic of an individual that is causally relatad to criterion – referenced effective and /or superior performance in a job or situation. ………… The underlying characteristic of an individual are knowledge, skill, motivation, traits and self concept. (1993)

Kompetensi konselor karir yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah :

1. Kompetensi perilaku non verbal

2. Kompetensi verbal atending

3. Kompetensi verbal influensing

4. Kompetensi fokus verbal

5. Kompetensi orientasi teori

6. Kompetensi kepribadian

Seluruh kompetensi tersebut mengacu pada taksonomi konseling karir dari Ivey. (1978)

Metode pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan untuk memberi kemudahan bagi peserta didik mengembangkan “potensi belajar melalui materi (isi)” untuk “menemukan” dan memecahkan masalah secara aktif dan kreatif dalam suasana yang dialogis.

Howard Gardner pada Armstrong mengungkapkan bahwa setiap individu memiliki tujuh potensi inteligensi yang selanjutnya berkembang menjadi sepuluh. Pada penelitian ini digunakan delapan potensi inteligensi yang berfungsi secara kognitif dalam pemecahan masalah. Kategorisasi potensi inteligensi tersebut adalah :

1. Inteligensi linguistik

2. Inteligensi logika matematika

3. Inteligensi spasial

4. Inteligensi kinestetik tubuh

5. Inteligensi natural

6. Inteligensi musikal

7. Inteligensi interpersonal

8. Inteligensi intrapersonal

Armstrong menindaklanjuti pemikiran Howard Gardner dengan pendapatnya bahwa : “Each person possesses all inteligences and most people can develop each inteligence to an adequate level of competence.” (1985). Selanjutnya ia merealisasikan ke delapan multi inteligensi tersebut secara metodologis :

Multiple inteligences theory opens the door to a wide variety of teaching strategies that can be easily implemented in the classroom………..and offers teachers an opportunity to develop innovative teaching strategies that are relatively new to the educational scene. ( p. 48 – 84 ).

Kategorisasi metodologi pembelajaran multi inteligensi tersebut terlihat pada taxonomi pembelajaran multi inteligensi berikut ini :

Metode Pembelajaran Potensi Inteligen

1. Bercerita

2. Brainstorming

3. Tape recording

4. Ceramah

5. Tanya jawab

6. Permainan kata • Linguistik

1. Kalkulasi mental

2. Klasifikasi / kategorisasi

3. Socratic question

4. Heuristics

5. Berpikir ilmiah • Logika matematika

1. Presentasi visual

2. Visualisasi

3. Sketsa ide

4. Gambar simbol • Spasial

1. Eksperimental innovative

2. Presentasi visual

3. Penelitian lapang • Natura

Metode Pembelajaran Potensi Inteligen

1. Dramatisasi

2. Hands on thinking

3. Body maps • Kinestetik tubuh

1. Penyajian irama musik

2. Discografis

3. Musik super memory

4. Konsep musik

5. Mood music • Musik

1. Peer sharing

2. Diskusi kelompok

3. Board games

4. Simulasi • Inter personal

1. Refleksi diri

2. Pilihan kegiatan

3. Permainan emosi • Intra personal

Conny Semiawan menjelaskan implikasi metode multi inteligensi tesebut dalam proses pembelajaran :

Multi inteligence method can develop transferrable skills and create to solve the problems among different areas of learning comprehensively and creatively (1999).

Pendapat Conny tersebut mengungkapkan bahwa penerapan multi metode yang terintegrasi dapat mengembangkan “transferable skills” dan kreativitas dalam pemecahan masalah. Kepekaan akan “links among different areas of learning” tidak hanya terarah pada perolehan pengetahuan tetapi juga keahlian ( links of competences ) secara komprehensif.

Armstrong pun menegaskan, metode pembelajaran multi inteligensi bersifat meta model dengan muatan “broad range of stimulating to awaken the slumbering brains”. (1995). Itu berarti meta model akan merangsang ke delapan potensi inteligensi secara holistik dan integral.

Kategorisasi dimensi pengetahuan dan keterampilan konseling karir mikro yang dikembangkan dengan kemampuan inteligensi dapat berupa :

1. Pengetahuan faktual yang mendasari keterampilan konseling mikro

• Jenis-jenis respon verbal dan karakteristik khusus pada respon verbal tersebut

• Komponen-komponen keterampilan konseling mikro

• Tanda / gejala emosional pada perilaku non verbal

• Kiat khusus dari setiap orientasi teori

• Kasus-kasus

2. Pengetahuan konseptual

• Prinsip dan makna yang terkandung pada setiap jenis respon verbal dan reaksi non verbal

• Teori yang mendasari komunikasi verbal dan non verbal dalam konseling karir

3. Pengetahuan prosedural :

• Bagaimana menerapkan / mempraktekkan setiap jenis keterampilan

• Pengetahuan mengenai kriteria yang menentukan ketepatan jenis keterampilan

• Teknik mengintegrasikan antar keterampilan dll

4. Pengetahuan meta kognitif :

• Pengetahuan mengenai strategi menangani kasus tertentu berdasarkan orientasi teori tertentu atau dengan pendekatan eklektik

• Pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan penampilan diri.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/01/26/pembelajaran-kompetensi-konseling-karir-mikro-melalui-metode-multi-inteligensi/

MANAJEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

Program Bimbingan dan Konseling

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas konselor.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.

Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program, yaitu:

1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.

2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.

3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.

4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.

5. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) >Bimbingan dan Konseling.

B. Manajemen Bimbingan dan Konseling

Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian

1. Perencanaan

Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat.

Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.

B. Pelaksanaan Kegiatan

Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan. Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.

Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.

Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..

C. Penilaian Kegiatan

Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui:

1. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.

2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.

3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.

Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.

Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/program-bimbingan-dan-konseling/

Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah

A. Pengembangan Program BK

Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang terencana berdasarkan pengukuran kebutuhan (need asessment) yang diwujudkan dalam bentuk program bimbingan dan konseling. Program bimbingan dan konseling di sekolah dapat disusun secara makro untuk 3 (tiga) tahun, meso 1 (satu) tahun dan mikro sebagai kegiatan operasional dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan khusus. Program menjadi landasan yang jelas terukur layanan profesional yang diberikan oleh konselor di sekolah.

Program bimbingan dan konseling disusun berdasarkan struktur program dan bimbingan dan konseling perkembangan.

1. Komponen (Struktur) Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Struktur program bimbingan diklasifikasikan ke dalam empat jenis layanan, yaitu : (a) layanan dasar bimbingan; (b) layanan responsif, (c) la- yanan perencanaan individual, dan (d) layanan dukungan sistem. Keterkaitan keempat komponen program bimbingan dan konseling ini dapat digambarkan pada gambar 1.



Gambar 1. Komponen Program BK

a. Layanan Dasar Bimbingan

1) Pengertian

Layanan dasar bimbingan diartikan sebagai “proses pemberian bantuan kepada semua siswa (for all) melalui kegiatan-kegiatan secara klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka membantu perkembangan dirinya secara optimal”.

2) Tujuan

Layanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya, atau dengan kata lain membantu siswa agar mereka dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya. Secara rinci tujuan layanan dirumuskan sebagai upaya untuk membantu siswa agar : (1) memiliki kesadaran (pemahaman) tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya dan agama), (2) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri dengan lingkungannya, (3) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, dan (4) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

3) Materi

Untuk mencapai tujuan tersebut, kepada siswa disajikan materi layanan yang menyangkut aspek-aspek pribadi, sosial, belajar dan karir. Semua ini berkaitan erat dengan upaya membantu siswa dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Materi layanan dasar bimbingan dapat diambil dari berbagai sumber, seperti majalah, buku, dan koran. Materi yang diberikan, disamping masalah yang menyangkut pengembangan sosial-pribadi, dan belajar, juga materi yang dipandang utama bagi siswa SLTP/SLTA, yaitu yang menyangkut karir. Materi-materi tersebut, di antaranya : (a) fungsi agama bagi kehidupan, (b) pemantapan pilihan program studi, (c) keterampilan kerja profesional, (d) kesiapan pribadi (fisik-psikis, jasmaniah-rohaniah) dalam menghadapi pekerjaan, (e) perkembangan dunia kerja, (f) iklim kehidupan dunia kerja, (g) cara melamar pekerjaan, (h) kasus-kasus kriminalitas, (i) bahayanya perkelahian masal (tawuran), dan (j) dampak pergaulan bebas. Materi lainnya yang dapat diberikan kepada para siswa adalah sebagai berikut:

• Pengembangan self-esteem.

• Pengembangan motif berprestasi.

• Keterampilan pengambilan keputusan.

• Keterampilan pemecahan masalah.

• Keterampilan hubungan antar pribadi atau berkomunikasi.

• Memahami keragaman lintas budaya.

• Perilaku yang bertanggung jawab.

b. Layanan Responsif

1) Pengertian

Layanan responsif merupakan “pemberian bantuan kepada siswa yang memiliki kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera”.

2) Tujuan

Tujuan layanan responsif adalah membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhannya dan memecahkan masalah yang dialaminya atau membantu siswa yang mengalami hambatan, kegagalan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya.

Tujuan layanan ini dapat juga dikemukakan sebagai upaya untuk mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi siswa yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah sosial-pribadi, karir, dan atau masalah pengembangan pendidikan.

3) Materi

Materi layanan responsif bergantung kepada masalah atau kebutuhan siswa. Masalah dan kebutuhan siswa berkaitan dengan keinginan untuk memahami tentang suatu hal karena dipandang penting bagi perkembangan dirinya yang positif. Kebutuhan ini seperti kenginan untuk memperoleh informasi tentang bahaya obat terlarang, minuman keras, narkotika, pergaulan bebas dan sebagainya.

Masalah siswa lainnya adalah yang berkaitan dengan berbagai hal yang dialami atau dirasakan mengganggu kenyamanan hidupnya atau menghambat perkembangan dirinya yang positif, karena tidak terpenuhi kebutuhannya, atau gagal dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Masalah siswa pada umumnya tidak mudah diketahui secara langsung tetapi dapat dipahami melalui gejala-gejala perilaku yang ditampilkannya.

Masalah (gejala masalah) yang mungkin dialami siswa di antaranya : (a) merasa cemas tentang masa depan, (b) merasa rendah hati, (c) berperilaku impulsif (kekanak-kanakan atau melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkannya secara matang), (d) membolos dari sekolah, (e) malas belajar, (f) kurang memiliki kebiasaan belajar yang positif, (g) kurang bisa bergaul, (h) prestasi belajar rendah, (i) malas beribadah, (j) masalah pergaulan bebas (free sex), (k) masalah tawuran, (l) manajemen stress, dan (m) masalah dalam keluarga.

Untuk memahami kebutuhan dan masalah siswa dapat ditempuh dengan cara menganalisis data siswa, baik yang bersumber dari inventori tugas-tugas perkembangan (ITP), angket siswa, wawancara, observasi, sosiometri, daftar hadir siswa, leger, psikotes dan daftar masalah siswa atau alat ungkap masalah (AUM).

c. Layanan Perencanaan Individual

1) Pengertian

Layanan ini diartikan “proses bantuan kepada siswa agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depannya berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya”.

2) Tujuan

Layanan perencanaan individual bertujuan untuk membantu siswa agar (1) memiliki pemahaman tentang diri dan lingkungannya, (2) mampu merumuskan tujuan, perencanaan, atau pengelolaan terhadap perkembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir, dan (3) dapat melakukan kegiatan berdasarkan pemahaman, tujuan, dan rencana yang telah dirumuskannya.

Tujuan layanan perencanaan individual ini dapat juga dirumuskan sebagai upaya memfasilitasi siswa untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola rencana pendidikan, karir, dan pengembangan sosial-pribadi oleh dirinya sendiri. Isi atau materi perencanaan individual adalah hal-hal yang menjadi kebutuhan siswa untuk memahami secara khusus tentang perkembangan dirinya sendiri. Dengan demikian meskipun perencanaan individual ditujukan untuk memandu seluruh siswa, layanan yang diberikan lebih bersifat individual karena didasarkan atas perencanaan, tujuan dan keputusan yang ditentukan oleh masing-masing siswa. Melalui layanan perencanaan individual, siswa dapat:

• Mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan lanjutan, merencanakan karir, dan mengembangkan kemampuan sosial-pribadi, yang didasarkan atas pengetahuan akan dirinya, informasi tentang sekolah, dunia kerja, dan masyarakatnya.

• Menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya dalam rangka pencapaian tujuannya.

• Mengukur tingkat pencapaian tujuan dirinya.

• Mengambil keputusan yang merefleksikan perencanaan dirinya.

3) Materi

Materi layanan perencanaan individual berkaitan erat dengan pengembangan aspek akademik, karir, dan sosial-pribadi. Materi pengembangan aspek (a) akademik meliputi : memanfaatkan keterampilan belajar, melakukan pemilihan pendidikan lanjutan atau pilihan jurusan, memilih kursus atau pelajaran tambahan yang tepat, dan memahami nilai belajar sepanjang hayat; (b) karir meliputi : mengeksplorasi peluang-peluang karir, mengeksplorasi latihan-latihan pekerjaan, memahami kebutuhan untuk kebiasaan bekerja yang positif; dan (c) sosial-pribadi meliputi : pengembangan konsep diri yang positif, dan pengembangan keterampilan sosial yang efektif.

d. Layanan Dukungan Sistem

Ketiga komponen program, merupakan pemberian layanan BK kepada siswa secara langsung. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen layanan dan kegiatan manajemen yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada siswa atau memfasilitasi kelancaran perkembangan siswa. Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan secara menyeluruh melalui pengembangan profesinal; hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasehat, masyarakat yang lebih luas; manajemen program; penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990).

Program ini memberikan dukungan kepada guru pembimbing dalam memperlancar penyelenggaraan layanan diatas. Sedangkan bagi personel pendidik lainnya adalah untuk memperlancar penyelenggaraan program pendidikan di sekolah. Dukungan sistem ini meliputi dua aspek, yaitu : (1) pemberian layanan, dan (2) kegiatan manajemen.

1) Pemberian Layanan Konsultasi/Kolaborasi

Pemberian layanan menyangkut kegiatan guru pembimbing (konselor) yang meliputi (a) konsultasi dengan guru-guru, (b) menyelenggarakan program kerjasama dengan orang tua atau masyarakat, (c) berpartisipasi dalam merencanakan kegiatan-kegiatan sekolah, (d) bekerjasama dengan personel sekolah lainnya dalam rangka mencisekolahakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, (e) melakukan penelitian tentang masalah-masalah yang berkaitan erat dengan bimbingan dan konseling.

2) Kegiatan Manajemen

Kegiatan manajemen merupakan berbagai upaya untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan mutu program bimbingan dan konseling melalui kegiatan-kegiatan (a) pengembangan program, (b) pengembangan staf, (c) pemanfaatan sumber daya, dan (d) pengembangan penataan kebijakan.

Secara operasional program disusun secara sistematis sebagai berikut :

• Rasional berisi latar belakang penyusunan pogram bimbingan didasarkan atas landasan konseptual, hukum maupun empirik

• Visi da misi, berisi harapan yang diinginkan dari layanan Bk yang mendukung visi , misi dan tujuan sekolah

• Kebutuhan layanan bimbingan, berisi data kebutuhan siswa, pendidik dan isntitusi terhadap layanan bimbingan. Data diperoleh dengan mempergunakan instrumen yang dapat dipertanggungjawabkan

• Tujuan, berdasarkan kebutuhan ditetapkan kompetensi yang dicapai siswa berdasarkan perkembangan

• Komponen program: (1) layanan dasar, program yang secara umum dibutuhkan oleh seluruh siswa pertingkatan kelas; (2) layanan responsif, program yang secara khusus dibutuhakn untuk membatu para siswa yang memerlukan layanan bantuan khusus; (3) layanan perencanaan individual, program yang mefasilitasi seluruh siswa memiliki kemampuan mengelola diri dan merancang masa depan; dan (4) dukungan sistem, kebijakan yang mendukung keterlaksanaan program, program jejaring baik internal sekolah maupun eksternal

• Rencana operasional kegiatan

• Pengembagan tema atau topik (silabus layanan)

• Pengembangan satuan layanan bimbingan

• Evaluasi

• Anggaran

Program disusun bersama oleh personil bimbingan dan konseling dengan memperhatikan kebutuhan siswa, mendukung kebutuhan pendidik untuk memfasilitasi pelayanan perkembangan siswa secara optimal dalam pembelajaran dan mendukung pencapaian tujuan, misi dan visi sekolah. Program yang telah disusun disampaikan pada semua pendidik di sekolah pada rapat dinas agar terkembang jejaring layanan yang optimal.

Terkait dengan peran pengawas sekolah, pengawas dapat melakukan pembinaan dan pengawasan “apakah sekolah memiliki program bimbingan dan konseling?”. Pimpinan sekolah dan personil bimbingan (guru pembimbing/konselor) harus didorong untuk menyusun program bimbingan. Jika program sudah ada personil bimbingan dan pimpinan sekolah didorong untuk melakukan kajian apakah program sudah memfasilitasi kebutuhan peserta didik dan mendukung ketercapaian visi, misi dan tujuan sekolah. Pengawas juga mendorong pimpinan sekolah dan konselor untuk menyampaikan program pada rapat dinas sekolah sehingga semua pendidik di lingkungan sekolah mengetahui, memahami dan dapat mengembangkan jejaring dalam peran fungsinya masing-masing.

[Diambil dari: Depdiknas.2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bahan Belajar Mandiri Pelatihan Pengawas Sekolah), Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan]

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/02/03/pengembangan-program-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah/

Strategi Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling

Strategi pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terkait dengan empat komponen program yaitu: (1) layanan dasar; (2) layanan responsif; (3) perencanaan individual; dan (4) dukungan sistem.

1. Strategi untuk Layanan Dasar Bimbingan

a. Bimbingan Klasikal

Layanan dasar diperuntukkan bagi semua siswa. Hal ini berarti bahwa dalam peluncuran program yang telah dirancang menuntut konselor untuk melakukan kontak langsung dengan para siswa di kelas. Secara terjadwal, konselor memberikan layanan bimbingan kepada para siswa. Kegiatan layanan dilaksanakan melalui pemberian layanan orientasi dan informasi tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat bagi siswa. Layanan orientasi pada umumnya dilaksanakan pada awal pelajaran, yang diperuntukan bagi para siswa baru, sehingga memiliki pengetahuan yang utuh tentang sekolah yang dimasukinya. Kepada siswa diperkenalkan tentang berbagai hal yang terkait dengan sekolah, seperti : kurikulum, personel (pimpinan, para guru, dan staf administrasi), jadwal pelajaran, perpustakaan, laboratorium, tata-tertib sekolah, jurusan (untuk SLTA), kegiatan ekstrakurikuler, dan fasilitas sekolah lainnya. Sementara layanan informasi merupakan proses bantuan yang diberikan kepada para siswa tentang berbagai aspek kehidupan yang dipandang penting bagi mereka, baik melalui komunikasi langsung, maupun tidak langsung (melalui media cetak maupun elektronik, seperti : buku, brosur, leaflet, majalah, dan internet). Layanan informasi untuk bimbingan klasikal dapat mempergunakan jam pengembangan diri. Agar semua siswa terlayani kegiatan bimbingan klasikal perlu terjadwalkan secara pasti untuk semua kelas.

b. Bimbingan Kelompok

Konselor memberikan layanan bimbingan kepada siswa melalui kelompok-kelompok kecil (5 s.d. 10 orang). Bimbingan ini ditujukan untuk merespon kebutuhan dan minat para siswa. Topik yang didiskusikan dalam bimbingan kelompok ini, adalah masalah yang bersifat umum (common problem) dan tidak rahasia, seperti : cara-cara belajar yang efektif, kiat-kiat menghadapi ujian, dan mengelola stress. Layanan bimbingan kelompok ditujukan untuk mengembangkan keterampilan atau perilaku baru yang lebih efektif dan produktif.

c. Berkolaborasi dengan Guru Mata Pelajaran atau Wali Kelas

Program bimbingan akan berjalan secara efektif apabila didukung oleh semua pihak, yang dalam hal ini khususnya para guru mata pelajaran atau wali kelas. Konselor berkolaborasi dengan guru dan wali kelas dalam rangka memperoleh informasi tentang siswa (seperti prestasi belajar, kehadiran, dan pribadinya), membantu memecahkan masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran. Aspek-aspek itu di antaranya : (a) menciptakan sekolah dengan iklim sosio-emosional kelas yang kondusif bagi belajar siswa; (b) memahami karakteristik siswa yang unik dan beragam; (c) menandai siswa yang diduga bermasalah; (d) membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar melalui program remedial teaching; (e) mereferal (mengalihtangankan) siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing; (f) memberikan informasi tentang kaitan mata pelajaran dengan bidang kerja yang diminati siswa; (g) memahami perkembangan dunia industri atau perusahaan, sehingga dapat memberikan informasi yang luas kepada siswa tentang dunia kerja (tuntutan keahlian kerja, suasana kerja, persyaratan kerja, dan prospek kerja); (h) menampilkan pribadi yang matang, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun moral-spiritual (hal ini penting, karena guru merupakan “figur central” bagi siswa); dan (i) memberikan informasi tentang cara-cara mempelajari mata pelajaran yang diberikannya secara efektif.

d. Berkolaborasi (Kerjasama) dengan Orang Tua

Dalam upaya meningkatkan kualitas peluncuran program bimbingan, konselor perlu melakukan kerjasama dengan para orang tua siswa. Kerjasama ini penting agar proses bimbingan terhadap siswa tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga oleh orang tua di rumah. Melalui kerjasama ini memungkinkan terjadinya saling memberikan informasi, pengertian, dan tukar pikiran antar konselor dan orang tua dalam upaya mengembangkan potensi siswa atau memecahkan masalah yang mungkin dihadapi siswa. Untuk melakukan kerjasama dengan orang tua ini, dapat dilakukan beberapa upaya, seperti : (1) kepala sekolah atau komite sekolah mengundang para orang tua untuk datang ke sekolah (minimal satu semester satu kali), yang pelaksanaannnya dapat bersamaan dengan pembagian rapor, (2) sekolah memberikan informasi kepada orang tua (melalui surat) tentang kemajuan belajar atau masalah siswa, dan (3) orang tua diminta untuk melaporkan keadaan anaknya di rumah ke sekolah, terutama menyangkut kegiatan belajar dan perilaku sehari-harinya.

2. Strategi untuk Layanan Responsif

a. Konsultasi

Konselor memberikan layanan konsultasi kepada guru, orang tua, atau pihak pimpinan sekolah dalam rangka membangun kesamaan persepsi dalam memberikan bimbingan kepada para siswa.

b. Konseling Individual atau Kelompok

Pemberian layanan konseling ini ditujukan untuk membantu para siswa yang mengalami kesulitan, mengalami hambatan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling, siswa (klien) dibantu untuk mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, penemuan alternatif pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan secara lebih tepat. Konseling ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Konseling kelompok dilaksanakan untuk membantu siswa memecahkan masalahnya melalui kelompok. Dalam konseling kelompok ini, masing-masing siswa mengemukakan masalah yang dialaminya, kemudian satu sama lain saling memberikan masukan atau pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.

c. Referal (Rujukan atau Alih Tangan)

Apabila konselor merasa kurang memiliki kemampuan untuk menangani masalah klien, maka sebaiknya dia mereferal atau mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang lebih berwenang, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan kepolisian. Klien yang sebaiknya direferal adalah mereka yang memiliki masalah, seperti depresi, tindak kejahatan (kriminalitas), kecanduan narkoba, dan penyakit kronis.

d. Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance/Peer Facilitation)

Bimbingan teman sebaya ini adalah bimbingan yang dilakukan oleh siswa terhadap siswa yang lainnya. Siswa yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau pembinaan oleh konselor. Siswa yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu siswa lain dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, baik akademik maupun non-akademik. Di samping itu dia juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi, perkembangan, atau masalah siswa yang perlu mendapat layanan bantuan bimbingan atau konseling.

3. Strategi untuk Layanan Perencanaan Individual

a. Penilaian Individual atau Kelompok (Individual or small-group Appraisal)

Yang dimaksud dengan penilaian ini adalah konselor bersama siswa menganalisis dan menilai kemampuan, minat, keterampilan, dan prestasi belajar siswa. Dapat juga dikatakan bahwa konselor membantu siswa menganalisis kekuatan dan kelemahan dirinya, yaitu yang menyangkut pencapaian tugas-tugas perkembangannya, atau aspek-aspek pribadi, sosial, belajar, dan karier. Melalui kegiatan penilaian diri ini, siswa akan memiliki pemahaman, penerimaan, dan pengarahan dirinya secara positif dan konstruktif.

b. Individual or Small-Group Advicement

Konselor memberikan nasihat kepada siswa untuk menggunakan atau memanfaatkan hasil penilaian tentang dirinya, atau informasi tentang pribadi, sosial, pendidikan dan karir yang diperolehnya untuk (1) merumuskan tujuan, dan merencanakan kegiatan (alternatif kegiatan) yang menunjang pengembangan dirinya, atau kegiatan yang berfungsi untuk memperbaiki kelemahan dirinya; (2) melakukan kegiatan yang sesuai dengan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan (3) mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukannya.

4. Strategi untuk Dukungan Sistem

a. Pengembangan Professional

Konselor secara terus menerus berusaha untuk “meng-update” pengetahuan dan keterampilannya melalui (1) in-service training, (2) aktif dalam organisasi profesi, (3) aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan workshop (lokakarya), atau (4) melanjutkan studi ke program yang lebih tinggi (Pascasarjana).

b. Pemberian Konsultasi dan Berkolaborasi

Konselor perlu melakukan konsultasi dan kolaborasi dengan guru, orang tua, staf sekolah lainnya, dan pihak institusi di luar sekolah (pemerintah, dan swasta) untuk memperoleh informasi, dan umpan balik tentang layanan bantuan yang telah diberikannya kepada para siswa, menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa, melakukan referal, serta meningkatkan kualitas program bimbingan dan konseling. Dengan kata lain strategi ini berkaitan dengan upaya sekolah untuk menjalin kerjasama dengan unsur-unsur masyarakat yang dipandang relevan dengan peningkatan mutu layanan bimbingan. Jalinan kerjasama ini seperti dengan pihak-pihak (1) instansi pemerintah, (2) instansi swasta, (3) organisasi profesi, seperti ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), (4) para ahli dalam bidang tertentu yang terkait, seperti psikolog, psikiater, dokter, dan orang tua siswa, (5) MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan Konseling), dan (6) Depnaker (dalam rangka analisis bursa kerja/lapangan pekerjaan).

c. Manajemen Program

Suatu program layanan bimbingan dan konseling tidak mungkin akan tercisekolaha, terselenggara, dan tercapai bila tidak memiliki suatu sistem pengelolaan (manajemen) yang bermutu, dalam arti dilakukan secara jelas, sistematis, dan terarah. Mengenai arti manajemen itu sendiri Stoner (1981) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: “Management is the process of planning, organizing, leading and controlling the efforts of organizing members and of using all other organizational resources to achieve stated organizational goals”.

Berikut diuraikan aspek-aspek sistem manajemen program layanan bimbingan dan konseling.

1) Kesepakatan Manajemen

Kesepakatan manajemen atas program bimbingan dan konseling sekolah diperlukan untuk mejamin implementasi program dan strategi peluncuran dalam memenuhi kebutuhana siwa dapat dilakukan secara efektif. Kesepakatan ini menyangkut pula proses meyakinkan dan mengembangkan komitmen semua pihak di lingkungan sekolah bahwa program bimbingan dan konseling sebagai bagian terpadu dari keseluruhan program sekolah.

2) Keterlibatan Stakeholder

Komite Sekolah sebagai representasi masyarakat atau stakeholder memerlukan penyadaran dan pemahaman akan keberadaan dan pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

3) Manajemen dan Penggunaan Data

Program bimbingan dan konseling komprehensif didukung oleh data. Penggunaan data di dalam layanan bimbingan dan konseling akan menjamin setiap siswa memperoleh manfaat dari layanan bimbingan dan konseling. Konselor harus menunjukkan bahwa setiap aktivitas diimplementasikan sebagai bagian dari keutuhan program bimbingan dan konseling yang didasarkan atas analisis cermat terhadap kebutuhan, prestasi, dan data terkait siswa lainnya. Data yang diperoleh dan digunakan perlu diadministrasikan dengan baik dan cermat. Manajemen data dilakukan secara manual maupun komputer. Dalam era teknologi informasi, manjemen data siswa dilakukan secara komputer. Database siswa perlu dibangun dan dikembangkan agar perkembangan setiap siswa dapat dengan mudah dimonitor. Penggunaan data siswa dan lingkungan sekolah yang tertata dan dikelola dengan baik untuk kepentingan memonitor kemajuan siswa, akan menjamin seluruh siswa menerima apa yang mereka perlukan untuk keberhasilan sekolah. Konselor harus cermat dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan data. Kemajuan perkembangan siswa dapat dimonitor dari : prestasi belajar, data yang terkait dengan prestasi belajar, dan data tingkat penguasaan tugas-tugas perkembangan atau kompetensi.

4) Rencana Kegiatan

Rencana kegiatan (action plans) diperlukan untuk menjamin peluncuran program bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien. Rencana kegiatan adalah uraian detil dari program yang menggambarkan struktur isi program, baik kegiatan di sekolah maupun luar sekolah, untuk memfasilitasi siswa mencpai tugas perkembangan atau kompetensi.

5) Pengaturan Waktu

Berapa banyak waktu yang diperlukan untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dalam setiap komponen program perlu dirancang dengan cermat. Perencanaan waktu ini didasarkan kepada isi program dan dukungan manajemen yang harus dilakukan oleh konselor. Sebagai contoh, misalnya 80% waktu digunakan untuk melayanai siswa secara langsung dan 20% digunakan untuk dukungan manajerial. Porsi waktu untuk peluncuran masing-masing komponen program dapat ditetapkan sesuai dengan pertimbangan sekolah. Misalnya:

• Layanan dasar (30-40%),

• Responsif (15-25%),

• Perencanaan individual (25-35%),

• Dukungan sistem (10-15%).

Ini contoh, dan setiap sekolah bisa mengembangkan sendiri. Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Bimbingan dan Konseling Perkembangan, perlu ditetapkan waktu secara terjadwal untuk layanan bimbingan dan konseling klasikal.

6) Kalender Kegiatan

Program bimbingan dan konseling sekolah yang telah dituangkan ke dalam rencana kegiatan perlu dijadwalkan ke dalam bentuk kalender kegiatan. Kalender kegiatan mencakup kalender tahunan, semesteran, bulanan, dan mingguan.

7) Jadwal Kegiatan

Program bimbingan dapat dilaksanakan dalam bentuk (a) kontak langsung, dan (b) tanpa kontak langsung dengan siswa. Untuk kegiatan kontak langsung yang dilakukan secara klasikal di kelas (layanan dasar) perlu dialokasikan waktu terjadwal 1 – 2 jam pelajaran per-kelas per-minggu. Mengenai jadwal kegiatan bimbingan, dewasa ini sudah mendapat legalitas pemerintah, yaitu dengan terbitnya Peraturan Menteri Diknas No. 22 Tahun 2006. Dalam struktur kurikulum yang termaktub dalam Permen tersebut, tercantum materi pengembangan diri selama 2 jam/minggu, yang berlaku bagi semua satuan pendidikan dasar dan menengah. Dalam implementasinya, materi pengembangan diri dilakukan oleh konselor. Sementara kegiatan langsung yang dilakukan secara individual dan kelompok dapat dilakukan di ruang bimbingan, dengan menggunakan jadwal di luar jam pelajaran. Adapun kegiatan bimbingan tanpa kontak langsung dengan siswa dapat dilaksanakan melalui tulisan (seperti buku-buku, brosur, atau majalah dinding), kunjungan rumah (home visit), konferensi kasus (case conference), dan alih tangan (referal).

Anggaran

Perencanaan anggaran merupakan komponen penting dari manajemen bimbingan dan konseling. Perlu dirancang dengan cermat berapa anggaran yang diperlukan untuk mendukung implementasi program. Anggaran ini harus masuk ke dalam Anggaran dan Belanja Sekolah.

9) Penyiapan Fasilitas

Fasilitas yang diharapkan tersedia di sekolah ialah ruangan tempat bimbingan yang khusus dan teratur, serta perlengkapan lain yang memungkinkan tercapainya proses layanan bimbingan dan konseling yang bermutu. Ruangan hendaknya sedemikian rupa sehingga di satu segi para siswa yang berkunjung ke ruangan tersebut merasa senang, aman dan nyaman, serta segi lain di ruangan tersebut dapat dilaksanakan layanan dan kegiatan bimbingan lainnya sesuai dengan asas-asas dan kode etik bimbingan dan konseling. Terkait dengan fasilitas bimbingan dan konseling, disini dapat dikemukakan tentang unsur-unsurnya, yaitu : (1) tempat kegiatan, yang meliputi ruang kerja konselor, ruang layanan konseling dan bimbingan kelompok, ruang tunggu tamu, ruang tenaga administrasi, dan ruang perpustakaan; (2) instrumen dan kelengkapan administrasi, seperti : angket siswa dan orang tua, pedoman wawancara, pedoman observasi, format konseling, format satuan layanan, dan format surat referal; (3) Buku-buku panduan, buku informasi tentang studi lanjutan atau kursus-kursus, modul bimbingan, atau buku materi layanan bimbingan, buku program tahunan, buku program semesteran, buku kasus, buku harian, buku hasil wawancara, laporan kegiatan layanan, data kehadiran siswa, leger BK, dan buku realisasi kegiatan BK; (4) perangkat elektronik (seperti komputer, dan tape recorder); dan (5) filing kabinet (tempat penyimpanan dokumentasi dan data siswa).

Di dalam ruangan itu hendaknya juga dapat disimpan segenap perangkat instrumen bimbingan dan konseling, himpunan data siswa, dan berbagai data serta informasi lainnya. Ruangan tersebut hendaknya juga mampu memuat berbagai penampilan, seperti penampilan informasi pendidikan dan jabatan, informasi tentang kegiatan ekstra kurikuler, dan sebagainya. Yang tidak kalah penting ialah, ruangan itu hendaklah nyaman yang menyebabkan para pelaksana bimbingan dan konseling betah bekerja. Kenyamanan itu merupakan modal utama bagi kesuksesan pelayanan yang terselenggara. Sarana yang diperlukan untuk penunjang layanan bimbingan dan konseling adalah sebagai berikut.

(1) Alat pengumpul data, baik tes maupun non-tes.

Alat pengumpul data berupa tes yaitu: tes inteligensi, tes bakat khusus, tes bakat sekolah, tes/inventori kepribadian, tes/inventori minat, dan tes prestasi belajar. Alat pengumpul data yang berupa non-tes yaitu: pedoman observasi, catatan anekdot, daftar cek, skala penilaian, alat-alat mekanis, pedoman wawancara, angket, biografi dan autobiografi, dan sosiometri.

(2) Alat penyimpan data, khususnya dalam bentuk himpunan data.

Alat penyimpan data itu dapat berbentuk kartu, buku pribadi dan map. Bentuk kartu ini dibuat sedemikian rupa dengan ukuran-ukuran serta warna tertentu, sehingga mudah untuk disimpan dalam filling cabinet. Untuk menyimpan berbagai keterangan, informasi atau pun data untuk masing-masing siswa, maka perlu disediakan map pribadi. Mengingat banyak sekali aspek-aspek data siswa yang perlu dan harus dicatat, maka diperlukan adanya suatu alat yang dapat menghimpun data secara keseluruhan yaitu buku pribadi.

(3) Kelengkapan penunjang teknis, seperti data informasi, paket bimbingan, alat bantu bimbingan Perlengkapan administrasi, seperti alat tulis menulis, format rencana satuan layanan dan kegiatan pendukung serta blanko laporan kegiatan, blanko surat, kartu konsultasi, kartu kasus, blanko konferensi kasus, dan agenda surat.

10) Pengendalian

Pengendalian adalah salah satu aspek penting dalam manajemen program layanan bimbingan dan konseling. Dalam pengendalian program, koordinator sebagai pemimpin lembaga atau unit bimbingan dan konseling hendaknya memiliki sifat sifat kepemimpinan yang baik yang dapat memungkinkan tercisekolahanya suatu komunikasi yang baik dengan seluruh staf yang ada. Personel-personel yang terlibat di dalam program, hendaknya benar-benar memiliki tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya maupun tanggung jawab terhadap yang lain, serta memiliki moral yang stabil.

Pengendalian program bimbingan ialah : (a) untuk mencipakan suatu koordinasi dan komunikasi dengan seluruh staf bimbingan yang ada, (b) untuk mendorong staf bimbingan dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan (c) memungkinkan kelancaran dan efektivitas pelaksanaan program yang telah direncanakan.

Pengawas dapat melakukan pengawasan dan pembinaan : apakah program bimbingan dan konseling yang disusun dilaksanakan sesuai dengan rancangan program?. Apakah terdapat dokumentasi sebagai indikator pencatatan pelaksanaan program?. Pengawas dapat berdiskusi dengan konselor program-program mana yang sudah dilaksanakan?, apa hambatan yang ditemui pada saat melaksanakan program?, apakah dapat diidentifikasi keberhasilan yang dicapai program?, apakah dapat diperoleh informasi dampak langsung maupun tidak langsung pelaksanaan program terhadap siswa, pendidik maupun institusi pendidikan?. Pengawas juga diharapkan memberikan dorongan dan saran-saran bagaimana program-program yang belum terlaksana dapat dilakukan. Pengawas harus mengembangkan diskusi bersama pimpinan sekolah dan konselor berkenan dengan dukungan kebijakan, sarana dan prasara untuk keterlaksanaan program.

C. Organisasi dan Personalia

Layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan di bawah tanggung jawab Kepala Sekolah dan seluruh staf. Koordinator bimbingan dan konseling bertanggung jawab dalam menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara operasional. Personel lain yang mencakup Wakil Kepala Sekolah, Guru Pembimbing (konselor), guru bidang studi, dan wali kelas memiliki peran dan tugas masing-masing dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling. Secara rinci deskripsi tugas dan tanggung jawab masing-masing personel, serta organisasi bimbingan dan konseling di sekolah dapat disimak pada tabel 1. berikut.

Tabel. 1. Deskripsi Tugas Personalia Bimbingan Konseling di Sekolah

Jabatan Deskripsi Tugas

Kepala Sekolah 1. Mengkoordinasikan seluruh kegiatan pendidikan, yang meliputi kegiatan pengajaran, pelatihan, serta bimbingan dan konseling di sekolah;

2. Menyediakan dan melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan dalam kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah;

3. Memberikan kemudahan bagi terlaksananya program bimbingan dan konseling di sekolah;

4. Melakukan supervisi terhadap pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah;

5. Menetapkan koordinator guru pembimbing yang bertanggung jawab atas koordinasi pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah berdasarkan kesepakatan bersama guru pembimbing;

6. Membuat surat tugas guru pembimbing dalam proses bimbingan dan konseling pada setiap awal catur wulan;

7. Menyiapkan surat pernyataan melakukan kegiatan bimbingan dan konseling sebagai bahan usulan angka kredit bagi guru pembimbing. Surat pernyataan ini dilampiri bukti fisik pelaksanaan tugas;

8. Mengadakan kerja sama dengan instansi lain (seperti Perusahaan/Industri, Dinas Kesehatan, kepolisian, Depag), atau para pakar yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling (seperti psikolog, dan dokter)

Wakil Kepala Sekolah 1. Mengkoordinasikan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling kepada semua personel sekolah.

2. Melaksanakan kebijakan pimpinan sekolah terutama dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.

Koordinator Bimbingan dan Konseling 1. Mengkoordinasikan para guru pembimbing dalam: (a) memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling; (b) menyusun program bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan program bimbingan dan konseling; (c) mengadministrasikan kegiatan bimbingan dan konseling; (d) menilai program bimbingan dan konseling; dan (e) mengadakan tindak lanjut.

2. Membuat usulan kepada kepala sekolah dan mengusahakan terpenuhinya tenaga, sarana dan prasarana;

3. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling kepada kepala sekolah.

Konselor atau Guru Pembimbing 1. Memasyarakatkan kegiatan bimbingan dan

2. konseling (terutama kepada siswa).

3. Merencanakan program bimbingan dan konseling bersama kordinator BK.

4. Merumuskan persiapan kegiatan bimbingan dan konseling.

5. Melaksanakan layanan bimbingan dan konseling terhadap siswa yang menjadi tanggung jawabnya (melaksanakan layanan dasar, responsif, perencanaan individual, dan dukungan sistem).

6. Mengevaluasi proses dan hasil kegiatan layanan bimbingan dan konseling.

7. Menganalisis hasil evaluasi.

8. Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil analisis penilaian.

9. Mengadministrasikan kegiatan bimbingan dan konseling.

10. Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan kepada koordinator guru pembimbing atau kepada kepala sekolah.

11. Menampilkan pribadi sebagai figur moral yang berakhlak mulia (seperti taat beribadah, jujur; bertanggung jawab; sabar; disiplin; respek terhadap pimpinan, kolega, dan siswa).

12. Berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan sekolah yang menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Guru Mata Pelajaran 1. Membantu memasyarakatkan layanan bimbingan dan konseling kepada siswa.

2. Melakukan kerja sama dengan guru pembimbing dalam mengidentifikasi siswa yang memerlukan bimbingan dan konseling.

3. Mengalihtangankan (merujuk) siswa yang memerlukan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing.

4. Mengadakan upaya tindak lanjut layanan bimbingan dan konseling (program perbaikan dan program pengayaan, atau remedial teaching).

5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling dari guru pembimbing

6. Membantu mengumpulkan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian layanan bimbingan dan konseling

7. Menerapkan nilai-nilai bimbingan dalam PBM atau berinteraksi dengan siswa, seperti : bersikap respek kepada semua siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, atau berpendapat, memberikan reward kepada siswa yang menampilkan perilaku/prestasi yang baik, menampilkan pribadi sebagai figur moral yang berfungsi sebagai ”uswah hasanah”.

8. bertanggung jawab memberikan layanan bimbingan pada siswa dengan perbandingan 1 : 150 orang

Wali Kelas 1. Membantu guru pembimbing melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti layanan bimbingan dan konseling.

3. Memberikan informasi tentang keadaan siswa kepada guru pembimbing untuk memperoleh layanan bimbingan dan konseling.

4. Menginformasikan kepada guru mata pelajaran tentang siswa yang perlu diperhatikan secara khusus dalam belajarnya.

5. Ikut serta dalam konferensi kasus.

Staf Administrasi 1. Membantu guru pembimbing (konselor) dan koordinator BK dalam mengadministrasikan seluruh kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah;

2. Membantu guru pembimbing dalam menyiapkan seluruh kegiatan bimbingan dan konseling.

3. Membantu guru pembimbing dalam menyiapkan sarana yang diperlukan dalam layanan bimbingan dan konseling.

Adapun struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah (SMP/MTs, SMA/MA/SMK) adalah sebagai berikut.



Gambar 1. Struktur Organisasi Bimbingan Konseling di SMP/MTs. dan SMA/MA/SMK

Beban tanggungjawab guru pembimbing (konselor) melaksanakan layanan bimbingan dan konseling adalah 1 : 150 siswa, sehingga jumlah konselor yang dibutuhkan pada satu sekolah adalah jumlah seluruh siswa dibagi 150. Pemberian layanan dasar bimbingan secara klasikal dapat memanfaatkan waktu pengembangan diri yaitu 2 (dua) jam pelajaran. Aktivitas dapat dilakukan didalam maupun diluar kelas secara terjadwal sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan memperoleh layanan. Lingkup materi layanan adalah layanan pribadi, sosial, belajar maupun karir.

Terkait dengan peran pengawas sekolah, maka dalam hal ini pengawas sekolah perlu mengetahui dan memahami bagaimana struktur dan lingkup program sebagai bahan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja konselor dan pelayanan pendidikan psikologis yang diterima oleh peserta didik untuk mendukung pencapaian perkembangan yang optimal serta mutu proses dan hasil pendidikan

Pengawas melakukan pembinaan dan pengawasan dengan melakukan diskusi terfokus berkenaan dengan ketersediaan personil konselor sesuai dengan kebutuhan (berdasarkan jumlah siswa) serta upaya-upaya untuk memenuhi ketersediaan konselor, optimalisasi peran dan fungsi personil sekolah dalam layanan bimbingan dan konseling, serta mekanisme layanan sesuai dengan peran dan fungsi.

[Diambil dari: Depdiknas.2008. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bahan Belajar Mandiri Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah), Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan]

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/02/03/strategi-pelaksanaan-layanan-bimbingan-dan-konseling/

Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah

A. Pengertian , Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Penilaian merupakan langkah penting dalam manajemen program bimbingan. Tanpa penilaian tidak mungkin kita dapat mengetahui dan mengidentifikasi keberhasilan pelaksanaan program bimbingan yang telah direncanakan. Penilaian program bimbingan merupakan usaha untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa keberhasilan program dalam pencapaian tujuan merupakan suatu kondisi yang hendak dilihat lewat kegiatan penilaian.

Sehubungan dengan penilaian ini, Shertzer dan Stone (1966) mengemukakan pendapatnya: “Evaluation consist of making systematic judgements of the relative effectiveness with which goals are attained in relation to special standards“.

Evaluasi ini dapat pula diartikan sebagai proses pengumpulan informasi (data) untuk mengetahui efektivitas (keterlaksanaan dan ketercapaian) kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan. Pengertian lain dari evaluasi ini adalah suatu usaha mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan sikap dan perilaku, atau tugas-tugas perkembangan para siswa melalui program kegiatan yang telah dilaksanakan.

Penilaian kegiatan bimbingan di sekolah adalah segala upaya, tindakan atau proses untuk menentukan derajat kualitas kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan di sekolah dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program bimbingan yang dilaksanakan.

Kriteria atau patokan yang dipakai untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah adalah mengacu pada terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan siswa dan pihak-pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung berperan membantu siswa memperoleh perubahan perilaku dan pribadi ke arah yang lebih baik.

Dalam keseluruhan kegiatan layanan bimbingan dan konseling, penilaian diperlukan untuk memperoleh umpan balik terhadap keefektivan layanan bimbingan yang telah dilaksanakan. Dengan informasi ini dapat diketahui sampai sejauh mana derajat keberhasilan kegiatan layanan bimbingan. Berdasarkan informasi ini dapat ditetapkan langkah-langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan mengembangkan program selanjutnya.

Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui keterlaksanaan kegiatan dan ketercapaian tujuan dari program yang telah ditetapkan.

Adapun fungsi evaluasi program bimbingan dan konseling di sekolah adalah:

1. Memberikan umpan balik (feed back) kepada guru pembimbing konselor) untuk memperbaiki atau mengembangkan program bimbingan dan konseling.

2. Memberikan informasi kepada pihak pimpinan sekolah, guru mata pelajaran, dan orang tua siswa tentang perkembangan sikap dan perilaku, atau tingkat ketercapaian tugas-tugas perkembangan siswa, agar secara bersinergi atau berkolaborasi meningkatkan kualitas implementasi program BK di sekolah.

B. Aspek-aspek yang Dievaluasi

Ada dua macam aspek kegiatan penilaian program kegiatan bimbingan, yaitu penilain proses dan penilaian hasil. Penilaian proses dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh mana keefektivan layanan bimbingan dilihat dari prosesnya, sedangkan penilaian hasil dimaksudkan untuk memperoleh informasi keefektivan layanan bimbingan dilihat dari hasilnya. Aspek yang dinilai baik proses maupun hasil antara lain:

1. Kesesuaian antara program dengan pelaksanaan;

2. Keterlaksanaan program;

3. Hambatan-hambatan yang dijumpai;

4. Dampak layanan bimbingan terhadap kegiatan belajar mengajar;

5. Respon siswa, personil sekolah, orang tua, dan masyarakat terhadap layanan bimbingan;

6. Perubahan kemajuan siswa dilihat dari pencapaian tujuan layanan bimbingan, pencapaian tugas-tugas perkembangan, dan hasil belajar; dan keberhasilan siswa setelah menamatkan sekolah baik pada studi lanjutan ataupun pada kehidupannya di masyarakat.

Apabila dilihat dari sifat evaluasi, evaluasi bimbingan dan konseling lebih bersifat “penilaian dalam proses” yang dapat dilakukan dengan cara berikut ini.

1. Mengamati partisipasi dan aktivitas siswa dalam kegiatan layanan bimbingan.

2. Mengungkapkan pemahaman siswa atas bahan-bahan yang disajikan atau pemahaman/pendalaman siswa atas masalah yang dialaminya.

3. Mengungkapkan kegunaan layanan bagi siswa dan perolehan siswa sebagai hasil dari partisipasi/aktivitasnya dalam kegiatan layanan bimbingan.

4. Mengungkapkan minat siswa tentang perlunya layanan bimbingan lebih lanjut.

5. Mengamati perkembangan siswa dari waktu ke waktu (butir ini terutama dilakukan dalam kegiatan layanan bimbingan yang berkesinambungan).

6. Mengungkapkan kelancaran proses dan suasana penyelenggaraan kegiatan layanan.

Berbeda dengan hasil evaluasi pengajaran yang pada umumnya berbentuk angka atau skor, maka hasil evaluasi bimbingan dan konseling berupa deskripsi tentang aspek-aspek yang dievaluasi (seperti partisipasi/aktivitas dan pemahaman siswa; kegunaan layanan menurut siswa; perolehan siswa dari layanan; dan minat siswa terhadap layanan lebih lanjut; perkembangan siswa dari waktu ke waktu; perolehan guru pembimbing; komitmen pihak-pihak terkait; serta kelancaran dan suasana penyelenggaraan kegiatan). Deskripsi tersebut mencerminkan sejauh mana proses penyelenggaraan layanan/pendukung memberikan sesuatu yang berharga bagi kemajuan dan perkembangan dan/atau memberikan bahan atau kemudahan untuk kegiatan layanan terhadap siswa.

C. Langkah-langkah Evaluasi

Dalam melaksanakan evaluasi program ditempuh langkah-langkah berikut.

1. Merumuskan masalah atau beberapa pertanyaan. Karena tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh data yang diperlukan untuk mengambil keputusan, maka konselor perlu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal-hal yang akan dievaluasi. Pertanyaan-pertanyaan itu pada dasarnya terkait dengan dua aspek pokok yang dievaluasi yaitu : (1) tingkat keterlaksanaan program (aspek proses), dan (2) tingkat ketercapaian tujuan program (aspek hasil).

2. Mengembangkan atau menyusun instrumen pengumpul data. Untuk memperoleh data yang diperlukan, yaitu mengenai tingkat keterlaksanaan dan ketercapaian program, maka konselor perlu menyusun instrumen yang relevan dengan kedua aspek tersebut. Instrumen itu diantaranya inventori, angket, pedoman wawancara, pedoman observasi, dan studi dokumentasi.

3. Mengumpulkan dan menganalisis data. Setelah data diperoleh maka data itu dianalisis, yaitu menelaah tentang program apa saja yang telah dan belum dilaksanakan, serta tujuan mana saja yang telah dan belum tercapai.

4. Melakukan tindak lanjut (Follow Up). Berdasarkan temuan yang diperoleh, maka dapat dilakukan kegiatan tindak lanjut. Kegiatan ini dapat meliputi dua kegiatan, yaitu (1) memperbaiki hal-hal yang dipandang lemah, kurang tepat, atau kurang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai, dan (2) mengembangkan program, dengan cara merubah atau menambah beberapa hal yang dipandang dapat meningkatkan kualitas atau efektivitas program.

Penilaian di tingkat sekolah merupakan tanggung jawab kepala sekolah yang dibantu oleh pembimbing khusus dan personel sekolah lainnya. Di samping itu penilaian kegiatan bimbingan dilakukan juga oleh pejabat yang berwenang (pengawas bimbingan dan konseling) dari instansi yang lebih tinggi (Departemen Pendidikan Nasional Kota atau kabupaten).

Sumber informasi untuk keperluan penilaian ini antara lain siswa, kepala sekolah, para wali kelas, guru mata pelajaran, orang tua, tokoh masyarakat, para pejabat depdikbud, organisasi profesi bimbingan, sekolah lanjutan, dan sebagainya. Penilaian dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan alat seperti wawancara, observasi, studi dokumentasi, angket, tes, analisis hasil kerja siswa, dan sebagainya.

Penilaian perlu diprogramkan secara sistematis dan terpadu. Kegiatan penilaian baik mengenai proses maupun hasil perlu dianalisis untuk kemudian dijadikan dasar dalam tindak lanjut untuk perbaikan dan pengembangan program layanan bimbingan. Dengan dilakukan penilaian secara komprehensif, jelas dan cermat maka diperoleh data atau informasi tentang proses dan hasil seluruh kegiatan bimbingan dan konseling. Data dan informasi ini dapat dijadikan bahan untuk pertanggungjawaban/ akuntabiltas pelaksanaan program bimbingan dan konseling. Secara skematis evaluasi program bimbingan dan konseling tersebut dapat digambarkan pada bagan 1.



Bagan1. Skema Evaluasi Program

Pengawas melakukan pembinaan dan pengawasan dalam bentuk mendorong konselor dan personil layanan bimbingan dan konseling untuk melakukan evaluasi program dan keterlaksanaan program. Minimal evaluasi dilakukan pada akhir tahun ajaran dan menjadi slaah satu dasar pengembangan program untuk tahun ajaran berikutnya. Evaluasi proses sebaiknya dilakukan setiap bulan melalui forum pertemuan staf (MGBK di sekolah) dan dapat dihadiri oleh unsur pimpinan sekolah. Konselor dapat mengembangkan instrumen yang dapat menjaring umpan balik secara triangulasi yaitu dari siswa sebagai objek dan subjek bimbingan, dari pendidik di sekolah sebagai person yang terlibat dan berinteraksi langsung dengan siswa, pimpinan sekolah terkait dengan ketercapaian tujuan dan dukungan terhadap program sekolah, orang tua terkait dengan perubahan perilaku dan perkembangan siswa. Dokumen pelaksanaan evaluasi menjadi salah satu indikator unjuk kerja konselor.

Sumber: Diambil dari Bahan Belajar Mandiri Kegiatan Pelatihan Pengawas Sekolah. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2008

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/02/03/evaluasi-program-bimbingan-dan-konseling-di-sekolah/

Pergeseran Pola Manajemen dan Proses Bimbingan dan Konseling

Perubahan yang terjadi dari faktor-faktor yang melandasi pelayanan bimbingan dan konseling (filosofi, psikologi, sosiologi dan IPTEK), telah membawa konsekuensi terhadap perubahan pola manajemen dan proses pelayanan bimbingan dan konseling. Adapun arah pergeseran perubahan tersebut dapat dilihat dalam tabel



Manajemen Bimbingan dan Konseling

Pola Lama Pola Baru

Menitikberatkan pada siswa yang beresiko/bermasalah Melayani seluruh siswa (guidance for all)

Dilaksanakan karena adanya krisis/masalah Dilaksanakan berdasarkan kurikulum

Pendekatan panggilan (on call) Terjadwal (kalender)

Disampaikan dan dilaksanakan hanya oleh konselor Kolaboratif antara konselor, guru, orang tua dan masyarakat

Dimiliki hanya oleh staf konseling (konselor) Didukung dan dimiliki oleh seluruh komunitas

Mengukur jumlah usaha yang dilakukan Mengukur dampak yang dikaitkan dengan tujuan

Berurusan dengan proses melaksanakan pekerjaan Berurusan dengan pencapain tujuan, sasaran dan hasil

Memfokuskan pada tujuan dan yang dianggap baik Memfokuskan pada pencapaian (accomplisment)

Bekerja untuk memelihara sistem yang ada Responsif dan beradaptasi dengan perubahan

Membicarakan tentang bagaimana bekerja keras Membicarakan tentang efektivitas kerja

Proses Konseling

Bersifat klinis Bersifat pedagogis

Melihat kelemahan klien Melihat potensi klien (siswa)

Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa) Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)

Konselor serius Menggembirakan klien (siswa)

Dialog menekan perasaan klien dan klien (siswa) sering tertutup Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka

Klien sebagai obyek Klien (siswa) sebagai subyek

Konselor dominan dan bertindak sebagai problem solver Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif

Sumber :

Gary L. Spear (tt) Comprehensive School Counseling on line http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html

Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/27/pergeseran-pola-manajemen-dan-proses-bimbingan-dan-konseling/

BK dan MPMBS

Salah satu issue penting tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan sederhana tentang Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling.

Bahwa berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.

Sesungguhnya, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2) Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi

1. Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat, melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi, sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif dan inovatif.

Aturan dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak peduli terhadap prestasi kerja.

Dengan hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama. Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut bekerja secara profesional.

Dari sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi seorang profesional.

Konselor seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.

Upaya peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling.

Sedangkan secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.

Kita maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi keilmuan yang mantap dan memadai.

Sedangkan untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung, dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.

Hal ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.

2. Akuntabilitas Kerja Konselor

Pada masa sebelum diberlakukan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah. Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas konselor.

Memasuki alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.

Bagaimanapun masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.

Dengan adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk menerima berbagai complain dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.

Apalagi dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu. Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah, khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya. Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik

3. Konselor Sebagai Agen Informasi

Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.

Karena, bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu” tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan sedemikian rupa dan siap saji (ready for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu, pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah dikembangkan berbagai software, yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM) yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat menciptakan berbagai software tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai teknologi komputer.

Hal yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi yang berkenaan dengan “ prinsip kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.

Dalam mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin sangat kurang.

Satu hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi sangat mengutamakan pada team work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin harus menjadi bagian utama dari team work tersebut.

Demikianlah, uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya, khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.

Sumber bacaan :

Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan PPB-FIP UPI Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.

Departemen Pendidikan Nasional (2001) Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan, Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI

Tim Instruktur Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Konselor SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa Barat : Bandung

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/10/bk-dan-mpmbs/

Rubrik Sertifikasi Guru BK

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya. Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.

Bukti fisik penilaian dalam merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :

1. Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.

2. Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling

Sedangkan bukti fisik penilaian dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK), dengan aspek-aspek penilaian meliputi :

1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)

2. Daftar konseli

3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli

4. Laporan bulanan

5. Laporan semesteran/tahunan

6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :

• Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)

• Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)

• Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)

7. Laporan hasil evaluasi program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.

Implikasi dari adanya ketentuan penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan dengan gaya goal in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.

Begitu juga dalam pelaksanaan layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/rubrik-sertifikasi-guru-bk/

Format Instrumen Penilaian Sertifikasi Guru BK/Konselor

Meski secara yuridis formal, guru BK atau Konselor di Indonesia masih dipandang sebagai guru, namun dari segi pelayanan yang diberikan, guru BK/konselor memiliki keunikan tersendiri yang dapat dibedakan dengan pelayanan pendidikan lainnya, khususnya pelayanan yang diberikan oleh guru pengampu mata pelajaran.

Oleh karena itu, terkait dengan kegiatan sertifikasi guru, penilaian kinerja guru BK/Konselor tentunya harus dibedakan dengan penilaian guru pengampu mata pelajaran, terutama dalam aspek-aspek dan indikator yang harus dinilai.

Ketika pertama kali dimulai kegiatan sertifikasi guru, untuk menilai kinerja guru BK/Konselor memang sempat bermasalah, karena pada waktu itu sosialisasi instrumen penilaian kinerja guru BK/Konselor tidak berjalan dengan baik, sehingga di lapangan penilaian kinerja guru BK/Konselor terpaksa menggunakan instrumen yang sama dengan guru pengampu mata pelajaran.

Jelas, hal ini mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kecelakaan besar dalam proses sertifikasi guru BK/Konselor. Walaupun akhirnya ada juga yang dinyatakan lulus. Beruntung, pada program sertifikasi guru periode berikutnya pemerintah atau pihak yang berwenang telah sanggup menyiapkan instrumen khusus untuk menilai kinerja guru BK/Konselor, yang hingga saat ini instrumen ini masih tetap digunakan.

Berikut ini disajikan gambaran aspek/indikator penilaian Perencanaan dan Pelaksanaan Pelayanan Program Bimbingan dan Konseling di sekolah, serta penilaian kompetensi kepribadian dan sosial guru BK/Konselor

A. Indikator Penilaian Pelaksanaan Program Pelayanan

1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (lengkap, relevan)

2. Daftar konseli (siswa) (jumlah, peta permasalahan, waktu pelayanan, jenis pelayanan)

3. Data kebutuhan dan permasalahan konseling:

• Hasil pengamatan langsung guru BK

• Hasil penggunaan instrumen (tes dan non tes)

4. Laporan bulanan (sistematis, lengkap)

5. Laporan semesteran/tahunan (sistematis, lengkap)

Aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling:

a. Pemahaman:

• Catatan anekdot (ada, lengkap, bermakna)

• Kunjungan rumah (prosedural, lengkap, bermakna)

• Konferensi kasus (prosedural, lengkap, bermakna)

• Sosiometri (ada sosiogram, analisis, dan tindak lanjut)

b. Pelayanan Langsung:

• Konseling individual

• Konseling kelompok

• Konsultasi

• Kegiatan bimbingan kelompok/klasikal yang diisikan untuk dinilai dalam bidang pelayanan yang berbeda, sesuai dengan berkas sebanyak 4 kegiatan

• Referal

c. Pelayanan Tidak Langsung :

(memilih tiga dari pelayanan sebagai berikut: papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audiovisual, audio, media cetak:liflet, buku saku, yang lengkap dan bermakna

Laporan hasil evaluasi program bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya:

1. Evaluasi proses dan produk (lengkap, kesesuaian antar komponen dalam program)

2. Analisis dan pengambilan keputusan (tepat dan akurat)

3. Tindak lanjut (jelas, realistik, tepat)

B. Indikator Penilaian Perencanaan Pelayanan

1. Kejelasan perumusan tujuan

2. Pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan

3. Pemilihan instrumen dan media pelayanan

4. Strategi pelayanan

5. Waktu dan biaya

6. Rencana evaluasi dan tindak lanjut

7. Program Semesteran BK

8. Program Tahunan BK

C. Indikator Penilaian Kompetensi Kepribadian dan Sosial

1. Ketaatan dalam menjalankan ajaran agama (rajin menjalankan ajaran agama yang dianut, misal: orang muslim rajin menjalankan sholat,orang kristiani rajin ke gereja, dll.)

2. Tanggung jawab (sanggup menyelesaikan tugas sesuai dengan ketentuan, misal:melaksanakan pembelajaran dengan baik dan sesuai jadwal)

3. Kejujuran (menyampaikan sesuatu apa adanya, misal: izin tidak masuk atau tidak mengajar dengan alasan yang sebenarnya)

4. Kedisiplinan (kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, misal mulai dan mengakhiri kegiatan pembelajaran sesuai dengan jadwal)

5. Keteladanan (menjadi contoh atau rujukan dalam sikap dan perilaku bagi yang lain, misal: menjadi teladan bagi sejawat dan peserta didik dalam tutur kata, berpakaian, dll).

6. Etos kerja (komitmen dan semangat dalam melaksanakan tugas, misal yang memiliki etos kerja tinggi, bersemangat melaksanakan dan mentaati kaidah kaidah dalam tugas)

7. Inovasi dan kreatifitas (kemampuan dan kemauan untuk mengadakan pembaharuan melalui olah pikirnya, misal selalu berusaha menggunakan alam sekitar dan bahan-bahan yang ada di sekitarnya dalam proses pembelajaran di kelas)

8. Kemampuan menerima kritik dan saran (perilaku dalam merespon kritik dan saran dari orang lain, misal mendapat kritik tidak marah dan akomodatif terhadap saran orang lain)

9. Kemampuan berkomunikasi (dapat menyampaikan ide-idenya dengan bahasa yang baik dan dapat dipahami oleh sasaran, misal: dalam keseharian dapat berkomunikasi secara baik dan sejawat)

10. Kemampuan bekerjasama

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/03/14/format-instrumen-penilaian-sertifikasi-guru-bkkonselor/

Inventori Tugas Perkembangan

Manusia sepanjang hidupnya selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut berlangsung dalam beberapa tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan secara keseluruhan.Untuk mengidentifikasi masalah perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif tentang tingkat-perkembangan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan peserta didik adalah ITP (Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh Sunaryo, dkk. Dengan alat ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat memahami tingkat perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang menghambat perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam menyelesaikan tugas perkembangannya.

Berdasarkan hasil pengukuran ini, dapat disusun program bimbingan yang memungkinkan peserta didik dapat berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

ITP mengukur tujuh tingkat perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu, merentang dari mulai usia tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Usia Perguruan Tinggi, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Loevenger.

Ketujuh tingkat perkembangan individu tersebut adalah :

1. Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b) bergantung pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak menempatkan diri sebagai penyebab perilaku.

2. Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d) melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.

3. Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif dangkal; (e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f) perbedaan kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima kelompok; (h) tidak sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika melanggar aturan.

4. Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara hidup; dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan

5. Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan mutualistik; (e) memiliki tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan (g) berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.

6. Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g) mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.

7. Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan; (b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun orang lain; (c) peduli akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap kemandirian orang lain; (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.

Sedangkan sebelas aspek perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup : (1) landasan hidup religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4) kematangan intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, (8) kemandirian perilaku ekonomi, (9) wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan (11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan SLTP hanya mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.

ITP berbentuk angket yang terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh siswa. Setiap soal (kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang mengukur satu sub aspek.

Tingkat perkembangan siswa dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek. Besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat perkembangan siswa (lihat tabel berikut).

Tingkat sekolah dasar (ITP SD):

Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Tingkat SLTP (ITP SLTP):

Jumlah soal 50 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Tingkat SLTA (ITP SLTA):

Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Tingkat Perguruan Tinggi (ITP PT):

Jumlah soal 77 masing-masing terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.

Bagaimana cara mengukur konsistensi (keajegan) jawaban siswa?

Pada ITP SD dan ITP SLTP, terdapat 10 butir soal yang diduplikasi, sedang pada ITP SLTA dan ITP PT, terdapat 11 butir soal yang diduplikasi. Hasil duplikasi diletakkan di bagian akhir angket. Setiap soal duplikasi mewakili satu aspek perkembangan. Jawaban siswa dinyatakan konsisten bila jawaban untuk kedua soal itu sama. Semakin tinggi skor konsistensi, semakin tinggi pula tingkat keseriusan siswa menjawab angket.

Proses penyekoran, penghitungan skor konsistensi, dan analisis hasil penyekoran dapat dilakukan secara manual. Namun, untuk jumlah siswa yang besar, cara ini akan memakan waktu, menimbulkan banyak kesalahan dan sangat membosankan.

Analisis Tugas Perkembangan

Analisis Tugas Perkembangan adalah perangkat lunak yang khusus dibuat untuk membantu anda mengolah ITP. Dengan ATP, identifikasi perkembangan siswa dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan menyenangkan.

ATP menyediakan berbagai fasilitas untuk memudahkan Anda dalam melakukan analisis terhadap perkembangan peserta didik. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:

Pengolahan data mentah secara cepat. Pada komputer pentium 400 hanya dibutuhkan waktu satu detik untuk mengolah data 100 orang peserta.Analisis kelompok, yang terdiri atas: profil kelompok, grafik distribusi frekuensi untuk setiap aspek, grafik distribusi frekuensi konsistensi, delapan butir tertinggi dan terendah.Analisis per individu, yang terdiri atas: profil individual, distribusi frekuensi nilai, delapan butir tertinggi dan terendah untuk individu tersebut.

Visualisasi hasil pengolahan skor dalam bentuk grafik akan memudahkan dan mempercepat Anda dalam analisis.

Manajemen data, terdiri atas pengelompokan siswa berdasarkan kriteria tertentu, dan penggabungan kelompok.

Expor hasil pengolahan data ke Microsoft Excel®.

Impor data dari file Microsoft Excel.

Multi window, beberapa window bisa dibuka sekaligus untuk membandingkan hasil pengolahan.

Sumber :

Sunaryo, dkk . Manual Guide ATP Versi 3.5

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/04/inventori-tugas-perkembangan/