Sabtu, 31 Juli 2010

“Bullying” dalam Dunia Pendidikan

Beberapa minggu belakangan ini media kita (termasuk blog) diramaikan oleh pembahasan seputar insiden yang terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Dalam insiden tersebut, seorang praja tewas karena dianiaya oleh para seniornya dalam rangka pemberian hukuman –atau dalam istilah mereka sendiri, ‘pembinaan’ atau ‘koreksi’– atas kesalahan yang dilakukan sang praja. Ini bukan yang pertama kalinya; menurut penelitian yang dilakukan oleh seorang dosen IPDN, terdapat lebih dari 30 kasus kematian tak wajar yang dicurigai disebabkan oleh penganiayaan. Kasus-kasus itu terjadi dalam rentang waktu yang panjang, dan diduga telah menjadi tradisi di institut itu.
IPDN tidak sendirian. Beberapa tahun sebelumnya juga sempat ramai diperdebatkan aktivitas ‘perploncoan’ di sebagian universitas yang dianggap menyiksa dan menganiaya mahasiswa baru. Dalam skala yang lebih kecil, hubungan siswa senior-junior yang tidak sehat juga terjadi di sekolah-sekolah menengah. Bullying, adalah kata kunci untuk mendeskripsikan semua gejala itu. Apa sebenarnya bullying? Perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai bullying? Mengapa pelaku melakukan bullying, dan apa dampaknya bagi korban?

Apa itu Bullying?

Ada banyak definisi mengenai bullying, terutama yang terjadi dalam konteks lain (tempat kerja, masyarakat, komunitas virtual). Namun di sini penulis akan membatasi konteksnya dalam school bullying. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Mereka kemudian mengelompokkan perilaku bullying ke dalam 5 kategori:

• Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain)

• Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip)

• Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal).

• Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).

• Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal).

Dari beberapa penelitian sebelumnya, juga ditemukan perbedaan umur dan gender yang dapat mempengaruhi perilaku bullying. Pada usia 15 tahun, anak laki-laki ditemukan lebih cenderung mem-bully dengan kontak fisik langsung, sementara anak perempuan lebih cenderung mem-bully dengan perilaku tidak langsung. Namun tidak ditemukan perbedaan dalam kecenderungan melakukan bullying verbal langsung. Pada usia 18 tahun, kecenderungan anak laki-laki mem-bully dengan kontak fisik menurun tajam, dan kecenderungannya untuk menggunakan perilaku verbal langsung dan perilaku tidak langsung meningkat, meskipun anak perempuan masih tetap lebih tinggi kecenderungannya dalam hal ini.

Patut dicatat bahwa ini adalah hasil penelitian di luar negeri yang belum tentu sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Riauskina dkk. menemukan dalam penelitiannya pada 2 SMA di Jakarta bahwa kecenderungan untuk melakukan kontak fisik langsung masih terlihat pada anak laki-laki di usia 18 tahun.

Mengapa Melakukan Bullying?

Seperti yang telah terjadi pada kasus IPDN dan sebagian kasus-kasus lainnya, bullying adalah sebuah siklus, dalam artian pelaku saat ini kemungkinan besar adalah korban dari pelaku bullying sebelumnya. Ketika menjadi korban, mereka membentuk skema kognitif yang salah bahwa bullying bisa ’dibenarkan’ meskipun mereka merasakan dampak negatifnya sebagai korban. Hal ini tampak dalam sebuah potongan wawancara pra-survei:

Tanya: …kalo nanti kalo kalian udah kelas dua gitu, mungkin ga jadi kaya mereka sekarang…?

Jawab: …tergantung si, tergantung ade kelasnya…kalo ade kelasnya nyolot ya gue marahin…

Mengapa seorang korban bisa kemudian menerima, bahkan menyetujui perspektif pelaku yang pernah merugikannya? Salah satu alasannya dapat diurai dari hasil survei: sebagian besar korban enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu pihak sekolah dan orangtua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka. Akibatnya, korban bisa semakin menyerap ’falsafah’ bullying yang didapat dari seniornya. Dalam skema kognitif korban yang diteliti oleh Riauskina dkk., korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena

• Tradisi

• Balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki)

• Ingin menunjukkan kekuasaan

• Marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan

• Mendapatkan kepuasan (menurut korban perempuan)

• Iri hati (menurut korban perempuan)

Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena

• Penampilan menyolok

• Tidak berperilaku dengan sesuai

• Perilaku dianggap tidak sopan

• Tradisi

Apa Dampak dari Bullying?

Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik. Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi di IPDN, dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian.

Dampak lain yang kurang terlihat, namun berefek jangka panjang adalah menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk. Dari penelitian yang dilakukan Riauskina dkk., ketika mengalami bullying, korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.

Kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial juga muncul pada para korban. Mereka ingin pindah ke sekolah lain atau keluar dari sekolah itu, dan kalaupun mereka masih berada di sekolah itu, mereka biasanya terganggu prestasi akademisnya atau sering sengaja tidak masuk sekolah.

Yang paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder). Dari 2 SMA yang diteliti Riauskina dkk., hal-hal ini juga dialami korban, seperti merasa hidupnya tertekan, takut bertemu pelaku bullying, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri dengan menyilet-nyilet tangannya sendiri!

Dari informasi di atas, kita dapat melihat bagaimana perilaku bullying sebenarnya sudah sangat meluas di dunia pendidikan kita tanpa terlalu kita sadari bentuk dan akibatnya. Dalam bagian ke-2, penulis akan menelusuri beberapa sumber lebih jauh lagi untuk melihat karakteristik pelaku bullying, mitos dan fakta tentang bullying, serta bagaimana menghadapi bullying, baik bagi korban, siswa lain yang menonton, maupun bagi pihak sekolah atau orangtua.

Sumber:

Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 – 13

Semua tentang pikiran dan perilaku manusia

• Beranda

• Daftar Isi

• Redaksi

• Kuliah

• Jurnal

• Tautan

• Buku Tamu

“Bullying” dalam Dunia Pendidikan (bagian 2a): Mengenal Korban Lebih Jauh

Jumat, 20 Juli 2007

tags: anak, bullying, remaja, sekolah

by Catshade

Dalam bagian pertama, kita telah melihat gambaran singkat mengenai fenomena bullying yang terjadi beberapa sekolah di Indonesia serta dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap para korban. Dalam bagian kedua ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam fenomena tersebut. Tulisan awal ini terlebih dahulu akan melihat korban bullying lebih dalam lagi: Mengapa ada anak yang lebih rentan mengalami bullying dibandingkan anak-anak lainnya? Tanda-tanda apa saja dari korban bullying yang dapat dikenali oleh orangtua dan guru? Ada pula tips yang berguna untuk anak: Bagaimana seorang anak harus bertindak jika ia menjadi korban bullying?

Faktor dan Karakteristik yang Terkait dengan Korban Bullying

Pepler dan Craig (1988) mengidentifikasi beberapa faktor internal dan eksternal yang terkait dengan korban bullying. Secara internal, anak yang rentan menjadi korban bullying biasanya memiliki temperamen pencemas, cenderung tidak menyukai situasi sosial (social withdrawal), atau memiliki karakteristik fisik khusus pada dirinya yang tidak terdapat pada anak-anak lain, seperti warna rambut atau kulit yang berbeda atau kelainan fisik lainnya. Secara eksternal, ia juga pada umumnya berasal dari keluarga yang overprotektif, sedang mengalami masalah keluarga yang berat, dan berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau dipandang negatif oleh lingkungan.

Tentu karakteristik di atas bukanlah harga mati. Banyak anak-anak yang sepintas kelihatannya ’biasa-biasa saja’, ternyata tanpa sepengetahuan orangtua atau guru mereka telah menjadi korban bullying selama berbulan-bulan. Padahal, jika mereka mengetahui tanda-tandanya, anak tersebut dapat ditangani sedini mungkin sebelum efek negatif dari bullying semakin merusak dirinya. Apa saja gejalanya? Hal-hal berikut ini bisa menjadi indikasi awal bahwa anak mungkin sedang mengalami bullying di sekolahnya.

• Kesulitan untuk tidur

• Mengompol di tempat tidur

• Mengeluh sakit kepala atau perut

• Tidak nafsu makan atau muntah-muntah

• Takut pergi ke sekolah

• Sering pergi ke UKS/ruang kesehatan

• Menangis sebelum atau sesudah bersekolah

• Tidak tertarik pada aktivitas sosial yang melibatkan murid lain

• Sering mengeluh sakit sebelum berangkat sekolah

• Sering mengeluh sakit pada gurunya dan ingin orangtua segera menjemput pulang

• Harga diri yang rendah

• Perubahan drastis pada sikap, cara berpakaian, atau kebiasaannya

• Kerusakan atau kehilangan barang-barang pribadi, berkurangnya uang jajan yang tak dapat dijelaskan

• Lecet atau luka yang tidak dapat dijelaskan, atau dengan alasan yang dibuat-buat

• Bersikap agresif di rumah

• Tidak mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas sekolah, prestasi menurun

• Sering merasa tidak berdaya menghadapi permasalahan, submisif

Bagaimana Sebaiknya Bertindak Ketika Menghadapi Bullying

Beberapa orangtua biasanya sudah memiliki kerangka berpikir tertentu mengenai bagaimana anaknya harus bertindak ketika di-bully oleh teman-temannya, seperti ”kalau kamu dipukul, pukul balik saja!” Anakpun juga seringkali mempunyai kerangka berpikir yang lain, contohnya ”kalau saya melapor pada ortu/guru, saya akan dicap sebagai ‘pengadu’ dan akan semakin di-bully.” Tepatkah pandangan-pandangan semacam itu? Bullying.org, berikut beberapa tambahan dari penulis, memberikan beberapa tips dan saran bagi anak yang berisiko terkena bullying atau sedang mengalaminya.

Jangan membawa barang-barang mahal atau uang yang berlebihan. Merampas, merusak, atau menyandera barang-barang korban adalah tindakan-tindakan yang biasanya dilakukan pelaku bullying. Karena itu, sebisa mungkin jangan beri mereka kesempatan dengan membawa barang-barang mahal atau uang yang berlebihan ke sekolah. Jika terpaksa, sembunyikan di tempat yang aman, titipkan ke guru atau teman yang anda percaya, atau setidaknya hindarkan meletakkan barang atau uang tersebut di tempat terbuka yang bisa menarik perhatian pelaku bullying.

Jangan sendirian. Pelaku bullying melihat anak yang penyendiri sebagai mangsa yang potensial. Karena itu, jangan sendirian di dalam kelas, di lorong sekolah, atau di tempat-tempat sepi lainnya. Kalau memungkinkan, beradalah di tempat di mana guru atau orang dewasa lainnya dapat melihat anda. Akan lebih baik lagi jika anda bersama-sama dengan teman, atau mencoba berteman dengan anak-anak penyendiri lainnya yang kemungkinan juga telah menjadi korban. Anda mungkin tidak berdaya menghadapi pelaku bullying sendirian, namun anda akan lebih aman bersama-sama dengan yang lain.

Namun bukan berarti juga anda seolah-olah menantang. Jangan cari gara-gara dengan pelaku bullying. Jika anda tahu ada anak-anak tertentu yang tidak menyukai anda, atau sudah dikenal luas sebagai pelaku bullying, sebisa mungkin hindari berada di dekat mereka atau di area yang sama dengan mereka. Ini termasuk area di luar sekolah, seperti jalan yang biasa anda lewati ketika pergi/pulang sekolah atau di dalam kendaraan jemputan. Kalau terpaksa, pastikan di situ ada orang dewasa (orangtua, guru, pegawai) yang bisa melerai perilaku bullying atau teman-teman anda.

Bagaimana jika suatu saat anda tetap terperangkap dalam situasi bullying? Kuncinya adalah tampil percaya diri. Jangan perlihatkan diri anda seperti orang yang lemah atau ketakutan, seperti berdiri dengan postur yang tidak tegap, menunduk ketika diajak bicara atau menjawab dengan gugup. Tetaplah tenang, utarakan keberatan anda dengan tegas, lalu tinggalkan mereka. Jangan biarkan emosi anda terpancing dan membalas perbuatan mereka kecuali anda merasa punya cukup kemampuan untuk itu; jika tidak (misalnya karena pelaku membawa senjata atau jumlah pelaku jauh lebih banyak), anda hanya akan membuat situasi bertambah buruk. Lakukan perlawanan hanya sebagai alternatif terakhir untuk mempertahankan diri jika tidak memungkinkan untuk pergi dari situ.

Terakhir, bullying hanya akan berhenti untuk seterusnya jika anda berani melapor pada orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya yang anda percayai. Anda sama sekali bukan pengecut; butuh jauh lebih banyak keberanian untuk bertindak dan mencoba mengubah kondisi yang salah semampu anda daripada hanya berdiam diri dan berharap semua penderitaan yang anda rasakan akan berlalu dengan sendirinya.

Dampak Perilaku Bullying dalam Perspektif Perkembangan Anak

Tidak harus menunggu sampai seorang anak menjadi anggota institut sekolah tinggi terkemuka untuk bisa melakukan bullying; tanda-tandanya sudah dapat diamati pada anak-anak yang bahkan belum bersekolah sekalipun. Perilaku menggigit, memukul, mendorong, menjatuhkan, atau melemparkan barang-barang pada teman bermain atau orang lain adalah beberapa tanda-tanda kecenderungan agresif yang, bila tidak ditangani, akan mengarah pada perilaku bullying dan tindakan kekerasan lainnya. Berlawanan dengan pandangan umum pula, bullying bukanlah aktivitas normal pada anak-anak yang akan ’berlalu dengan sendirinya seiring mereka dewasa.’ Kini telah diketahui bahwa perilaku bullying yang tidak ditangani dengan baik pada masa anak-anak justru dapat menyebabkan gangguan perilaku yang lebih serius di masa remaja dan dewasa, seperti:

• Pelecehan seksual

• Kenakalan remaja

• Keterlibatan dalam geng kriminal

• Kekerasan terhadap pacar/teman kencan

• Pelecehan atau bullying di tempat kerja

• Kekerasan dalam rumah tangga

• Pelecehan/kekerasan terhadap anak

• Kekerasan terhadap orang tua sendiri

Faktor dan Karakteristik yang Terkait dengan Perilaku Bullying

Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan seorang anak menjadi pelaku bullying? Salah satunya adalah keluarga. Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orangtua yang kerap menghukum anaknya secara berlebihan atau situasi rumah yang penuh stres, agresi dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orangtua mereka dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa ”mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan berperilaku agresif dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang.” Dari sini, anak tidak hanya mengembangkan perilaku bullying, melainkan juga sikap dan kepercayaan yang lebih dalam lagi.

Bullying is not about anger. It is not a conflict to be resolved, it’s about contempt –a powerful feeling of dislike toward someone considered to be worthless, inferior or undeserving of respect. Contempt comes with three apparent psychological advantages that allow kids to harm others without feeling empathy, compassion or shame. These are: a sense of entitlement, that they have the right to hurt or control others, an intolerance towards difference, and a freedom to exclude, bar, isolate and segregate others.

(Barbara Coloroso, pengarang buku ”The Bully, the Bullied, and the Bystander”, seperti dikutip oleh bullying.org)

Selain keluarga, ada beberapa karakteristik lain yang terkait dengan perilaku bullying. Patut dicatat bahwa kita tidak dapat serta-merta ’menghakimi’ anak sebagai pelaku hanya karena ia memiliki beberapa karakteristik tertentu. Di bawah ini adalah karakteristik yang pada umumnya ditemui pada pelaku bullying, sehingga anak yang belum melakukan bullying, namun memiliki beberapa karakteristik berikut, dapat segera dikenali dan diberi pengertian yang benar sebelum ia melakukannya.

• Cenderung hiperaktif, disruptive, impulsif, dan overactive

• Memiliki temperamen yang sulit dan masalah pada atensi/konsentrasi

• Pada umumnya juga agresif terhadap guru, orangtua, saudara, dan orang lain

• Gampang terprovokasi oleh situasi yang mengundang agresi

• Memiliki sikap bahwa agresi adalah sesuatu yang positif

• Pada anak laki-laki, cenderung memiliki fisik yang lebih kuat daripada teman sebayanya

• Pada anak perempuan, cenderung memiliki fisik yang lebih lemah daripada teman sebayanya

• Berteman dengan anak-anak yang juga memiliki kecenderungan agresif

• Kurang memiliki empati terhadap korbannya dan tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya

• Biasanya adalah anak yang paling insecure, tidak disukai oleh teman-temannya, dan paling buruk prestasinya di sekolah hingga sering terancam drop out.

• Cenderung sulit menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan dalam hidup

Dari pelbagai karakteristik yang dimiliki pelaku di atas, dapat kita lihat bagaimana para pelaku tersebut sebenarnya juga adalah korban dari fenomena bullying. ’Pelaku’ yang sebenarnya bisa dikatakan adalah mereka yang menutup mata terhadap fenomena ini atau menganggapnya normal dan membiarkannya terus-menerus terjadi. Mereka seringkali adalah orang-orang terdekat pelaku dan korban, yaitu teman sebaya, orangtua, dan guru. Apa saja yang sebenarnya bisa mereka lakukan untuk memutus mata rantai bullying ini? Nantikan tulisan berikutnya dalam seri ”Bullying dalam Dunia Pendidikan”.

Meskipun selama ini ekspos mengenai bullying lebih banyak terfokus pada pelaku dan korbannya, bukan berarti bullying adalah fenomena terisolasi yang tidak melibatkan lingkungan. Mengakarnya perilaku bullying sehingga sulit diberantas seringkali justru diakibatkan oleh ketidaktahuan (atau keengganan) lingkungan untuk mengakui bahwa bullying terjadi di depan hidung mereka dan akibatnya sangat buruk. Detik.com pada akhir April lalu menurunkan laporan dari Sejiwa, LSM yang peduli terhadap masalah ini.

Dari penelitian mereka selama tahun 2004-2006 pada 3 SMA di dua kota besar di Pulau Jawa, 1 dari 5 guru menganggap bullying adalah hal biasa dalam kehidupan remaja dan tak perlu dipermasalahkan. Bahkan, 1 dari 4 guru berpendapat bahwa ’sesekali penindasan’ tidak akan berdampak buruk terhadap kondisi psikologis siswa! Bukan hanya pihak sekolah yang terkesan lepas tangan terhadap bullying yang dilakukan di lingkungan mereka. Detik.com juga melaporkan temuan Amy Huneck yang menemukan bahwa 9 dari 10 orang dewasa yang diwawancarai menganggap bullying hanyalah bagian dari cara anak-anak bermain.

Ketika korban jiwa sudah berjatuhan, tentu kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap kesalahan-kesalahan berpikir seperti di atas. Orang-orang ’luar’ yang terkait dengan perilaku bullying bisa melakukan banyak hal untuk mencegah bullying menjadi sesuatu yang mendarahdaging dalam pendidikan kita. Langkah awalnya bisa dimulai dari lingkup yang paling dekat dengan pelaku dan korban bullying, yaitu teman-teman mereka sendiri.

Jangan Cuma Bisa Nonton!

Pada umumnya yang menjadi korban bullying hanyalah sebagian siswa. Sisanya, jika tidak menjadi pelaku, biasanya menjadi penonton aktivitas bullying yang terjadi di sekitarnya. Bullying.org mencatat bahwa 85 persen kejadian bullying di tempat bermain atau di kelas melibatkan penonton dari teman-teman mereka sendiri.

Apakah mereka yang tidak ikut serta ini bebas dari kesalahan karena mereka ’hanya’ menonton? Lebih sering tidak. Menurut Pepler dan Craig (2000), siswa-siswa lain bisa memiliki beberapa peran, yaitu peserta (co-bullies), suporter, penonton biasa, dan penolong (interveners). Berikut adalah beberapa pengaruh teman-teman sebaya yang menonton terhadap aktivitas bullying.

• Mereka secara alamiah tertarik oleh ketegangan dan hasrat agresif yang ditimbulkan dari menonton aktivitas bullying. Adanya ‘permintaan pasar’ ini akan mendorong pelaku untuk mem-bully lebih sering, intens, dan ganas

• Perhatian positif, keberpihakan, peniruan, rasa hormat, dan ketakutan untuk melawan yang terjadi pada penonton akan semakin memperkuat dominasi pelaku

• Memaksimalkan dampak sosial dari bullying terhadap korban melalui penonton yang tidak memberikan empati atau pertolongan, memberikan perhatian yang negatif, serta bersikap menyalahkan korban sebagai ‘pemicu’ perlakuan bullying terhadapnya.

• Siswa-siswa yang berpihak pada pelaku akan semakin semakin agresif dan tidak sensitif terhadap penderitaan korban akibat perlakuan mereka. Mereka mengalami ‘perlindungan’ (dari pelaku) dan status sosial yang lebih tinggi. Pada akhirnya akan terbentuk kelompok yang solid dan mampu melakukan aktivitas terencana.

• Menegaskan adanya risiko bagi siswa-siswa yang berpihak pada korban: mereka bisa menjadi korban berikutnya.

Tampaknya mempertunjukkan aktivitas bullying di depan umum cukup berhasil mewujudkan pengaruh-pengaruh di atas. Dari data yang dihimpun Bullying.org, 80-90 persen siswa yang menonton merasa tidak nyaman menonton peristiwa bullying, bahkan sepertiga siswa mengaku akan ikut mem-bully siswa yang mereka juga tidak suka. Hanya ada 11 persen siswa yang mencoba menghentikannya, dan lebih dari separuh peristiwa bullying berhasil mereka hentikan dalam kurang dari sepuluh detik. Untuk itu, Bullying.org memberikan beberapa tips bagi mereka:

• Kenali perilaku bullying. Tidak hanya bersifat fisik, bullying juga dapat bersifat sosial atau verbal, seperti menjelek-jelekkan orang lain.

• Menjauhlah. Dengan tetap berada di situ dan menonton, anda menyemangati pelaku untuk terus melakukan aksinya. Menjauhlah dan cari pertolongan dari guru atau orangtua. Akan lebih baik jika anda bisa mengajak teman-teman lain untuk menjauh juga.

• Jangan ikut mem-bully meski ‘hanya’ secara verbal, seperti mengejek atau menyindir. Inilah yang diharapkan pelaku dari para penonton. Sebaliknya, dekatilah korban bullying. Dorong mereka untuk melaporkan kejadian ini pada orangtua atau guru. Temani mereka.

• Bicarakan keberatan anda (dan pandangan anda bahwa bullying itu salah) jika anda diajak atau dipaksa untuk ikut serta dalam aktivitas bullying. Tolonglah korban, dan jangan sekali-sekali melawan pelaku bullying jika anda tidak yakin anda cukup aman untuk melakukannya.

• Catatlah tempat-tempat yang sering dijadikan lokasi bullying. Beritahukan guru atau orangtua agar mereka mengawasi tempat-tempat ini.

Mungkin pada awalnya akan sulit bagi orangtua atau sekolah untuk menanamkan nilai-nilai tersebut pada anak-anak mereka, karena selama ini mereka telah terbiasa diam ketika melihat (atau mengalami) ketidakadilan. Namun jika pihak-pihak yang berwenang mampu memberi sanksi dan penanganan yang tegas bagi pelaku, perlindungan bagi korban, dan penghargaan bagi pihak-pihak yang berani menolong, niscaya bullying akan tinggal menjadi masa lalu dalam pendidikan kita.

Sumber:

Awas! Bullying di Sekolah – Detik.Com, 29 April 2007

Banyak Guru Anggap Bullying Bukan Masalah Serius – Detik.Com, 29 April 2007

Bullying Facts Pamphlet-2 – Bullying.org (pdf)

Bullying Information for Young People – Bullying.org (pdf)

Making a Difference in Bullying – Bullying.org (pdf)