Sabtu, 31 Juli 2010

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Konsep Psikologi Pendidikan
Psikoanalisis

Psikonaliasis disebut-sebut sebagai kekuatan pertama dalam aliran psikologi. Aliran ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1890-an oleh Simund Freud, seorang ahli neurologi yang berhasil menemukan cara-cara pengobatan yang efektif bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan gejala neurotik dan histeria melalui teknik pengobatan eksperimental yang disebut abreaction, sebuah kombinasi antara teknik hipnotis dengan katarsis, yang dia pelajari dari senior sekaligus sahabatnya, Dr. Josef Breuer. Bersama-sama dengan Breuer, Freud menangani pasien-pasien dengan gangguan histeria yang menjadi bahan bagi tulisannya, :”Studies in Histeria”. Kerjasamanya dengan Jean Martin Charcot, dokter syaraf terkenal di Perancis, dia banyak menggali tentang gejala-gejala psikosomatik dari pasien-pasien yang mengalami gangguan seksual.

Freud berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia (analoginya dengan gunung es). Di dalam unsconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas. Freud mengembangkan konsep struktur mind tersebut dengan mengembangkan “mind apparatus”, yaitu yang dikenal dengan struktur kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif /pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, seperti : identifikasi, proyeksi, fiksasi, agesi regresi, represi.

Pemikiran Psikoanalisis dari Freud semakin terus berkembang, Alfred Adler (1870-1937), sebagai pengikut Freud yang berhasil mengembangkan teorinya sendiri yang disebut dengan Individual Psychology. Konsep utama Adler adalah organ inferiority. Berangkat dari teorinya tentang adanya inferiority karena kekurangan fisik yang berusaha diatasi manusia, ia memperluas teorinya dengan menyatakan bahwa perasaan inferior adalah universal. Setiap manusia pasti punya perasaan inferior karena kekurangannya dan berusaha melakukan kompensasi atas perasaan ini. Kompensasi ini bisa dalam bentuk menyesuaikan diri ataupun membentuk pertahanan yang memungkinkannya mengatasi kelemahan tersebut. Selanjutnya, Adler juga membahas tentang striving for superiority, yaitu dorongan untuk mengatasi inferiority dengan mencapai keunggulan. Dorongan ini sifatnya bawaan dan merupakan daya penggerak yang kuat bagi individu sepanjang hidupnya. Adanya striving for superiority menyebabkan manusia selalu berkembang ke arah kesempurnaan. Teorinya ini yang membuat Adler memiliki pandangan lebih optimis dan positif terhadap manusia serta lebih berorientasi ke masa depan dibandingkan Freud yang lebih berorientasi ke masa lalu.

Carl Gustav Jung (1875-1961), salah seorang murid Freud yang kemudian berhasil mengembangkan teorinya sendiri yang disebut Analytical Psychology. Jung menekankan pada aspek ketidakadaran dengan konsep utamanya, collective unconscious. Konsep ini sifatnya transpersonal, ada pada seluruh manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui struktur otak manusia yang tidak berubah. Collective unconscious terdiri dari jejak ingatan yang diturunkan dari generasi terdahulu, cakupannya sampai pada masa pra-manusia. Misalnya, cinta pada orangtua, takut pada binatang buas,dan lain-lain. Collective unconscious ini menjadi dasar kepribadian manusia karena didalamnya terkandung nilai dan kebijaksanaan yang dianut manusia. Ide-ide yang diturunkan atau primordial images disebut sebagai archetype, yang terbentuk dari pengalaman yang berulang dalam kurun waktu yang lama. Ada beberapa archetype mendasar pada manusia, yaitu persona, anima, shadow, self. Archetype inilah yang menjadi isi collective unconsciousness. (Hana Panggabean, 2007, http://rumahbelajarpsikologi.com)

Hingga saat ini di Amerika Serikat tercatat sekitar 35 lembaga pelatihan Psikoanalisis yang telah terakreditasi oleh American Psychoanalytic Association dan terdapat lebih dari 3.000 lulusannya yang menjalankan praktik psikoanalisis. Pemikiran psikoanalisis tidak hanya berkembang di Amerika di hampir seluruh belahan Eropa dan belahan dunia lainnya.

Beberapa teori yang dihasilkan dari kalangan psikoanalisis, diantaranya : (1) teori konflik; (2) psikologi ego; (3) teori hubungan-hubungan objek; (4) teori struktural; dan sebagainya

Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, psikoanalisis merupakan salah satu aliran psikologi yang telah berhasil menguak sisi kehidupan manusia yang tidak bisa diamati secara inderawi. Psikoanalisis telah mengantarkan pelopornya, yaitu Sigmund Freud sebagai salah satu tokoh psikologi yang paling populer di Amerika pada abad ke-20.

Sumber:

Hana Panggabean, 2007, http://rumahbelajarpsikologi.com

Wikipedia. 2007. Psychoanalysis. http://en.wikipedia.org/

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/23/psikoanalisis/

Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk mengkaji perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Oleh karena itu, penganut aliran behaviorisme menolak keras adanya aspek-aspek kesadaran atau mentalitas dalam individu. Pandangan ini sebetulnya sudah berlangsung lama sejak jaman Yunani Kuno, ketika psikologi masih dianggap bagian dari kajian filsafat. Namun kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B. Watson pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh sebab itu psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observasi, conditioning, testing, dan verbal reports.

Teori utama dari Watson yaitu konsep stimulus dan respons (S-R) dalam psikologi. Stimulus adalah segala sesuatu obyek yang bersumber dari lingkungan. Sedangkan respon adalah segala aktivitas sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku dan perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting. Pemikiran Watson menjadi dasar bagi para penganut behaviorisme berikutnya.

Teori-teori yang dikembangkan oleh kelompok behaviorisme terutama banyak dihasilkan melalui berbagai eksperimen terhadap binatang. Berikut ini disajikan beberapa teori penting yang dihasilkan oleh kelompok behaviorisme:

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.

Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:

• Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.

• Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

• Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov

Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.

• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner

Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

• Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.

• Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/behaviorisme/

Psikologi Humanistik

Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.

Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.

Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.

Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu: (1) keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen; (2) manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya; (3) manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan orang lain; (4) manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-pilihanya; dan (5) manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan kreativitas.

Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.

Dari pemikiran Abraham Maslow (1950) yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Morris (1954) meyakini bahwa manusia dapat memikirkan tentang proses berfikirnya sendiri dan kemudian mempertanyakan dan mengoreksinya. Dia menyebutkan pula bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan-persaannya dan juga memiliki kesadaran akan dirinya. Dengan kesadaran dirinya, manusia dapat berusaha menjadi lebih baik. Carl Rogers berjasa besar dalam mengantarkan psikologi humanistik untuk dapat diaplikasian dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan melalui upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa

Berkenaan dengan epistemiloginya, teori-teori humanistik dikembangkan lebih berdasarkan pada metode penelitian kualitatif yang menitik-beratkan pada pengalaman hidup manusia secara nyata (Aanstoos, Serlin & Greening, 2000). Kalangan humanistik beranggapan bahwa usaha mengkaji tentang mental dan perilaku manusia secara ilmiah melalui metode kuantitatif sebagai sesuatu yang salah kaprah. Tentunya hal ini merupakan kritikan terhadap kalangan kognitivisme yang mengaplikasikan metode ilmiah pendekatan kuantitatif dalam usaha mempelajari tentang psikologi.

Sebaliknya, psikologi humanistik pun mendapat kritikan bahwa teori-teorinya tidak mungkin dapat memfalsifikasi dan kurang memiliki kekuatan prediktif sehingga dianggap bukan sebagai suatu ilmu (Popper, 1969, Chalmers, 1999).

Hasil pemikiran dari psikologi humanistik banyak dimanfaatkan untuk kepentingan konseling dan terapi, salah satunya yang sangat populer adalah dari Carl Rogers dengan client-centered therapy, yang memfokuskan pada kapasitas klien untuk dapat mengarahkan diri dan memahami perkembangan dirinya, serta menekankan pentingnya sikap tulus, saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas konselor hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik asesmen dan pendapat para konselor bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment atau pemberian bantuan kepada klien.

Selain memberikan sumbangannya terhadap konseling dan terapi, psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik ini.

Sumber :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_education

http://en.wikipedia.org/wiki/Humanistic_psychology

http://rumahbelajarpsikologi.com

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/29/psikologi-humanistik/

Memahami Perilaku Individu

Salah satu tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan perilaku peserta didiknya. Dalam hal ini, Abin Syamsuddin Makmun (2003) menyebutkan bahwa tugas guru antara lain sebagai pengubah perilaku peserta didik (behavioral changes). Oleh itu, agar perilaku peserta didik dapat berkembang optimal, tentu saja seorang guru seyogyanya dapat memahami tentang bagaimana proses dan mekanisme terbentuknya perilaku para peserta didiknya.

Untuk memahami perilaku individu dapat dilihat dari dua pendekatan, yang saling bertolak belakang, yaitu: (1) behaviorisme dan (2) holistik atau humanisme. Kedua pendekatan ini memiliki implikasi yang luas terhadap proses pendidikan, baik untuk kepentingan pembelajaran, pengelolaan kelas, pembimbingan serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya.

A. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Behaviorisme

Behaviorisme memandang bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dengan mengkondisikan atau menciptakan stimulus-stimulus (rangsangan) tertentu dalam lingkungan. Behaviorisme menjelaskan mekanisme proses terjadi dan berlangsungnya perilaku individu dapat digambarkan dalam bagan berikut :

S > R atau S > O > R

S = stimulus (rangsangan); R = Respons (perilaku, aktivitas) dan O=organisme (individu/manusia).

Karena stimulus datang dari lingkungan (W = world) dan R juga ditujukan kepadanya, maka mekanisme terjadi dan berlangsungnya dapat dilengkapkan seperti tampak dalam bagan berikut ini :

W > S > O > R > W

Yang dimaksud dengan lingkungan (W = world) di sini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu :

1. Lingkungan objektif (umgebung=segala sesuatu yang ada di sekitar individu dan secara potensial dapat melahirkan S).

2. Lingkungan efektif (umwelt=segala sesuatu yang aktual merangsang organisme karena sesuai dengan pribadinya sehingga menimbulkan kesadaran tertentu pada diri organisme dan ia meresponsnya)

Perilaku yang berlangsung seperti dilukiskan dalam bagan di atas biasa disebut dengan perilaku spontan.

Contoh : seorang mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa panas, secara spontan mahasiswa tersebut mengipas-ngipaskan buku untuk meredam kegerahannya.

Ruangan kelas yang panas merupakan lingkungan (W) dan menjadi stimulus (S) bagi mahasiswa tersebut (O), secara spontan mengipaskan-ngipaskan buku merupakan respons (R) yang dilakukan mahasiswa. Merasakan ruangan tidak terasa gerah (W) setelah mengipas-ngipaskan buku.

Sedangkan perilaku sadar dapat digambarkan sebagai berikut:

W > S > Ow > R > W

Contoh : ketika sedang mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan di ruangan kelas yang terasa agak gelap karena waktu sudah sore hari ditambah cuaca mendung, ada seorang mahasiswa yang sadar kemudian dia berjalan ke depan dan meminta ijin kepada dosen untuk menyalakan lampu neon yang ada di ruangan kelas, sehingga di kelas terasa terang dan mahasiswa lebih nyaman dalam mengikuti perkuliahan.

Ruangan kelas yang gelap, waktu sore hari, dan cuaca mendung merupakan lingkungan (W), ada mahasiswa yang sadar akan keadaan di sekelilingnya (Ow), –meski di ruangan kelas terdapat banyak mahasiswa namun mereka mungkin tidak menyadari terhadap keadaan sekelilingnya–. berjalan ke depan, meminta ijin ke dosen, dan menyalakan lampu merupakan respons yang dilakukan oleh mahasiswa yang sadar tersebut (R), suasana kelas menjadi terang dan mahasiswa menjadi lebih menyaman dalam mengikuti perkuliahan merupakan (W).

Sebenarnya, masih ada dua unsur penting lainnya dalam diri setiap individu yang mempengaruhi efektivitas mekanisme proses perilaku yaitu receptors (panca indera sebagai alat penerima stimulus) dan effectors (syaraf, otot dan sebagainya yang merupakan pelaksana gerak R).

Dengan mengambil contoh perilaku sadar tadi, mahasiswa yang sadar (Ow) mungkin merasakan penglihatannya (receptor) menjadi tidak jelas, sehingga tulisan dosen di papan tulis tidak terbaca dengan baik. Menggerakkan kaki menuju ke depan, mengucapkan minta izin kepada dosen, tangan menekan saklar lampu merupakan effector.

B. Mekanisme Pembentukan Perilaku Menurut Aliran Holistik (Humanisme)

Holistik atau humanisme memandang bahwa perilaku itu bertujuan, yang berarti aspek-aspek intrinsik (niat, motif, tekad) dari dalam diri individu merupakan faktor penentu untuk melahirkan suatu perilaku, meskipun tanpa ada stimulus yang datang dari lingkungan. Holistik atau humanisme menjelaskan mekanisme perilaku individu dalam konteks what (apa), how (bagaimana), dan why (mengapa). What (apa) menunjukkan kepada tujuan (goals/incentives/purpose) apa yang hendak dicapai dengan perilaku itu. How (bagaimana) menunjukkan kepada jenis dan bentuk cara mencapai tujuan (goals/incentives/pupose), yakni perilakunya itu sendiri. Sedangkan why (mengapa) menunjukkan kepada motivasi yang menggerakan terjadinya dan berlangsungnya perilaku (how), baik bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi instrinsk) maupun yang bersumber dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Perilaku individu diawali dari adanya kebutuhan. Setiap individu, demi mempertahankan kelangsungan dan meningkatkan kualitas hidupnya, akan merasakan adanya kekurangan-kekurangan atau kebutuhan-kebutuhan tertentu dalam dirinya. Dalam hal ini, Maslow mengungkapkan jenis-jenis kebutuhan-individu secara hierarkis, yaitu:

1. kebutuhan fisiologikal, seperti : sandang, pangan dan papan

2. kebutuhan keamanan, tidak dalam arti fisik, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual

3. kebutuhan kasih sayang atau penerimaan

4. kebutuhan prestise atau harga diri, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status

5. kebutuhan aktualisasi diri.

Sementara itu, Stranger (Nana Syaodih Sukmadinata,2005) mengetengahkan empat jenis kebutuhan individu, yaitu:

1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement), yaitu kebutuhan untuk berkompetisi, baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi.

2. Kebutuhan berkuasa (need for power), yaitu kebutuhan untuk mencari dan memiliki kekuasaan dan pengaruh terhadap orang lain.

3. Kebutuhan untuk membentuk ikatan (need for affiliation), yaitu kebutuhan untuk mengikat diri dalam kelompok, membentuk keluarga, organisasi ataupun persahabatan.

4. Kebutuhan takut akan kegagalan (need for fear of failure), yaitu kebutuhan untuk menghindar diri dari kegagalan atau sesuatu yang menghambat perkembangannya.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi dorongan (motivasi) yang merupakan kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu aktivitas, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Jika kebutuhan yang serupa muncul kembali maka pola mekanisme perilaku itu akan dilakukan pengulangan (sterotype behavior), sehingga membentuk suatu siklus

Berkaitan dengan motif individu, untuk keperluan studi psikologis, motif individu dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan, yaitu :

1. Motif primer (basic motive dan emergency motive); menunjukkan kepada motif yang tidak pelajari, dikenal dengan istilah drive, seperti : dorongan untuk makan, minum, melarikan diri, menyerang, menyelamatkan diri dan sejenisnya.

2. Motif sekunder; menunjukkan kepada motif yang berkembang dalam individu karena pengalaman dan dipelajari, seperti : takut yang dipelajari, motif-motif sosial (ingin diterima, konformitas dan sebagainya), motif-motif obyektif dan interest (eksplorasi, manipulasi. minat), maksud dan aspirasi serta motif berprestasi.

Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari indikator-indikatornya, yaitu : (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

Dalam diri individu akan didapati sekian banyak motif yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dengan beragamnya motif yang terdapat dalam individu, adakalanya individu harus berhadapan dengan motif yang saling bertentangan atau biasa disebut konflik.

Bentuk-bentuk konflik tersebut diantaranya adalah :

1. Approach-approach conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat, dikehendaki serta bersifat positif.

2. Avoidance-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih dan semua alternatif motif sama-sama kuat namun tidak dikehendaki dan bersifat negatif.

3. Approach-avoidance conflict; jika individu dihadapkan pada dua motif atau lebih, yang satu positif dan dikehendaki dan yang lainnya motif negatif serta tidak dikehendaki namun sama kuatnya.

Jika seorang individu dihadapkan pada bentuk-bentuk motif seperti dikemukakan di atas tentunya dia akan mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan dan sangat mungkin menjadi perang batin yang berkepanjangan.

Dalam pandangan holistik, disebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam dirinya, setiap aktivitas yang dilakukan individu akan mengarah pada tujuan tertentu. Dalam hal ini, terdapat dua kemungkinan, tercapai atau tidak tercapai tujuan tersebut. Jika tercapai tentunya individu merasa puas dan memperoleh keseimbangan diri (homeostatis). Namun sebaliknya, jika tujuan tersebut tidak tercapai dan kebutuhannya tidak terpenuhi maka dia akan kecewa atau dalam psikologi disebut frustrasi. Reaksi individu terhadap frustrasi akan beragam bentuk perilakunya, bergantung kepada akal sehatnya (reasoning, inteligensi). Jika akal sehatnya berani mengahadapi kenyataan maka dia akan lebih dapat menyesuaikan diri secara sehat dan rasional (well adjustment). Namun, jika akal sehatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perilakunya lebih dikendalikan oleh sifat emosinalnya, maka dia akan mengalami penyesuaian diri yang keliru (maladjusment).

Bentuk perilaku salah suai (maldjustment), diantaranya : (1) agresi marah; (2) kecemasan tak berdaya; (3) regresi (kemunduran perilaku); (4) fiksasi; (5) represi (menekan perasaan); (6) rasionalisasi (mencari alasan); (7) proyeksi (melemparkan kesalahan kepada lingkungan); (8) sublimasi (menyalurkan hasrat dorongan pada obyek yang sejenis); (9) kompensasi (menutupi kegagalan atau kelemahan dengan sukses di bidang lain); (10) berfantasi (dalam angan-angannya, seakan-akan ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya).

Di sinilah peran guru untuk sedapat mungkin membantu para peserta didiknya agar terhindar dari konflik yang berkepanjangan dan rasa frustasi yang dapat menimbulkan perilaku salah-suai. Sekaligus juga dapat memberikan bimbingan untuk mengatasinya apabila peserta didik mengalami konflik yang berkepanjangan dan frustrasi.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan contoh terbentuknya perilaku berdasarkan pendekatan holistik.

Contoh 1 :

Karena gagal mengikuti mengikuti testing pada salah satu Fakultas di Perguruan Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya (moralitas), secara sukarela Arjuna memutuskan untuk melanjutkan pada salah program studi yang ada di FKIP UNIKU (sublimasi).

Ketika mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan yang merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti para mahasiswa, sejak awal dia sudah menyadari bahwa dia kekurangan pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam bidang Psikologi Pendidikan sehingga dia menyadari Psikologi Pendidikan merupakan kebutuhan bagi dirinya (need felt) dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya (goals/incentives).

Untuk tujuan jangka pendeknya, dengan berbekal kesadaran diri bahwa dia memiliki potensi dalam bidang psikologi pendidikan, dia berharap dapat memperoleh kemampuan baru berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan psikologi pendidikan, yang diperolehnya dari setiap pertemuan tatap muka dengan dosen.

Tujuan jangka menengah, pada akhir semester dia berharap lulus mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan mendapatkan nilai A (kebutuhan harga diri). Selain itu, nanti pada saat mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), dia berharap dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk jangka panjang, dia benar-benar berharap dapat menjadi guru yang efektif dan kompeten.

Keinginan dan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bidang psikologi pendidikan, memperoleh kesuksesan belajar dengan mendapatkan nilai A, memperoleh kesuksesan dalam mengikuti Program Praktek Lapangan (PPL), keinginan menjadi guru yang efektif dan kompeten kemudian berkembang menjadi dorongan yang kuat dalam dirinya (motivasi intrinsik)

Pada saat mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan dia senantiasa aktif bertanya dan mengemukakan pendapatnya tentang materi yang disampaikan, membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan yang diwajibkan dan dianjurkan oleh dosen. Setiap tugas yang diberikan diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Dia juga sangat menyukai diskusi tentang psikologi pendidikan dengan teman-temannya di luar kelas (perilaku instrumental).

Berkat aktivitas dan kesungguhannya dalam mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia memperoleh pengetahuan yang luas, sikap yang positif dan memiliki keterampilan yang bisa dibanggakan dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologi. Pada akhir semester, dia memperoleh nilai terbaik di kelasnya, pada saat PPL dia termasuk mahasiswa praktikan yang disukai oleh peserta didiknya, bahkan kepala sekolahnya meminta dia untuk menjadi guru di sekolah menjadi tempat prakteknya.

Setelah dia selesai kuliah dia menjadi guru di sebuah sekolah, para peserta didik sangat menyenangi dia karena dia sangat dekat dan akrab dengan peserta didiknya. Begitu juga, rekan-rekan seprofesinya sangat hormat dan kagum atas kinerjanya sebagai guru. Pada saat mengikuti lomba pemilihan guru berprestasi tingkat kabupaten, dia berhasil meraih sebagai juara pertama.

Dia sangat mensyukuri atas segala keberhasilannya, baik ketika selama menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi guru (homeostatis). Bagi dirinya, Perkuliahan Psikologi Pendidikan telah mendasari dia menjadi seorang yang sukses.

Contoh 2 :

Astrajingga rekan seangkatan Arjuna. Dia bercita-cita menjadi seorang ekonom, karena gagal mengikuti mengikuti testing pada Fakultas Ekonomi di Perguruan Tinggi ternama melalui jalur UMPTN (frustration), kemudian dia dipaksa orang tuanya untuk melanjutkan pada salah satu program studi di FKIP UNIKU (motivasi ekstrinsik/substitusi), sehingga selama kuliah, dia belum menemukan apa tujuan kuliahnya.

Dia tidak begitu berminat mengikuti perkuliahan mata kuliah kependidikan, termasuk mata kuliah Psikologi Pendidikan (kurang merasakan adanya kebutuhan dan kekurangan motivasi). Pikirannya selalu terganggu bahwa seolah-olah dia sedang kuliah pada Fakutas Ekonomi di Perguruan Tinggi yang diidam-idamkannya dan dia merasa seolah-olah bakal menjadi Ekonom (fantasi). Dia sering tidak masuk kuliah, sekalipun dia masuk kuliah hanya sebatas takut dimarahi oleh dosen yang bersangkutan dan takut dinyatakan tidak lulus (kebutuhan rasa aman). Tugas-tugas yang diberikan dosen pun jarang dikerjakan, kalaupun dikerjakan hanya alakadarnya dan selalu telat disetorkan. Dia dihadapkan pada perang batin antara terus melanjutkan studi yang tidak sesuai dengan cita-citanya atau keluar dari kuliah dengan resiko orang tua akan marah besar terhadap dirinya (conflict).

Selama satu semester mengikuti perkuliahan Psikologi Pendidikan, dia hanya memperoleh sebagian kecil saja pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan dan pada akhirnya dia dinyatakan tidak lulus dan terpaksa harus mengikuti remedial. Sambil menangis (regresi), dia menyalahkan dosen bahwa dosennya tidak becus mengajar (proyeksi).

DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius

Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York : McMillan Publishing.

H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New York : McGraw-Hill Book Company

Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB – IKIP Bandung.

Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Syamsu Yusuf LN.2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/11/memahami-perilaku-individu-2/

Taksonomi Perilaku Individu

Kalau perilaku individu mencakup segala pernyataan hidup, betapa banyak kata yang harus dipergunakan untuk mendeskripsikannya. Untuk keperluan studi tentang perilaku kiranya perlu ada sistematika pengelompokan berdasarkan kerangka berfikir tertentu (taksonomi). Dalam konteks pendidikan, Bloom mengungkapkan tiga kawasan (domain) perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni : (1) kawasan kognitif; (2) kawasan afektif; dan (3) kawasan psikomotor. Taksonomi perilaku di atas menjadi rujukan penting dalam proses pendidikan, terutama kaitannya dengan usaha dan hasil pendidikan. Segenap usaha pendidikan seyogyanya diarahkan untuk terjadinya perubahan perilaku peserta didik secara menyeluruh, dengan mencakup semua kawasan perilaku. Dengan merujuk pada tulisan Gulo (2005), di bawah ini akan diuraikan ketiga kawasan tersebut beserta sub-kawasannya.

A. Kawasan Kognitif

Kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar terdiri dari :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan aspek kognitif yang paling rendah tetapi paling mendasar. Dengan pengetahuan individu dapat mengenal dan mengingat kembali suatu objek, ide prosedur, konsep, definisi, nama, peristiwa, tahun, daftar, rumus, teori, atau kesimpulan.

Dilihat dari objek yang diketahui (isi) pengetahuan dapat digolongkan sebagai berikut :

1. Mengetahui sesuatu secara khusus :

• Mengetahui terminologi yaitu berhubungan dengan mengenal atau mengingat kembali istilah atau konsep tertentu yang dinyatakan dalam bentuk simbol, baik berbentuk verbal maupun non verbal.

• Mengetahui fakta tertentu yaitu mengenal atau mengingat kembali tanggal, peristiwa, orang tempat, sumber informasi, kejadian masa lalu, kebudayaan masyarakat tertentu, dan ciri-ciri yang tampak dari keadaan alam tertentu.

2. Mengetahui tentang cara untuk memproses atau melakukan sesuatu :

• Mengetahui kebiasaan atau cara mengetengahkan ide atau pengalaman

• Mengetahui urutan dan kecenderungan yaitu proses, arah dan gerakan suatu gejala atau fenomena pada waktu yang berkaitan.

• Mengetahui penggolongan atau pengkategorisasian. Mengetahui kelas, kelompok, perangkat atau susunan yang digunakan di dalam bidang tertentu, atau memproses sesuatu.

• Mengetahui kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi fakta, prinsip, pendapat atau perlakuan.

• Mengetahui metodologi, yaitu perangkat cara yang digunakan untuk mencari, menemukan atau menyelesaikan masalah.

• Mengetahui hal-hal yang universal dan abstrak dalam bidang tertentu, yaitu ide, bagan dan pola yang digunakan untuk mengorganisasi suatu fenomena atau pikiran.

• Mengetahui prinsip dan generalisasi

• Mengetahui teori dan struktur.

2. Pemahaman (comprehension)

Pemahaman atau dapat dijuga disebut dengan istilah mengerti merupakan kegiatan mental intelektual yang mengorganisasikan materi yang telah diketahui. Temuan-temuan yang didapat dari mengetahui seperti definisi, informasi, peristiwa, fakta disusun kembali dalam struktur kognitif yang ada. Temuan-temuan ini diakomodasikan dan kemudian berasimilasi dengan struktur kognitif yang ada, sehingga membentuk struktur kognitif baru. Tingkatan dalam pemahaman ini meliputi :

• translasi yaitu mengubah simbol tertentu menjadi simbol lain tanpa perubahan makna. Misalkan simbol dalam bentuk kata-kata diubah menjadi gambar, bagan atau grafik;

• interpretasi yaitu menjelaskan makna yang terdapat dalam simbol, baik dalam bentuk simbol verbal maupun non verbal. Seseorang dapat dikatakan telah dapat menginterpretasikan tentang suatu konsep atau prinsip tertentu jika dia telah mampu membedakan, memperbandingkan atau mempertentangkannya dengan sesuatu yang lain. Contoh sesesorang dapat dikatakan telah mengerti konsep tentang “motivasi kerja” dan dia telah dapat membedakannya dengan konsep tentang ”motivasi belajar”; dan

• Ekstrapolasi; yaitu melihat kecenderungan, arah atau kelanjutan dari suatu temuan. Misalnya, kepada siswa dihadapkan rangkaian bilangan 2, 3, 5, 7, 11, dengan kemapuan ekstrapolasinya tentu dia akan mengatakan bilangan ke-6 adalah 13 dan ke-7 adalah 19. Untuk bisa seperti itu, terlebih dahulu dicari prinsip apa yang bekerja diantara kelima bilangan itu. Jika ditemukan bahwa kelima bilangan tersebut adalah urutan bilangan prima, maka kelanjutannnya dapat dinyatakan berdasarkan prinsip tersebut.

3. Penerapan (application)

Menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah atau menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang dikatakan menguasai kemampuan ini jika ia dapat memberi contoh, menggunakan, mengklasifikasikan, memanfaatkan, menyelesaikan dan mengidentifikasi hal-hal yang sama. Contoh, dulu ketika pertama kali diperkenalkan kereta api kepada petani di Amerika, mereka berusaha untuk memberi nama yang cocok bagi alat angkutan tersebut. Satu-satunya alat transportasi yang sudah dikenal pada waktu itu adalah kuda. Bagi mereka, ingat kuda ingat transportasi. Dengan pemahaman demikian, maka mereka memberi nama pada kereta api tersebut dengan iron horse (kuda besi). Hal ini menunjukkan bagaimana mereka menerapkan konsep terhadap sebuah temuan baru.

4. Penguraian (analysis)

Menentukan bagian-bagian dari suatu masalah dan menunjukkan hubungan antar-bagian tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu peristiwa atau memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan.

Secara rinci Bloom mengemukakan tiga jenis kemampuan analisis, yaitu :

1. Menganalisis unsur :

• Kemampuan melihat asumsi-asumsi yang tidak dinyatakan secara eksplisit pada suatu pernyataan

• Kemampuan untuk membedakan fakta dengan hipotesa.

• Kemampuan untuk membedakan pernyataan faktual dengan pernyataan normatif.

• Kemampuan untuk mengidentifikasi motif-motif dan membedakan mekanisme perilaku antara individu dan kelompok.

• Kemampuan untuk memisahkan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang mendukungnya.

2. Menganalisis hubungan

• Kemampuan untuk melihat secara komprehensif interrelasi antar ide dengan ide.

• Kemampuan untuk mengenal unsur-unsur khusus yang membenarkan suatu pernyataan.

• Kemampuan untuk mengenal fakta atau asumsi yang esensial yang mendasari suatu pendapat atau tesis atau argumen-argumen yang mendukungnya.

• Kemampuan untuk memastikan konsistensinya hipotesis dengan informasi atau asumsi yang ada.

• Kemampuan untuk menganalisis hubungan di antara pernyataan dan argumen guna membedakan mana pernyataan yang relevan mana yang tidak.

• Kemampuan untuk mendeteksi hal-hal yang tidak logis di dalam suatu argumen.

• Kemampuan untuk mengenal hubungan kausal dan unsur-unsur yang penting dan yang tidak penting di dalam perhitungan historis.

3. Menganalisis prinsip-prinsip organisasi

• Kemampuan untuk menguraikan antara bahan dan alat

• Kemampuan untuk mengenal bentuk dan pola karya seni dalam rangka memahami maknanya.

• Kemampuan untuk mengetahui maksud dari pengarang suatu karya tulis, sudut pandang atau ciri berfikirnya dan perasaan yang dapat diperoleh dalam karyanya.

• Kemampuan untuk melihat teknik yang digunakan dalam meyusun suatu materi yang bersifat persuasif seperti advertensi dan propaganda.

5. Memadukan (synthesis)

Menggabungkan, meramu, atau merangkai berbagai informasi menjadi satu kesimpulan atau menjadi suatu hal yang baru. Kemampuan berfikir induktif dan konvergen merupakan ciri kemampuan ini. Contoh: memilih nada dan irama dan kemudian manggabungkannya sehingga menjadi gubahan musik yang baru, memberi nama yang sesuai bagi suatu temuan baru, menciptakan logo organisasi

6. Penilaian (evaluation)

Mempertimbangkan, menilai dan mengambil keputusan benar-salah, baik-buruk, atau bermanfaat – tak bermanfaat berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif. Terdapat dua kriteria pembenaran yang digunakan, yaitu :

• Pembenaran berdasarkan kriteria internal; yang dilakukan dengan memperhatikan konsistensi atau kecermatan susunan secara logis unsur-unsur yang ada di dalam objek yang diamati.

• Pembenaran berdasarkan kriteria eksternal; yang dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang bersumber di luar objek yang diamati., misalnya kesesuaiannya dengan aspirasi umum atau kecocokannya dengan kebutuhan pemakai.

B. Kawasan Afektif

Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, terdiri dari :

1. Penerimaan (receiving/attending)

Kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu :

• Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada stimulus yang bersangkutan.

• Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan.

• Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja.

2. Sambutan (responding)

Mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi proses sebagai berikut :

• Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Contoh : mengajukan pertanyaan, menempelkan gambar dari tokoh yang disenangi pada tembok kamar yang bersangkutan, atau mentaati peraturan lalu lintas.

• Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat hal-hal khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau warna saja.

• Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui. Contoh kegiatan yang tampak dari kepuasan menanggapi ini adalah bertanya, membuat coretan atau gambar, memotret dari objek yang menjadi pusat perhatiannya, dan sebagainya.

3. Penilaian (valuing)

Pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap sebagai berikut :

1. Menerima nilai (acceptance of value), yaitu kelanjutan dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.

2. Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki yang memuaskan.

3. Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman.

4. Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang, menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian yang dihargainya.

4. Pengorganisasian (organization)

Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi dalam dua tahapan, yakni :

• Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain, atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.

• Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun perangkat nilai dalam suatu sistem berdasarkan tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat yang amat penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan seterusnya menurut urutan kepentingan.atau kesenangan dari diri yang bersangkutan.

5. Karakterisasi (characterization)

Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun, maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya mudah berubah-ubah sesuai situasi yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi, sistem itu selalu konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu :

• Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang tertentu.

• Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkutan

C. Kawasan Psikomotor

Kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : (a) kesiapan (set); (b) peniruan (imitation); (c) membiasakan (habitual); (d) menyesuaikan (adaptation) dan (e) menciptakan (origination).

• Kesiapan yaitu berhubungan dengan kesediaan untuk melatih diri tentang keterampilan tertentu yang dinyatakan dengan usaha untuk melaporkan kehadirannya, mempersiapkan alat, menyesuaikan diri dengan situasi, menjawab pertanyaan.

• Meniru adalah kemampuan untuk melakukan sesuai dengan contoh yang diamatinya walaupun belum mengerti hakikat atau makna dari keterampilan itu. Seperti anak yang baru belajar bahasa meniru kata-kata orang tanpa mengerti artinya.

• Membiasakan yaitu seseorang dapat melakukan suatu keterampilan tanpa harus melihat contoh, sekalipun ia belum dapat mengubah polanya.

• Adaptasi yaitu seseorang sudah mampu melakukan modifikasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan atau situasi tempat keterampilan itu dilaksanakan.

• Menciptakan (origination) di mana seseorang sudah mampu menciptakan sendiri suatu karya.

Sementara itu, Abin Syamsuddin Makmun (2003) memerinci sub kawasan ini dengan tahapan yang berbeda, yaitu :

• Gerakan refleks (reflex movements). Basis semua perilaku bergerak atau respons terhadap stimulus tanpa sadar, misalnya : melompat, menunduk, berjalan, dan sebagainya.

• Gerakan dasar biasa (Basic fundamental movements) yaitu gerakan yang muncul tanpa latihan tapi dapat diperhalus melalui praktik, yang terpola dan dapat ditebak.

• Gerakan Persepsi (Perceptual abilities) yaitu gerakan sudah lebih meningkat karena dibantu kemampuan perseptual.

• Gerakan fisik (Physical Abilities) yaitu gerakan yang menunjukkan daya tahan (endurance), kekuatan (strength), kelenturan (flexibility) dan kegesitan.

• Gerakan terampil (skilled movements) yaitu dapat mengontrol berbagai tingkatan gerak secara terampil, tangkas, dan cekatan dalam melakukan gerakan yang sulit dan rumit (kompleks).

• Gerakan indah dan kreatif (Non-discursive communication) yaitu mengkomunikasikan perasan melalui gerakan, baik dalam bentuk gerak estetik: gerakan-gerakan terampil yang efisien dan indah maupun gerak kreatif: gerakan-gerakan pada tingkat tertinggi untuk mengkomunikasikan peran.

Sumber Bacaan :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.

Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB – IKIP Bandung.

Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/30/taksonomi-perilaku-individu/

Memahami Emosi Individu

Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif Singer-Schachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan tentang emosi secara tunggal dan universal.

Terdapat sekitar 550 sampai 600 kata dalam bahasa Inggris yang memiliki makna yang sama dengan kata emosi, baik itu dalam bentuk kata kerja, kata benda, kata sifat, dan kata keterangan (Averil, 1975; Johnson Laird & Oatley, 1989; Storm & Storm, 1987). Meski tidak didapati rumusan emosi yang bersifat tunggal dan universal, tetapi tampaknya masih bisa ditemukan persesuaian umum bahwa keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam yang dibarengi dengan perasaan kuat atau disertai dengan keadaan afektif (J.P.Chaplin. 2005). English and English (Syamsu Yusuf, 2003) menyebut emosi ini sebagai “A complex feeling state accompanied by characteristic motor and grandular activities”. Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan emosi seseorang, Syamsu Yusuf (2003) memberikan penjelasan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

Terpesona Reaksi elektris pada kulit

Marah Peredaran darah bertambah cepat

Terkejut Denyut jantung bertambah cepat

Kecewa Bernafas panjang

Sakit marah Pupil mata membesar

Cemas Air liur mengering

Takut Berdiri bulu roma

Tegang Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.

Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri emosi, yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap, dan (3) banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Lebih jauh, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu:

1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir (Syamsu Yusuf, 2003)

2. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya.

3. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan.

4. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampaknya lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Menurut J.P. Chaplin (2005), motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai.

Di lain pihak, Fehr & Russel (1984) Shaver, Schwarts, Kirson & O’Connor (1987) menyebutkan, emosi memiliki tiga bentuk, yaitu passivity, intentionality, dan subjectivity. Passivity berasal dari kata Yunani kuno abad ke-18 yaitu “pathe”, artinya sama dengan “nafsu” atau “hasrat”. Makna dasar dari passivity adalah berubah secara drastis, terutama berubah menjadi sangat buruk. Kata “pasif” seringkali digunakan dalam menerangkan kata-kata emosi. Sehingga kata-kata semacam “jatuh cinta”, “terjebak amarah” dikonotasikan sebagai tindakan pasif. Artinya, emosi hanyalah tindakan refleks sebagai hasil pengalaman sensoris sederhana, yang berada di bawah kontrol pribadi. Padahal sejatinya, manusia hidup memiliki kontrol yang lebih tidak sekadar emosinya, sehingga emosi tidak sekadar pasif. Intentionality (kesengajaan) masih sering dikaitkan dengan “nafsu”, tapi bisa bermakna yang sama sekali berbeda dengan passivity jika diterapkan dalam pengertian sehari-hari. Intentionality maksudnya, bahwa emosi terjadi karena suatu kesengajaan. Misalnya, orang tidak marah secara tiba-tiba, tanpa sebab musabab tetapi selalu ada sesuatu yang membuat dia marah, atau takut terhadap sesuatu, senang terhadap sesuatu, dan seterusnya. Sesuatu itu adalah objek kesengajaan dari emosi, sebagai hasil dari evaluasi dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Subjectivity. Biasanya, emosi selalu dikaitkan dengan perbuatan subjektif sebagai akibat dari sebuah pengalaman diri terhadap objek eksternal. Meski demikian, emosi juga bersifat objektif, karena bisa dinilai sebagai baik atau buruk; bermanfaat atau berbahaya, bergantung kepada penilaian pribadi terhadap emosi tersebut.

Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.

Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).

Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious)

Sementara itu, Nana Syaodih Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu, diantaranya: (1) takut, cemas dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (2) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (3) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (4) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.

Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga.

Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan emosinya.

Sekilas telah dikemukakan di atas bahwa pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli.

Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.

Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan, mulai dari. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut

Usia Ciri-Ciri

Pada saat dilahirkan Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)

0 – 3 bln Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya

3 – 6 bln Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan

9 – 12 bln Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang

18 bulan pertama Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang

2 th Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan

5 th Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih sayang

2. Memelihara Emosi

Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.

1. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme. Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang menghadapi kesulitan.

2. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif. Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai positif.

3. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.

4. Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif, segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang kuat.

Sumber:

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis). Jakarta : Kanisius

Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company

Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.

Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.

Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/06/09/memahami-emosi-individu/

Faktor Keturunan dan Individu

Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan individu adalah faktor ketururan yang merupakan pembawaan sejak lahir atau berdasarkan keturunan, seperti : konstitusi dan struktur fisik, kecakapan potensial (bakat dan kecerdasan). Berbeda dengan faktor lingkungan, faktor keturunan pada umumnya cenderung bersifat kodrati yang sulit untuk dimodifikasi.

Seberapa kuat pengaruh keturunan sangat bergantung pada besarnya kualitas gen yang dimiliki oleh orang tuanya (ayah atau ibu).

Berdasarkan percobaannya dengan cara mengawinkan bunga merah dengan bunga putih, Gregor Mendel mengemukakan pandangannya, bahwa : (1) tiap-tiap sifat (traits) makhluk hidup itu dikendalikan oleh keturunan; (2) tiap-tiap pasangan faktor keturunan menentukan bentuk alternatif sesamanya, dan satu dari pada pasangan alternatif itu memegang pengaruh besar; dan (3) pada waktu proses pembentukan sel-sel kelamin, pasangan faktor keturunan itu memisah, dan tiap-tiap sel kelaminnya menerima salah satu faktor dari pasangan keturunan itu.

Hasil percobaan Mendel ini menjelaskan kepada kita bahwa faktor keturunan memegang peranan penting bagi perilaku dan pribadi individu. Beberapa asas tentang keturunan di bawah ini akan memberikan gambaran pembanding kepada kita tentang apa-apa yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya :

1.Asas Reproduksi

Menurut asas ini bahwa kecakapan (achievement) dari masing-masing ayah atau ibunya tidak dapat diturunkan kepada anak-anaknya. Sifat-sifat atau ciri-ciri perilaku yang diturunkan orang tua kepada anaknya hanyalah bersifat reproduksi, yaitu memunculkan kembali mengenai apa yang sudah ada pada hasil perpaduan benih saja, dan bukan didasarkan pada perilaku orang tua yang diperolehnya melalui hasil belajar atau hasil berinteraksi dengan lingkungannya.

2.Asas Variasi

Bahwa penurunan sifat pembawaan dari orang tua kepada anak-anaknya akan bervariasi, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini disebabkan karena pada waktu terjadinya pembuahan komposisi gen berbeda-beda, baik yang berasal dari ayah maupun ibu. Oleh karena itu, akan didapati beberapa perbedaan sifat dan ciri-ciri perilaku individu dari orang yang bersaudara, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama, sehingga mungkin saja kakaknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ayahnya sedangkan adiknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ibunya atau sebaliknya.

3.Asas Regresi Filial

Terjadi pensurutan sifat atau ciri perilaku dari kedua orangtua pada anaknya yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan pembawaan ayah dan ibunya, sehingga akan didapati sebagian kecil dari sifat-sifat ayahnya dan sebagian kecil pula dari sifat-sifat ibunya. Sedangkan perbandingannya mana yang lebih besar antara sifat-sifat ayah dan ibunya ini sangat tergantung kepada daya kekuatan tarik menarik dari pada masing-masing sifat keturunan tersebut.

4.Asas Jenis Menyilang

Menurut asas ini bahwa apa yang diturunkan oleh masing-masing orang tua kepada anak-anaknya mempunyai sasaran menyilang jenis. Seorang anak perempuan akan lebih banyak memilki sifat-sifat dan tingkah laku ayahnya, sedangkan bagi anak laki-laki akan lebih banyak memilki sifat pada ibunya.

5.Asas konformitas

Berdasarkan asas konformitas ini bahwa seorang anak akan lebih banyak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku yang diturunkan oleh kelompok rasnya atau suku bangsanya.Misalnya, orang Eropa akan menyerupai sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku seperti orang-orang Eropa lainnya dibandingkan dengan orang-orang Asia.

Asas-asas di atas hanya sekedar gambaran untuk memahami kemungkinan-kemungkinan tentang apa-apa yang diwariskan dari orang tua terhadap anaknya dan tidak bersifat mutlak

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/faktor-keturunan-dan-individu/

Pengaruh Lingkungan terhadap Individu

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.

Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.

Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :

1. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial

Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.

Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya.

Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali.

2. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu

Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya.

Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :

1. Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.

2. Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya.

3. Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.

4. Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga di kamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/07/pengaruh-lingkungan-terhadap-individu/

Pola Relasi Orangtua – Anak

Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi perkembangan individu. Sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga. Dalam hal ini, peranan orang tua menjadi amat sentral dan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Slater (Elizabeth Hurlock 1974:353) mengungkapkan tentang empat pola dasar relasi orang tua-anak yang bipolar beserta pengaruhnya terhadap kepribadian anak, yaitu :

1. tolerance-intolerance

Pengaruh yang mungkin dirasakan dari adanya sikap orang tua yang penuh toleransi, memungkinkan anak untuk dapat memiliki ego yang kuat. Sebaliknya, sikap tidak toleran cenderung akan menghasilkan ego yang lemah pada diri anak.

2. permissiveness – strictness

Relasi orang tua-anak yang permisif dapat membentuk menunjang proses pembentukan kontrol intelektual anak, namun sebaliknya kekerasan berdampak pada pembentukan pribadi anak yang impulsif.

3. involvement – detachment

Seorang anak cenderung akan menjadi ekstrovert, manakala orang tua dapat menunjukkan sikap mau terlibat dan peduli . Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu membiarkan berdampak terhadap pembentukan pribadi anak yang introvert.

4. warmth – coldness

Relasi orang tua-anak yang diwarnai kehangatan memungkinkan anak memiliki kemampuan untuk dapat melibatkan diri dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, relasi orang tua-anak yang dingin akan menyebabkan anak senantiasa menarik diri dari lingkungan sosialnya. Sikap dan perlakuan orang tua yang toleran, permisif, turut terlibat dan penuh kehangatan merupakan manifestasi dari penerimaan orang tua terhadap anak. Sedangkan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak toleran, keras, membiarkan dan dingin merupakan bentuk penolakan terhadap anak.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan harga diri anak, orang tua seyogyanya dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar bertanggung jawab dan menentukan dirinya sendiri. Di sini, orang tua hanya berperan sebagai fasilitator, yang berupaya untuk memberikan kesempatan yang luas kepada anak dalam meraih harga dirinya melalui pengembangan minat dan kecakapannya. Buss (1973) mengemukakan bahwa kasih sayang orang tua yang tulus (unconditional parental love) merupakan faktor penting yang dapat membentuk inti (core) dari harga diri anak. Berbagai studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seorang anak menjadi anti demokratis, prejudice, dan memiliki sikap permusuhan dari adanya sikap perlakuan orang tua yang keras (Hoffman, 1960; Harris, Gough & Martin, 1950; Lyle & Levitt, 1955). Studi yang dilakukan Radke (1946) menunjukkan bahwa anak merasa sedih, kurang bahagia, dan merasa sakit dengan adanya perlakuan orang tua yang disertai hukuman fisik. Sementara itu, studi yang dilakukan Symonds (1939) menyimpulkan bahwa : “… accepted children engaged predominantly in society behaviors, whereas rejected children menifested a number unacceptable behaviors.”

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/15/pola-relasi-orangtua-anak/

Kemampuan Individu (Kecerdasan dan Bakat)

Kecakapan individu dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kecakapan nyata (actual ability) dan kecakapan potensial (potential ability). Kecakapan nyata (actual ability) yaitu kecakapan yang diperoleh melalui belajar (achivement atau prestasi), yang dapat segera didemonstrasikan dan diuji sekarang.



Misalkan, setelah selesai mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di kelas), pada akhir perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen tentang materi yang disampaikannya (tes formatif). Ketika mahasiswa mampu menjawab dengan baik tentang pertanyaan dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan nyata (achievement).

Sedangkan kecakapan potensial merupakan aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri individu dan diperoleh dari faktor keturunan (herediter). Kecakapan potensial dapat dibagi ke dalam dua bagian yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi atau kecerdasan) dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes). C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya berhubungan dengan aspek intelektual saja, seperti teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi kode “g” (genaral factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific factor). Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2) kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning); (4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan (7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).

Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu:

a. Operasi Mental (Proses Befikir)

1. Cognition (menyimpan informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).

2. Memory Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).

3. Memory Recording (ingatan yang segera).

4. Divergent Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).

5. Convergent Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).

6. Evaluation (mengambil keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).

b. Content (Isi yang Dipikirkan

1. Visual (bentuk konkret atau gambaran).

2. Auditory.

3. Word Meaning (semantic).

4. Symbolic (informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).

5. Behavioral (interaksi non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).

c. Product (Hasil Berfikir)

1. Unit (item tunggal informasi).

2. Kelas (kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).

3. Relasi (keterkaitan antar informasi).

4. Sistem (kompleksitas bagian saling berhubungan).

5. Transformasi (perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).

6. Implikasi (informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).

Belakangan ini banyak orang menggugat tentang kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul, bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner (1993), mengemukakan teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya sebagai berikut :

1. Logical – Mathematical; kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir rasional.

2. Linguistic; kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.

3. Musical; kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.

4. Spatial; Kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut.

5. Bodily Kinesthetic; kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil.

6. Interpersonal; kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.

7. Intrapersonal; kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.

Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalam bertindak. Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang. Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia ialah Tes Binet Simon – walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan (scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices (PM) yang dikembangkan oleh Raven.

Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator – indikator kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.

Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test), SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan Aptitude Calassification Test).Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8) kecakapan gerak.

Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.

Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated Learning), Balitbang Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan komitmen terhadap tugas, yaitu:

1. Lancar berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);

2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;

3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis

4. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;

5. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);

6. Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya

7. Cermat atau teliti dalam mengamati;

8. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;

9. Mempunyai minat luas;

10. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;

11. Belajar dengan dan cepat;

12. Mampu mengemukakan dan mempertahankan pendapat;

13. Mampu berkonsentrasi;

14. Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.

Terkait dengan proses pembelajaran, yang perlu menjadi perhatian bahwa antara satu individu dengan individu lainnya pada dasarnya memiliki kecakapan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, guru seyogyanya dapat memahami dan mengembangkan kecakapan individu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Perhatian terhadap perbedaan individu dalam kecakapan merupakan salah satu prinsip yang harus dipenuhi di dalam proses pembelajaran . Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pun telah mencantumkannya sebagai salah satu prinsip yang harus dipenuhi dalam kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah

Sumber :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Depdiknas. 2003. Pedoman Penyelenggaraaan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

Syamsu Yusuf LN.2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/25/kemampuan-individu/

Kecerdasan Individu Delinkuen (Nakal)

Terlepas dari kontroversi tentang kecerdasan intelektual yang berkembang belakangan ini, beberapa penelitian klasik telah membuktikan bahwa kecerdasan intelektual memiliki korelasi dengan perilaku delinkuen. Sebagaimana disampaikan oleh Lewis M. Terman (1916) yang menginventarisir hasil-hasil penelitian dari beberapa peneliti di bawah ini :

Penelitian Renz terhadap 100 gadis di Ohio State Reformatory menunjukkan terdapat 36 persen yang memiliki kelemahan mental (feeble-minded).

Studi yang dilakukan Dr. Goddard terhadap 100 anak muda (juvenile) yang terlibat kasus hukum di Newark, New Jersey, hampir separuhnya dikategorikan memiliki kelemahan mental.

Dari 56 gadis delinkuen usia 14 s.d. 20 tahun yang diuji oleh Hill dan Goddard, hampir setengahnya menunjukkan tingkat inteligensi yang setara dengan usia 9 atau 10 tahun.

Dr. G. G. Fernald menguji terhadap 100 narapidana di Massachusetts State Reformatory, dan hasilnya menunjukkan hampir 95 persen adalah termasuk memiliki kelemahan mental.

Dari 1186 gadis yang diuji oleh Dewson di State Industrial School for Girls, Lancaster, Pennsylvania, menemukan 28 persen menunjukkan inteligensi di bawah normal.

Laporan penelitian Dr. Katherine Bement Davis terhadap 1000 kasus yang masuk di Bedford Home for Women, New York, menyatakan sedikitnya 157 orang termasuk memiliki kelemahan mental.

Dari 564 Wanita Tuna Susila yang dinvestigasi oleh Dr. Anna Dwyer yang terkait dengan kasus hukum di Municipal Court of Chicago, hanya 3 persen dari mereka yang berhasil lulus dari tingkat lima di sekolah. Meski tidak dilakukan tes mental, data ini mengindikasikan adanya kelemahan mental.

Pengujian yang dilakukan oleh Dr. George Ordahl dan Dr. Louise Ellison Ordahl pada berbagai kasus di Geneva School for Girls, Geneva, Illinois, menunjukan setidaknya 18 persen dari mereka termasuk mengalami kelemahan mental. Sedangkan pengujian yang dilakukannya terhadap Narapidana perempuan di Joliet Prison, Illinois, menemukan 50 persen dari mereka mengalami kelemahan mental dan 26 persen narapidana laki-laki. Pengujian di St. Charles School for Boys pun sama bahwa 26 persen dari mereka termasuk mengalami kelemahan mental

Pengujian yang dilakukan oleh Dr. J. Harold Williams terhadap 150 kasus delinkuen di Whittier State School for Boys, Whittier, California, hampir 28 persen mengalami kelemahan mental dan 25 persen memiliki kecerdasan yang termasuk border-line.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang tidak semua yang menunjukkan perilaku delinkuen adalah memiliki kelemahan mental, namun orang-orang yang memiliki kelemahan mental tampaknya cenderung berpotensi untuk memiliki perilaku delinkuen.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/kecerdasan-individu-delinkuen/

Teori-Teori Motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).

Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.

Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (disarikan dari berbagai sumber : Winardi, 2001:69-93; Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167).

1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.

Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :

• Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang;

• Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.

• Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhanuntuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)

Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa :

• Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;

• Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan;

• Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.

Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.

4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)

Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”.

Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.

Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik

5. Teori Keadilan

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :

• Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau

• Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu :

• Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;

• Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;

• Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;

• Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.

6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Bagan berikut ini menyajikan tentang model instruktif tentang penetapan tujuan.

7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.

8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku

Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.

Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.

Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.

Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.

Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.

Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.

9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.

Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .

Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/

Hakikat Cinta

Cinta merupakan suatu keadaan perasaan yang sifatnya kuat, menakjubkan, mendalam, dan penuh kelembutan terhadap suatu objek tertentu. Karena merupakan suatu yang bersifat personal, seringkali cinta dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin untuk diteliti secara eksperimental, sehingga para ahli psikologi pun mengalami kesulitan tersendiri untuk mengungkapkan dan menjelaskan lebih jauh tentang perasaan cinta ini. Kendati demikian, menurut para ahli bahwa perekembangan perasaan cinta seseorang pertama kali dibentuk dan diperoleh terutama dari ibu atau pengasuhnya pada masa bayi, melalui segenap upaya yang dilakukan ibu dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan dasar sang bayi.

Menurut Maslow, rasa dicintai dan mencintai merupakan salah satu kebutuhan penting manusia, setelah kebutuhan dasar dan kebutuhan rasa aman. John B. Watson salah seorang penganut behavioristik meyakini bahwa cinta itu ditimbulkan dari adanya rangsangan yang berkenaan dengan kulit pada wilayah erogenous. Pelukan, belaian, usapan dan kecupan halus seringkali digambarkan sebagai manifestasi dari rasa cinta. Sementara itu, dari kelompok Psikoanalis menganggap pentingnya menyusui sebagai bentuk jalinan cinta antara ibu dengan bayi. Menurut John Bowlby bahwa arti penting menyusui tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rasa haus atau lapar bayi semata, tetapi juga sebagai bentuk “primary object-clinging,” yaitu kebutuhan akan keakraban atau kehangatan melalui kontak fisik dengan sang ibu. Di lain pihak, Erich Fromm (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005) mengemukakan bahwa rasa cinta berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dari yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut melalui pembentukan suatu persekutuan dengan yang lain. Manusia sebagai individu berdiri sendiri terlepas dari yang lainnya. Karena kesendirian dan keterlepasannya dari yang lain ini seringkali merasa kesepian, merasa cemas, ia membutuhkan seseorang atau orang lain. Berkat adanya situasi ini tumbuhlah rasa cintanya akan orang lain atau suatu hal di luar dirinya. “Every person as a separate individual, experiences aloness. And so we strive actively to overcome our aloness by some form of love” (May, 1968).

Presscot, (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005) mengemukakan beberapa ciri rasa cinta:

1. Cinta melibatkan rasa empati. Seseorang yang mencintai berusaha memasuki perasaan dari orang yang dicintainya.

2. Orang yang mencintai sangat memperhatikan kebahagiaan, kesejahteraan dan perkembangan dari orang yang dicintainya.

3. Orang yang mencintai menemukan rasa senang, dan hal ini menjadi sumber bagi peningkatan kebahagiaan, kesejahteraan, dan perkembangan dirinya.

4. Orang yang mencintai melakukan berbagai upaya dan turut membantu orang yang dicintai untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemajuan.

Objek cinta tidak selalu manusia, bisa juga benda, keadaan, pekerjaan, negara, bangsa, tanah air, Tuhan, dsb. Dengan demikian karakteristik yang menjadi perhatian orang yang mencintai sesuai dengan objek yang dicintai ada perbedaan. Dengan mengutip dari Erich Fromm, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengetengahkan lima macam cinta yang berbeda, yaitu: cinta sahabat, cinta orang tua, cinta erotik, cinta diri sendiri, dan cinta Tuhan.

1. Cinta sahabat atau persaudaraan, adalah cinta yang paling dasar dan umum. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan orang lain. Kehidupan kelompok, kebersamaan, interaksi sosial merupakan kebutuhan dasar dari individu. Untuk membentuk kehidupan bersama, kehidupan kelompok, dan interaksi sosial yang baik perlu didasari oleh rasa senang, rasa bersahabat, rasa cinta dari individu ke individu yang lainnya.

2. Cinta orang tua (cinta ibu atau ayah) kepada anak. Cinta ini cinta murni, sebab tanpa didasari pamrih atau imbalan apapun, cinta orang tua benar-benar ditujukan bagi kepentingan anaknya. Cinta orang yang tulus (unconditional parental love) menjadi dasar bagi pembentukan inti harga diri (core of self esteem) anak (Buss, 1973)

3. Cinta erotik merupakan cinta antara jenis kelamin yang berbeda, antara pria dengan wanita. Cinta ini disebut cinta erotik karena mengandung dorongan-dorongan erotik atau seksual. Pada umumnya, perasaan cinta ini muncul dalam diri seseorang bersamaan dengan munculnya hormon seksual pada saat memasuki masa remaja awal. Jika perasaan cinta ini tidak terkendalikan dengan baik justru akan dapat menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan perilaku seksual.

4. Cinta diri sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa bertindak sebagai subjek dan juga sebagai objek. Berkenaan dengan masalah cinta, objek cintanya bisa dirinya sendiri. Kecintaaan terhadap diri sendiri yang berlebihan dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan mentalnya, dengan apa yang disebut narcisisme.

5. Cinta Tuhan merupakan manifestasi dari hubungan manusia dengan yang ghaib, yaitu yang menciptakannya. Cinta Tuhan lahir dari keyakinan agamanya, dan akan Tuhannya yang menentukan segala kehidupannya. Cinta Tuhan juga merupakan manifestasi dari kesediaan makhluk untuk berbakti kepada-Nya.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/06/16/hakikat-cinta/

Perilaku Sosial

Sebagai makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial.

Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1) Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan (3) Ekspressi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).

Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :

1. Ascendance-Social Timidity,

Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.

2. Dominace-Submissive

Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.

3. Social Initiative-Social Passivity

social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.

4. Independent-Depence

Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain

Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.

Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan pengaruh dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau

Sementara itu, Buhler (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tahap Ciri-Ciri

Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 )

Subyektif Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri

Kritis I ( 3 – 4 )

Trozt Alter Pembantah, keras kepala

Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 )

Masa Subyektif Menuju

Masa Obyektif Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan

Anak Sekolah ( 6 – 12 )

Masa Obyektif Membandingkan dengan aturan – aturan

Kritis II ( 12 – 13 )

Masa Pre Puber Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji

Remaja Awal ( 13 – 16 )

Masa Subyektif Menuju

Masa Obyektif Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut pandangnya

Remaja Akhir ( 16 – 18 )

Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemampuan dirinya

SUMBER BACAAN :

Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.

Krech et.al.1962. Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogakasha.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perilaku-sosial/

Self (Diri)

Self atau ego (istilah yang digunakan Freud) merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian seseorang, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita. Dalam pandangan klasik, sebagaimana disampaikan William James (1864-1929) dalam bukunya Human Nature and the Social Order, bahwa self terbagi ke dalam dua bagian, yaitu : (1) self sebagai obyek yang dapat diamati, menggambarkan tentang “me” atau apa yang dimilikinya; dan (2) self sebagai agen yang melakukan pengamatan, menggambarkan tentang “I” atau pelaku yang mengamati atau merasakan. Contoh : “ Saya pintar”. Kata “saya” menunjukkan self sebagai agen atau pelaku (I) dan “pintar” menunjukkan obyek yang dimilikinya (me).

Menurut Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) self atau ego merupakan eksekutif kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar.

Rogers mengemukakan tentang konsep self yang merupakan gabungan dari tiga unsur; (1) perceived self (bagaimana seseorang atau orang lain melihat tentang dirinya); (2) real self (bagaimana kenyataan tentang dirinya); dan (3) ideal self (apa yang dicita-citakan tentang dirinya). Ketiga unsur tersebut digambarkan bentuk segi tiga (triangle) dan ideal self menjadi dasar sekaligus inti bagi pembentukan kedua unsur self lainnya.

Menurut pandangannya, bahwa self merupakan sesuatu yang terorganisir, bersifat konsisten, dan berkembang melalui interkasi dengan lingkungannya. Pandangan ini tampaknya sejalan dengan pemikiran Charles Cooley“Human Nature and the Social Order” bahwa self hanya bisa dimengerti melalui interkasi dengan lingkungannya dan self dibangun berdasarkan pandangannya dan pandangan orang lain selama sepanjang hayatnya. (1864-1929) yang dituangkan dalam bukunya

Konsep lain tentang self dikemukakan oleh John F. Pietrofesa (1971) bahwa self terdiri tiga komponen, yaitu : (1) ideal self; (2) self as seen by self; dan (3) self as seen by others. Dalam keadaan ideal ketiga self ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat, sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga self tersebut merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.

Telah dikemukakan diatas bahwa self melibatkan kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita. Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya,terutama kesehatan mentalnya.

Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan pribadi yang bermasalah. Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran yang over estimate terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian. Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.

Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri (penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan masochisme.

Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak realistis dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/30/self-diri/

Ciri-Ciri Kepribadian yang Sehat dan Tidak Sehat

Hingga saat ini, para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :

1. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.

2. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.

3. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen

4. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa

5. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.

6. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut :

===================================================

Kepribadian yang sehat :

1. Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.

2. Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.

3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.

4. Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

5. Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

6. Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif (merusak)

7. Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.

8. Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.

9. Penerimaan sosial; mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

10. Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.

11. Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi) acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang)

===================================================

Kepribadian yang tidak sehat :

1. Mudah marah (tersinggung)

2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan

3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)

4. Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang

5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum

6. Kebiasaan berbohong

7. Hiperaktif

8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas

9. Senang mengkritik/ mencemooh orang lain

10. Sulit tidur

11. Kurang memiliki rasa tanggung jawab

12. Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan faktor yang bersifat organis)

13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama

14. Pesimis dalam menghadapi kehidupan

15. Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/04/kepribadian-individu/

Resep dan Gambaran Kepribadian Sukses ala New Psycho-Cybernetics

Maxwell Maltz dalam bukunya yang berjudul “The New Psycho-Cybernetics” (2004) memberi resep tentang gambaran kepribadian sukses, dengan rumusan akronim yang mudah diingat yaitu : SUCCESS. Berikut ini saripati resep yang diberikannya, yang mungkin akan berguna bagi Anda, dan tentunya sebagai bahan refleksi bagi saya sendiri.

1. Sense of Direction (Kesadaran akan Arah)

Carilah sasaran yang layak Anda capai. Lebih baik lagi kalau Anda tetapkan suatu proyek. Putuskanlah apa yang Anda inginkan dari satu situasi. Lihatlah ke depan, jangan ke belakang. Milikilah selalu sesuatu di depan Anda untuk dijadikan harapan.

Kembangkanlah “nostalgia masa depan” ketimbang masa lalu. “Nostalgia masa depan” itu bisa membuat awet muda. Bahkan tubuh Anda pun takkan berfungsi dengan baik, jika Anda tidak lagi menjadi seorang pencapai sasaran dan tidak mempunyai harapan apa-apa lagi. Karena alasan inilah seringkali seseorang meninggal tidak lama setelah pensiun.

Kalau Anda tidak berupaya mencapai sasaran, tidak memandang jauh ke depan, maka sesungguhnya Anda tidak benar-benar hidup.

Selain sasaran-sasaran murni pribadi Anda sendiri, milikilah setidaknya satu sasaran yang bukan pribadi, dimana Anda bisa menghubungkan diri. Berminatlah dalam proyek tertentu untuk membantu sesama, bukan karena wajib, melainkan atas kemauan Anda sendiri.

2. Understanding (Pengertian)

Pengertian bergantung kepada komunikasi yang baik. Anda tidak akan bereaksi tepat kalau informasi yang Anda tindaklanjuti itu keliru dalam mengartikannya.

Untuk mengatasi suatu masalah secara efektif Anda harus mengerti sifat sejatinya. Kebanyakan kegagalan kita dalam berhubungan antar manusia adalah karena salah pengertian. Kita berharap orang lain beraksi dan memberikan respons serta mencapai kesimpulan yang sama seperti kita dari serangkaian fakta atau keadaan.

Manusia bereaksi terhadap gambaran mental mereka sendiri, bukan terhadap segala apa adanya. Kebanyakan reaksi atau posisi orang lain itu bukanlah dimaksudkan untuk membuat kita menderita, sebagai keras kepala atau berniat jahat, melainkan karena mereka artikan dan mereka tafsirkan situasinya secara berbeda-beda. Mereka hanyalah bereaksi sesuai dengan apa yang –bagi mereka- tampaknya benar dalam situasinya.

Mengakui ketulusan orang lain ketika keliru, ketimbang menganggapnya sengaja atau berniat jahat, akan membantu melancarkan hubungan antar manusia dan melahirkan pengertian yang lebih baik diantara mereka.

Tanyakanlah kepada diri sendiri ”Bagaimanakah hal ini tampaknya bagi dia?” “Bagaimanakah ia menafsirkan situasi ini?” “Bagaimanakah perasaannya tentang hal ini?”. Cobalah mengerti mengapa ia bersikap seperti itu.

Seringkali kita ciptakan kebingungan ketika kita tambahkan opini kita sendiri terhadap fakta-fakta yang ada dan sampai pada kesimpulan yang keliru (fakta versus opini).

Fakta: Dua orang teman sedang berbisik-bisik dan berhenti ketika Anda datang

Opini: Pasti mereka sedang menggosipkan aku (reaksi negatif)

Jika Anda dapat menganalisa situasi secara tepat dan dapat memahami bahwa tindakan kedua teman Anda itu bukanlah dimaksudkan untuk menjengkelkan Anda, maka niscaya Anda pun dapat memilih respons yang lebih tepat dan produktif.

Kita harus dapat melihat kebenaran dan menerimanya, entah baik atau buruk. Seringkali kita warnai data yang diperoleh dengan ketakutan, kecemasan, atau hasrat kita sendiri.

Bertrand Russell pernah mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Hiltler kalah dalam Perang Dunia II adalah karena dia tidak sepenuhnya memahami situasinya. Para pembawa berita buruk dihukum. Tidak lama kemudian tak seorang pun berani mengatakan yang sebenarnya. (Mungkin hal ini pula salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan Soeharto dengan kebiasaan laporan Asal Bapak Senang-nya).

3. Courage (Keberanian)

Mempunyai sasaran serta memahami situasinya belumlah cukup. Anda harus mempunyai keberanian untuk bertindak, sebab hanya dengan tindakanlah, sasaran, hasrat, dan kepercayaan itu dapat dijabarkan menjadi kenyataan.

Seringkali perbedaan antara orang yang sukses dengan pecundang bukanlah karena kemampuan atau ide yang lebih baik, melainkan keberanian untuk bertaruh atas ide-idenya sendiri untuk mengambil resiko yang diperhitungkan dan untuk bertindak.

Kita sering membayangkan keberanian sebagai perbuatan kepahlawanan di medan pertempuran, ketika kapal kandas, atau dalam suatu krisis. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun sesungguhnya menuntut adanya keberanian.

Jangan berdiam diri yang hanya akan membuat Anda semakin terperangkap. Bersedialah membuat beberapa kesalahan, menderita sedikit kepedihan untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.

Berlatihlah sikap berani dengan “hal-hal kecil”, jangan tunggu hingga Anda bisa menjadi pahlawan besar dalam krisis yang parah. Dengan melatih berani dalam hal-hal kecil, kita dapat mengembangkan kuasa dan talenta untuk bertindak berani dalam urusan-urusan yang lebih penting.

4. Charity (Amal/Belas kasih)

Kepribadian sukses ditandai adanya minat dan menghargai sesamanya. Mereka menghormati martabat, masalah, serta kebutuhan sesamanya. Mereka memperlakukan sesamanya sebagai manusia, ketimbang sebagai pion dalam permainan mereka sendiri. Mereka sadar bahwa setiap orang adalah makhluk Tuhan dan individu yang unik yang layak diberikan martabat dan penghormatan.

Adalah fakta psikologis bahwa perasaan kita tentang diri sendiri cenderung berhubungan dengan perasaan kita tentang orang lain. Kalau seseorang merasa beramal kepada orang lain, dia pasti mulai merasa beramal terhadap dirinya.

Orang-orang yang merasa bahwa manusia itu tidak penting, tidak mungkin menghormati dan menghargai dirinya sendiri.

Salah satu metode yang paling dikenal dalam mengatasi rasa bersalah adalah berusaha berhenti mengutuk, membenci, menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan mereka.

Anda akan mengembangkan citra diri yang lebih baik dan lebih memadai kalau Anda mulai merasa bahwa orang lain itu lebih berharga.

Memperlakukan semua orang dengan hormat adalah amal, oleh sebab itu tidaklah selalu dibalas secara individual dan seketika. Anda tidak bisa memandangnya sebagai transaksi tetapi harus memandangnya sebagai konstribusi Anda terhadap masyarakat pada umumnya.

5. Esteem (Harga Diri)

Dari segala perangkap serta kejatuhan dalam kehidupan ini, harga diri adalah yang paling mematikan, dan paling sulit diatasi karena hal itu adalah lubang dirancang dan digali oleh tangan kita sendiri, yang terangkum dalam ungkapan” Percuma, aku tak bisa melakukannya”

Waspadalah terhadap pencuri kebahagiaan yaitu kritikus di dalam diri sendiri. Ketika kritikus dalam diri sendiri mulai merendahkan kita hendaknya kita tidak ragu-ragu berteriak “Hentikan!” dan menyuruhnya kembali ke pojoknya yang gelap, pantas dihukum karena meragukan kita.

Berhentilah membawa-bawa gambaran mental tentang diri sendiri sebagai individu yang kalah mampu dibandingkan dengan yang lain. Rayakanlah kemenangan Anda, entah besar atau kecil, kenalilah dan pupuklah kekuatan-kekuatan Anda, dan terus ingatlah diri sendiri bahwa Anda bukanlah kesalahan-kesalahan Anda.

Kata “menghargai diri” secara harfiah menghargai nilai diri. Mengapa manusia takjub melihat bintang-bintang, bulan, luasnya samudera, indahnya bunga atau matahari terbenam, tetapi kenapa harus merendahkan diri sendiri? Bukankah semua itu karya Sang Khalik yang juga menciptakan kita?

Menghargai nilai diri sendiri bukanlah egoisme, kecuali Anda berasumsi bahwa Andalah yang berjasa menjadikan diri sendiri Janganlah rendahkan produk-Nya hanya karena Anda sendiri yang kurang tepat menggunakannya.

Jadi, rahasia terbesar dari membangun harga diri ini adalah mulailah dengan berusaha menghargai sesama, hormatilah manusia manapun sebagai makhluk Tuhan yang unik dan sungguh sangat berharga.

Latihlah memperlakukan sesama Anda sebagai manusia yang berharga maka harga diri Anda sendiri pun akan meningkat. Sebab harga diri sejati bukanlah berkat hal-hal yang hebat yang telah Anda perbuat, tetapi berkat menghargai diri sendiri apa adanya–sebagai makhluk Tuhan

6. Self Confidence (Kepercayaan Diri)

Kepercayaan diri dibangun atas pengalaman sukses. Ketika kita pertama kali memulai sesuatu, kemungkinan besar kepercayaan diri kita kecil karena kita belum belajar dari pengalaman bahwa kita bisa sukses. Ini berlaku entah belajar sepeda, berbicara di depan publik, atau dalam aktivitas lainnya.

Adalah benar sekali bahwa sukses melahirkan sukses. Sekecil apapun kesuksesan seseorang dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk meraih sukses yang lebih besar.

Teknik penting untuk memupuk kepercayaan diri adalah dengan mengingat setiap kesuksesan yang dicapai di masa lalu dan berusaha melupakan kegagalan di masa lalu.

Tetapi apa yang seringkali dilakukan kebanyakan orang? Mereka justru seringkali menghancurkan kepercayaan dirinya, dengan mengingat kegagalan-kegagalan yang ditanamkan dalam emosinya, sementara kisah suksesnya terlupakan, sehingga akhirnya kepercayaan diri pun menghilang.

Tidak menjadi masalah seberapa sering Anda gagal di masa lalu, yang paling peting adalah upaya sukses yang seharusnya diingat, dikuatkan dan direnungkan.

Kalau kita amati kesuksesan orang lain, hampir semua kesuksesannya tidak pernah dilalui melalui jalan yang lempang, tetapi mereka justru menempuhnya secara zig-zag. Gunakanlah kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan sebagai cara untuk belajar, lalu singkirkanlah itu dari pikiran kita.

7. Self Acceptance (Penerimaan Diri)

Penerimaan diri artinya menerima diri kita sekarang secara apa adanya, dengan segala kesalahan, kelemahan, kekurangan, kekeliruan serta aset dan kekuatan-kekuatan kita. Kita harus menyadari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan kita sebelum kita dapat mengoreksinya.

Orang yang paling nelangsa serta tersiksa di dunia ini adalah mereka yang terus berupaya meyakinkan diri sendiri mau pun orang lain bahwa mereka adalah lain dari apa yang sesungguhnya. Tak ada kelegaan atau kepuasan ketika Anda akhirnya menanggalkan segala kepura-puraan dan bersedia menjadi diri sendiri. Berusaha mempertahankan kepura-puraan bukan saja merupakan tekanan mental yang hebat, tetapi juga akan terus menerus menuntun pada kekecewaan dan frustrasi pada saat seseorang beroperasi di dunia nyata dengan keadaan diri yang fiktif.

Mengubah citra diri tidaklah berarti mengubah diri Anda, melainkan mengubah gambaran mental Anda, estimasi Anda, konsepsi Anda dan kesadaran Anda akan diri. Kita bisa mengubah kepribadian kita, tetapi tak dapat mengubah diri dasar kita.

Belajarlah diri Anda apa adanya dan mulailah dari sana. Belajarlah untuk secara emosional mentolerir ketidaksempurnaan pada diri Anda. Penting kita sadari secara intelektual kekurangan-kekurangan kita tetapi janganlah sampai kita membenci diri sendiri karenanya. Janganlah membenci diri sendiri karena Anda tidak sempurna. Tak ada seorang pun yang sempurna dan mereka yang pura-pura dirinya sempurna akan terkurung dalam kenelangsaan.

Sumber :


Maxwell Maltz. 2004. The New Psycho-Cybernetics. (alih bahasa:Arvin Saputra, editor Lyndon Saputra). Batam: Interaksara


http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/04/23/resep-gambaran-kepribadian-sukses-ala-new-psycho-cybernetics/

20 Ciri – Ciri Orang yang Inovatif

Mitchell Ditkoff, Direktur dari Idea Champions, mengetengahkan tentang kualitas dari seorang inovator, dengan ciri-ciri sebagai berikut:



1. Challenges status quo; tidak merasa cepat puas dengan keadaan yang ada dan selalu mempertanyakan otoritas dan rutinitas serta mengkonfrontasikan asumsi-asumsi yang ada.

2. Curious; senantiasa mengeksplorasi lingkungannya dan menginvestigasi kemungkinan-kemungkinan baru, memiliki rasa kekaguman (sense of awe)

3. Self-motivated; tanggap terhadap kebutuhan dari dalam (inner needs) senantiasa secara proaktif memprakarsai proyek-proyek baru, menghargai setiap usaha.

4. Visionary; memiliki imaginasi yang tinggi dan memiliki pandangan yang jauh ke depan.

5. Entertains the fantastic; memunculkan ide-ide “gila”, memandang sesuatu yang tidak mungkin menjadi sebuah kemungkinan, memimpikan dan menghayalkan sesuatu yang besar-besar.

6. Takes risks; melampaui wilayah yang dianggap menyenangkan, berani mencoba dan menanggung kegagalan.

7. Peripatetic; merubah lingkungan kerja sesuai yang dibutuhkan, senang melakukan perjalanan (travelling) untuk memperoleh inspirasi atau pemikiran segar.

8. Playful/humorous; memliki ketertarikan terhadap hal-hal yang aneh dan mengagumkan, berani tampil beda, bertindak nekad, serta mudah dan sering tertawa layaknya seorang anak kecil.

9. Self-accepting; dapat mempertahankan ide-idenya dan menganggap “kesempurnaan sebagai musuh kebaikan”, tidak terikat dengan apa-apa yang diipandang baik menurut orang lain.

10. Flexible/adaptive –terbuka bagi setiap perubahan, mampu melakukan penyesuaian terhadap rencana-rencana yang telah dibuat, menyajikan berbagai solusi dan gagasan

11. Makes new connections; mampu melihat hubungan-hubungan diantara unsur-unsur yang terputus, mensintesakan dan mengkombinasikannya.

12. Reflective, menginkubasi setiap masalah dan tantangan, mencari dan merenungkan berbagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.

13. Recognizes (and re-cognizes) patterns; perseptif terhadap sesuatu dan dapat membedakannnya, dapat melihat kecenderungan dan prinsip serta mampu mengorganisasikannnya, dapat melihat ”the Big Picture.”

14. Tolerates ambiguity, merasa nyaman dalam situasi kacau (chaos), dapat menyajikan situasi paradoks, tidak tergesa-gesa membenarkan terhadap suatu ide yang muncul.

15. Committed to learning; berusaha mencari pengetahuan secara terus menerus, mensintesakan segala in put, menyeimbangkan setiap informasi yang terkumpul dan menyelaraskan setiap tindakan.

16. Balances intuition and analysis memilih dan memilah diantara pemikiran divergen dan pemikiran konvergen, memiliki intuisi tertentu sebelum melakukan analisis, meyakini apa yang sudah dianalisis dan menggunakannya secara hati-hati dengan menggunakan akal.

17. Situationally collaborative; berusaha menyeimbangkan pemikiran dari setiap individu, membuka pelatihan dan mencari dukungan organisasi.

18. Formally articulate; mengkomunikasikan setiap gagasan secara efektif, menterjemahkan konsep abstrak ke dalam bahasa penuh arti, menciptakan prototype atau model yang dianggap paling mudah

19. Resilient; merefleksi hal-hal dianggap mengecewakan atau yang tidak dinginkan, belajar dengan cepat dari umpan balik, berkemauan untuk mencoba dan terus mencoba lagi

20. Persevering; bekerja keras dan tekun, memperjuangkan gagasan-gagasan baru dengan gigih, memiliki komitmen terhadap hasil-hasil yang telah digariskan.


Harga Diri

Apakah harga diri atau self esteem itu? Coopersmith (Gilmore, 1974) mengemukakan bahwa: “….self esteem is a personal judgement of worthiness that is a personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself. Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sementara itu, Buss (1973) memberikan pengertian harga diri sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan. Merujuk pada kedua pendapat tersebut, maka harga diri dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehormatan diri, melalui sikap terhadap dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Selanjutnya, Buss (1973) mengemukakan dua macam penilaian diri (self judgement) yaitu : (1) temporary dan (2) enduring. Penilaian diri temporary menunjuk pada perilaku khusus dan situasi tertentu. Contoh: “Hari ini saya bermain sepak bola jelek sekali”. Hal ini dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan penilaian diri enduring lebih berpusat dan berkaitan dengan self yang mencakup hasil dari berbagai pengalaman hidup yang mendasar, seperti: afeksi dari orang lain dan prestasi yang dicapai.

Pada bagian lain Buss (1973) mengemukakan model harga diri yang terdiri dari core dan peripheral. Core lebih bersifat permanent dan terbentuk oleh adanya kasih sayang orang tua yang tulus dan faktor konstitusional. Sedangkan peripheral bersifat stable dan terbentuk oleh prestasi yang dicapai dan afeksi dari orang lain, yang merupakan kelanjutan dari afeksi dari orang tua, bisa berasal dari teman atau cinta kasih dari lawan jenis. Terkait dengan pembentukan harga diri ini, Maslow (Jordan et.al., 1979) mengemukakan bahwa: ”The feeling self esteem can be realistic if it is soundly based upon real capacity personal ablities, achievement, and efficiency.

Untuk lebih jelasnya tentang model harga diri dari Buss ini, dapat dilihat dalam gambar berikut:



Harga diri individu mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku yang ditampilkannya. Mc Dougall (1926) mengemukakan harga diri merupakan pengatur utama perilaku individu atau merupakan pemimpin bagi semua dorongan. Kepadanya bergantung kekuatan pribadi, tindakan dan integritas diri.

Rosenberg (Gilmore, 1974) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki harga diri mantap yaitu memiliki kehormatan dan menghargai diri sendiri seperti adanya. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki sikap penolakan diri, kurang puas terhadap diri sendiri, dan merasa rendah diri.

Harga diri merupakan salah satu kebutuhan penting manusia. Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya menempatkan kebutuhan individu akan harga diri sebagai kebutuhan pada level puncak, sebelum kebutuhan aktualisasi diri. Dikemukakannya, …most normal people have a need for self respect or self esteem and the esteem of others (Jordan et.al., 1979).

Balnadi Sutadipura (1983) menyebutkan bahwa kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan seseorang untuk merasakan bahwa dirinya seorang yang patut dihargai dan dihormati sebagai manusia yang baik. Hal senada dikemukakan Abdul Aziz Ahayadi (1985) bahwa kebutuhan harga diri sebagai kebutuhan seseorang untuk dihargai, diperhatikan dan merasa sukses. Dari kedua pendapat di atas dapat dimaknai, bahwa setiap individu normal pasti berharap dan menginginkan dapat merasakan hidup sukses, dihormati dan dihargai sebagai manusia.

Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan dampak negatif jika mereka tidak memiliki harga diri yang mantap. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan mereka akan memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya (Jordan et. al. 1979)


20 Ciri Kedewasaan Yang Sesungguhnya

Marc & Angel (2007) mengemukakan bahwa kedewasaan seseorang bukanlah terletak pada ukuran usianya, tetapi justru pada sejauhmana tingkat kematangan emosional yang dimilikinya. Berikut ini pemikirannya tentang ciri-ciri atau karakteristik kedewasaan seseorang yang sesungguhnya dilihat dari kematangan emosionalnya.

1. Tumbuhnya kesadaran bahwa kematangan bukanlah suatu keadaan tetapi merupakan sebuah proses berkelanjutan dan secara terus menerus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan diri.

2. Memiliki kemampuan mengelola diri dari perasaan cemburu dan iri hati.

3. Memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan mengevaluasi dari sudut pandang orang lain.

4. Memiliki kemampuan memelihara kesabaran dan fleksibilitas dalam kehidupan sehari-hari.

5. Memiliki kemampuan menerima fakta bahwa seseorang tidak selamanya dapat menjadi pemenang dan mau belajar dari berbagai kesalahan dan kekeliruan atas berbagai hasil yang telah dicapai.

6. Tidak berusaha menganalisis secara berlebihan atas hasil-hasil negatif yang diperolehnya, tetapi justru dapat memandangnya sebagai hal yang positif tentang keberadaan dirinya.

7. Memiliki kemampuan membedakan antara pengambilan keputusan rasional dengan dorongan emosionalnya (emotional impulse).

8. Memahami bahwa tidak akan ada kecakapan atau kemampuan tanpa adanya tindakan persiapan.

9. Memiliki kemampuan mengelola kesabaran dan kemarahan.

10. Memiliki kemampuan menjaga perasaan orang lain dalam benaknya dan berusaha membatasi sikap egois.

11. Memiliki kemampuan membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants).

12. Memiliki kemampuan menampilkan keyakinan diri tanpa menunjukkan sikap arogan (sombong).

13. Memiliki kemampuan mengatasi setiap tekanan (pressure) dengan penuh kesabaran.

14. Berusaha memperoleh kepemilikan (ownership) dan bertanggungjawab atas setiap tindakan pribadi.

15. Mengelola ketakutan diri (manages personal fears)

16. Dapat melihat berbagai “bayangan abu-abu” diantara ekstrem hitam dan putih dalam setiap situasi.

17. Memiliki kemampuan menerima umpan balik negatif sebagai alat untuk perbaikan diri.

18. Memiliki kesadaran akan ketidakamanan diri dan harga diri.

19. Memiliki kemampuan memisahkan perasaan cinta dengan berahi sesaat.

20. Memahami bahwa komunikasi terbuka adalah kunci kemajuan.

Sumber dan terjemahan bebas dari:

http://www.marcandangel.com/2007/08/17/what-is-adulthood-20-defining-characteristics-of-a-true-adult/

10 Kebiasaan Pribadi Sukses

Dalam bukunya yang berjudul ” 10 Kebiasaan Pribadi Sukses”, Dr. Ibrahim bin Hamd Al-Qu’ayyid memperkenalkan sejumlah konsep, trik-trik, dan hal-hal yang diperlukan dalam upaya merealisasikan kebahagiaan dan kesuksesan hidup. Buku tersebut ditulis berdasarkan hasil refleksinya selama menjalankan profesinya sebagai konselor. Buku ini hadir untuk mengungkapkan sebuah filsafat yang orisinil, didasarkan pada nilai-nilai Islami.

Buku berjudul “10 Kebiasaan Pribadi Sukses” ini berusaha menjelaskan masalah kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan manusia secara komprehensif, mencakup semua aspek kehidupan manusia baik ketika ia sedang menjalin hubungan dengan sang Khaliq, bekerja atau menekuni profesinya, maupun ketika sedang berinteraksi dengan keluarga dan masyarakatnya.

Dalam kata pengantarnya, dikemukakan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan akan datang dalam konteks pengabdian yang sebenarnya kepada Allah SWT dan pemakmuran bumi yang dilakukan dengan cara membangun peradaban manusia yang benar. Inilah prinsip utama yang menjadi landasan bagi isi buku ini secara keseluruhan.

Adapun esensi dari kesepuluh kebiasaan pribadi sukses ini adalah:

1. Berusaha Mencapai Keunggulan: usaha yang terus-menerus untuk meraih prestasi dalam hidup pada tiga bidang utama: konsisten meningkatkan kualitas iman dan hubungan kepada Allah SWT, konsisten meningkatkan kualitas profesionalisme, spesialisasi, produksi, kapabilats dan efektifitas dalam kerja dan profesi Anda dan konsisten dalam meningkatkan kualitas hubungan-hubungan positif Anda dengan orang lain.

2. Menentukan Tujuan: menentukan tujuan-tujuan hidup Anda (tujuan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek).

3. Perencanaan: menetapkan tujuan-tujuan Anda dalam program-program kerja dan jangka waktu tertentu (timing) yang bisa dijalankan.

4. Menyusun Prioritas: menentukan mana yang harus dilakukan pertama, kedua dan seterusnya, mana yang terpenting kemudian yang penting dari tujuan-tujuan, tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban dalam hidup ini.

5. Konsentrasi: memberikan perhatian terhadap tugas dan tanggung jawab atau kerja yang ada dihadapan Anda dan langsung mengerjakannya tanpa menunggu-nunggu lagi. Sebagaimana juga memfokuskan perhatian dalam spesialisai, bidang atau keahlian yang Anda yakinin bisa berprestasi dan kreatif dalam bidang tersebut.

6. Manajemen Waktu: memanfaatkan waktu yang ada dan menggunakannya sebaik-baiknya untuk mengembangkan keahlian-keahlian dan potensi kita agar tercapai tujuan-tujuan penting yang kita cita-citakan.

7. Berjuang Melawan Diri Sendiri: usaha yang terus-menerus untuk mengalahkan ego, menundukkan nafsu, mengarahkannya dan membiasakannya menghadapi tanggung-jawab dan resiko-resikonya, serta sabar dan teguh dalam prinsip-prinsip, nilai-nilai dan beberapa kewajiban agar tercapai kehidupan mulia yang kita idam-idamkan.

8. Keahlian Berkomunikasi: kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang lain. Bertujuan untuk memberikan pengaruh yang positif dalam hidup mereka dan supaya bisa hidup bersama mereka dalam suasana saling menghargai dan akhlak yang mulia.

9. Bepikir Positif: melihat dari sisi positif dalam semua hal, manusia dan peristiwa. Juga berpikir dengan cara yang didominasi unsur positif, prasangka baik, optimis dan melupakan sisi-sisi yang jelek.

10. Seimbang: berpikir dan bertindak dengan cara yang seimbang dalam hidup kita. Jangan sampai satu sisi lebih dominan dari sisi-sisi yang lain.


PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

Perkembangan Individu

1. Apa perkembangan individu itu?

Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan – perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.

2. Apa yang dimaksud dengan sistematis ?

Sistematis adalah bahwa perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan dalam perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang akan seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang remaja terhadap jenis kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ seksualnya.

3. Apa yang dimaksud dengan progresif ?

Progresif berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh : perubahan proporsi dan ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); perubahan pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai kepada yang kompleks (mulai dari mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca buku).

4. Apa yang dimaksud dengan berkesinambungan ?

Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh : untuk dapat berdiri, seorang anak terlebih dahulu harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan duduk dan merangkak.

5. Apa ciri-ciri perkembangan individu?

Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

1. Terjadinya perubahan dalam aspek :

• Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.

• Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.

2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.

• Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya.

• Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.

3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.

• Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar pineal.

• Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.

4. Diperolehnya tanda-tanda baru.

• Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita, tumbuh uban pada masa tua.

• Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.

6. Apa prinsip-prinsip perkembangan inidividu?

Prinip- prinsip perkembangan individu, yaitu :

1. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti.

2. Semua aspek perkembangan saling berhubungan.

3. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.

4. Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.

5. Setiap individu normal akan mengalami tahapan perkembangan.

6. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.

7. Bagaimana pola atau arah perkembangan inidividu?

Arah atau pola perkembangan sebagai berikut :

1. Cephalocaudal & proximal-distal (perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki dan dari tengah (jantung, paru dan sebagainya) ke samping (tangan).

2. Struktur mendahului fungsi.

3. Diferensiasi ke integrasi.

4. Dari konkret ke abstrak.

5. Dari egosentris ke perspektivisme.

6. Dari outer control ke inner control.

8. Bagaimana tahapan-tahapan perkembangan individu?

Dalam berbagai literatur kita dapati berbagai pendekatan dalam menentukan tahapan perkembangan individu, diantaranya adalah pendekatan didaktis. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf (2003) mengemukakan tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut :

Masa Usia Pra Sekolah

Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu (1) Masa Vital dan (2) Masa Estetik

1. Masa Vital; pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar pada tahun pertama dalam kehidupan individu , Freud menyebutnya sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar.Pada tahun kedua anak belajar berjalan sehingga anak belajar menguasai ruang, mulai dari yang paling dekat sampai dengan ruang yang jauh. Pada tahun kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan. Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya.

2. Masa Estetik; dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Anak bereksplorasi dan belajar melalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.

Masa Usia Sekolah Dasar

Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun) :

1. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi.

2. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.

3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri.

4. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain.

5. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

6. Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :

1. Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret.

2. Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar.

3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus.

4. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.

5. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.

6. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.

Masa Usia Sekolah Menengah

Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke dalam 3 bagian yaitu :

1. masa remaja awal; biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan mental, prestasi, serta sikap sosial,

2. masa remaja madya; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.

3. masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.

Masa Usia Kemahasiswaan (18,00-25,00 tahun)

Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup.

9. Apa tugas perkembangan individu itu?

Havighurst (1961) mengemukakan bahwa : “ A developmental task is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, succesful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disaproval by society, difficulty with later task.

10. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak-kanak awal (0,0–6.0) ?

Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa bayi dan kanak – kanak awal (0,0–6.0) adalah :

1. Belajar berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.

2. Belajar memakan makan padat.

3. Belajar berbicara.

4. Belajar buang air kecil dan buang air besar.

5. Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.

6. Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis.

7. Membentuk konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.

8. Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.

9. Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.

11. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah (6,0-12.0)?

Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa kanak – kanak akhir dan anak sekolah (0,0–6.0) adalah :

1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.

2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.

3. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.

5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.

6. Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.

7. Mengembangkan kata hati.

8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.

9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.

12. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada masa remaja (12,0-21.0)?

Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja (21,0–21.0) adalah :

1. Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.

3. Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif.

4. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

5. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.

6. Memilih dan mempersiapkan karier.

7. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.

8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.

9. Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.

10. Memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.

13. Tugas perkembangan apa yang harus dicapai pada Masa Dewasa Awal (21 – dst) ?

Tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa dewasa awal (21,0–dst) adalah :

1. Memilih pasangan.

2. Belajar hidup dengan pasangan.

3. Memulai hidup dengan pasangan.

4. Memelihara anak.

5. Mengelola rumah tangga.

6. Memulai bekerja.

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara.

8. Menemukan suatu kelompok yang serasi.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perkembangan-individu/

Tugas–Tugas Perkembangan Individu



Salah satu prinsip perkembangan bahwa setiap individu akan mengalami fase perkembangan tertentu, yang merentang sepanjang hidupnya. Pada setiap fase perkembangan ditandai dengan adanya sejumlah tugas-tugas perkembangan tertentu yang seyogyanya dapat dituntaskan.



Tugas–tugas perkembangan ini berkenaan dengan sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya dikuasai sesuai dengan usia atau fase perkembangannya. Havighurst (Abin Syamsuddin Makmun, 2009) memberikan pengertian tugas-tugas perkembangan bahwa: “A developmental task is a task which arises at or about a certain period in the life of the individual, succesful achievement of which leads to his happiness and to success with later task, while failure leads to unhappiness in the individual, disaproval by society, difficulty with later task”..

Tugas perkembangan individu bersumber pada faktor–faktor: (1) kematangan fisik; (2) tuntutan masyarakat secara kultural; (3) tuntutan dan dorongan dan cita-cita individu itu sendiri; dan (4) norma-norma agama.

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dikemukakan rincian tugas perkembangan dari setiap fase menurut Havighurst.

1. Tugas Perkembangan Masa Bayi dan Kanak-Kanak Awal (0,0–6.0)

• Belajar berjalan pada usia 9.0 – 15.0 bulan.

• Belajar memakan makan padat.

• Belajar berbicara.

• Belajar buang air kecil dan buang air besar.

• Belajar mengenal perbedaan jenis kelamin.

• Mencapai kestabilan jasmaniah fisiologis.

• Membentuk konsep-konsep sederhana kenyataan sosial dan alam.

• Belajar mengadakan hubungan emosional dengan orang tua, saudara, dan orang lain.

• Belajar mengadakan hubungan baik dan buruk dan pengembangan kata hati.

2. Tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Akhir dan Anak Sekolah (6,0-12.0)

• Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan.

• Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.

• Belajar bergaul dengan teman sebaya.

• Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.

• Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.

• Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.

• Mengembangkan kata hati.

• Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.

• Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja (12.0-21.0)

• Mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

• Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita.

• Menerima keadaan fisik dan menggunakannya secara efektif.

• Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

• Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.

• Memilih dan mempersiapkan karier.

• Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.

• Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara.

• Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.

• Memperoleh seperangkat nilai sistem etika sebagai petunjuk/pembimbing dalam berperilaku.

4. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

• Memilih pasangan.

• Belajar hidup dengan pasangan.

• Memulai hidup dengan pasangan.

• Memelihara anak.

• Mengelola rumah tangga.

• Memulai bekerja.

• Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara.

• Menemukan suatu kelompok yang serasi.

Sementara itu, Depdiknas (2003) memberikan rincian tentang tugas perkembangan masa remaja untuk usia tingkat SLTP dan SMTA, yang dijadikan sebagai rujukan Standar Kompetensi Layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yaitu :

1. Tugas Perkembangan Tingkat SLTP

• Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

• Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat.

• Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria atau wanita.

• Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

• Mengenal kemampuan bakat, dan minat serta arah kecenderungan karier dan apresiasi seni.

• Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau mempersiapkan karier serta berperan dalam kehidupan masyarakat.

• Mengenal gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial dan ekonomi.

• Mengenal sistem etika dan nilai-nilai sebagai pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia.

2. Tugas Perkembangan Peserta didik SLTA

• Mencapai kematangan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

• Mencapai kematangan dalam hubungan teman sebaya, serta kematangan dalam perannya sebagai pria dan wanita.

• Mencapai kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat

• Mengembangkan penguasaan ilmu, teknologi, dan kesenian sesuai dengan program kurikulum, persiapan karir dan melanjutkan pendidikan tinggi serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas.

• Mencapai kematangan dalam pilihan karir

• Mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial, intelektual dan ekonomi.

• Mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang berkehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

• Mengembangkan kemampuan komunikasi sosial dan intelektual serta apresiasi seni.

• Mencapai kematangan dalam sistem etika dan nilai.


Perkembangan Kognitif

Piaget, seorang ahli psikologi kognitif, mengemukakan 4 (empat) tahapan perkembangan kognitif individu , yaitu:

1. Tahap Sensori-Motor (0-2)

Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi fundasi tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dalam rentang 18 – 24 bulan barulah kemampuan object permanence anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.

2. Tahap Pra Operasional (2–7)

Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan sempurna tentang object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor, yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk mengembangkan diferred-imitation, insight learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.

3. Tahap konkret-operasional (7-11)

Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

4. Tahap formal-operasional (11-dewasa)

Pada periode ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif yaitu :

Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang dia respons dan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak; kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.

Dengan menggunakan hasil pengukuran tes inteligensi yang mencakup General Information and Verbal Analogies, Jones dan Conrad (Loree dalam Abin Syamsuddin M, 2001) menunjukkan bahwa laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai masa remaja, setelah itu kepesatannya berangsur menurun.

Puncak perkembangan pada umumnya tercapai di penghujung masa remaja akhir. Perubahan-perubahan amat tipis sampai usia 50 tahun, dan setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai dengan usia 60 tahun selanjutnya berangsur menurun.

Dengan berpatokan kepada hasil tes IQ, Bloom (1964) mengungkapkan prosentase taraf perkembangan sebagai berikut :

Usia Perkembangan

1 tahun Sekitar 20 %

4 tahun Sekitar 50 %

8 tahun Sekitar 80 %

13 tahun Sekitar 92 %

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/perkembangan-kognitif/

Perkembangan Individu secara Didaktis

Syamsu Yusuf (2003), di bawah ini mengemukakan tentang tahapan perkembangan individu dengan menggunakan pendekatan didaktis, sebagai berikut:

1. Masa Usia Pra Sekolah;

Masa Usia Pra Sekolah terbagi dua yaitu (1) Masa Vital dan (2) Masa Estetik

• Masa Vital; pada masa ini individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar pada tahun pertama dalam kehidupan individu , Freud menyebutnya sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan dan merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar. Pada tahun kedua anak belajar berjalan sehingga anak belajar menguasai ruang, mulai dari yang paling dekat sampai dengan ruang yang jauh. Pada tahun kedua umunya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan. Melalui latihan kebersihan, anak belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan-dorongan yang datang dari dalam dirinya.

• Masa Estetik; dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Anak bereksplorasi dan belajarmelalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.melalui panca inderanya. Pada masa ini panca indera masih sangat peka.

2. Masa Usia Sekolah Dasar

Masa Usia Sekolah Dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Masa Usia Sekolah Dasar terbagi dua, yaitu : (a) masa kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah(6/7 – 9/10 tahun):

• Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi

• Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional.

• Adanya kecenderungan memuji diri sendiri

• Membandingkan dirinya dengan anak yang lain

• Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

• Pada masa ini (terutama usia 6 – 8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10-12/13 tahun) :

• Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret

• Amat realistik, rasa ingin tahu dan ingin belajar

• Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus

• Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya

• Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya.

• Gemar membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama. Dalam permainan itu mereka tidak terikat lagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri.

3. Masa Usia Sekolah Menegah

Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja, yang terbagai ke dalam 3 bagian yaitu :

• Masa remaja awal; biasanya ditandai dengan sifat-sifat negatif, dalam jasmani dan mental, prestasi, serta sikap sosial,

• Masa remaja ; pada masa ini mulai tumbuh dorongan untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya. Pada masa ini sebagai masa mencari sesuatu yang dipandang bernilai, pantas dijunjung dan dipuja.

• Masa remaja akhir; setelah remaja dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapai masa remaja akhir dan telah terpenuhi tugas-tugas perkembangan pada masa remaja, yang akan memberikan dasar bagi memasuki masa berikutnya yaitu masa dewasa.

4. Masa Usia Kemahasiswaan (18,00-25,00 tahun)

Masa ini dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya, yang intinya pada masa ini merupakan pemantapan pendirian hidup.


Perkembangan Karier

Perkembangan karier sangat erat kaitannya dengan pekerjaan seseorang. Keberhasilan seseorang dalam suatu pekerjaan bukanlah sesuatu yang diperoleh secara tiba-tiba atau secara kebetulan, namun merupakan suatu proses panjang dari tahapan perkembangan karier yang dilalui sepanjang hayatnya, mulai dari usaha memperoleh kesadaran karier, eksplorasi karier, persiapan karier hingga sampai pada penempatan kariernya.

Tylor & Walsh (1979) menyebutkan bahwa kematangan karier individu diperoleh manakala ada kesesuaian antara perilaku karier dengan perilaku yang diharapkan pada umur tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perilaku karier yaitu segenap perilaku yang ditampilkan individu dalam usaha menyiapkan masa depan untuk memperoleh kematangan kariernya.

Selanjutnya, berkenaan dengan tahapan perkembangan karier, Zunker (Popon Sy. Arifin,1983) mengemukakan lima tahapan perkembangan karier individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut:

Tahap Ciri-Ciri Usia

Growth Development of capacity, attitudes, interest, and needs associated with self concept (birth -14 or 15)

Exploratory Tentative phase in which choices are narrowed but not finalized (15 – 24)

Establishment Trial and stabilization trhough work experiences (25 – 44)

Maintenance A continual adjustment process to improve working position and situation (45 – 64)

Decline Preretirement consideration, work out put, and eventual retirement. (65 – …)


Perkembangan Kepribadian

Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan mungkin terjadi, terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor fisik. Erikson dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 2005 mengemukakan tahapan perkembangan kepribadian dengan kecenderungan yang bipolar:

1. Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.

2. Masa kanak-kanak awal (early childhood ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai-batas-batas tertentu anak sudahbisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak laindia ga telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

3. Masa pra sekolah(Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.

4. Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.

5. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan kecakapan–kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.

6. Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa iniikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

7. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan generativity – stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal – hal tertentu ia mengalami hambatan.

8. Masa hari tua (Senescence)ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.

Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :

Developmental Stage Basic Components

Infancy

Early childhood

Preschool age

School age

Adolescence

Young adulthood

Adulthood

Senescence Trust vs Mistrust

Autonomy vs Shame, Doubt

Initiative vs Guilt

Industry vs Inferiority

Identity vs Identity Confusion

Intimacy vs Isolation

Generativity vs Stagnation

Ego Integrity vs Despair


Perkembangan Perilaku Konatif

Perilaku konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor penggerak perilaku seseorang yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhannya. Freud (Di Vesta & Thompson dalam Abin Syamsuddin,2003) mengemukakan tentang tahapan-tahapan perkembangan perilaku yang berhubungan obyek pemuasan psychosexual, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini :

Daerah Sensitif Cara Pemuasan Sasaran Pemuasan

A. MASA BAYI DAN KANAK-KANAK (INFANCY PERIOD)

Pre Genital Period Infantile Sexuality

Oral Stage Mulut dan benda

Early Oral Menghisap ibu jari Mulut sendiri, memilih dan memasukkanbenda kemulut

Memilih benda dan digigitnya secara sadis

Late Oral Menggigit, merusak dengan mulut

Anal Stage Dubur dan benda

Early Anal Memeriksa dan memainkan duburnya Memilih benda dan menyentuhnya/memasukkan ke dubur

Late Anal Memainkan dan memperhatikan duburnya

Early GenitalPeriod (phalic stage) Menyentuh, memegang, melihat, menunjukkan alat kelaminnya Ditujukan kepada orang tuanya (oediphus atau electra phantaties)

B. MASA ANAK SEKOLAH (LATENCY PERIOD)

No New Zone

(tidak ada daerah sensitif baru) Represi

Reaksi formasi

Sublimasi dan kecen- derungan kasih sayang Berkembangnya perasaan–perasaan sosial

C. MASA REMAJA (ADOLESENCE PERIOD)

Late Genital Period

Hidup kembali daerah sensitif waktu masa kanak-kanak Mengurangi cara-cara waktu masa kanak-kanak Menyenangi diri sendiri (narcisism) atau objek oediphus-nya

Objek pemuasannya mungkin diri sendiri/sejenis (homosexual) atau lain jenis(heterosexual)

Akhirnya,siap berfungsinya alat kelamin Munculnya cara orang dewasa memperoleh pemuasan

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/05/perkembangan-perilaku-konatif/

Perkembangan Moralitas

Ketika individu mulai menyadari bahwa ia merupakan bagian dari lingkungan sosial dimana ia berada, bersamaan itu pula individu mulai menyadari bahwa dalam lingkungan sosialnya terdapat aturan-aturan, norma-norma/nilai-nilai sebagai dasar atau patokan dalam berperilaku. Keputusan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang berlaku dan nilai yang dianutnya itu disebut moralitas. Dalam hal ini, Kohlberg mengemukakan tahapan perkembangan moralitas individu, sebagaimana tampak dalam tabel berikut :

Tingkat Tahap

Pre Conventional (0 – 9) Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman

Relativistik hedonism

Conventional (9 – 15) Orientasi mengenai anak yang baik

Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas

Post Conventional ( > 15 ) Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial

Prinsip etis universal


Problema Masa Remaja

Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Harold Alberty (1957) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai dengan awal masa dewasa. Conger berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang amat kritis yang mungkin dapat erupakan the best of time and the worst of time.

Kita menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja :

• Freud menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi-mengisi.Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.

• Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai suatu masa pembentukan sikap-sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu.

• G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang (badai dan topan).

Para ahli umumnya sepakat bahwa rentangan masa remaja berlangsung dari usia 11-13 tahun sampai dengan 18-20 th (Abin Syamsuddin, 2003). Pada rentangan periode ini terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para ahli mengklasikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian yaitu: (1) remaja awal (11-13 th s.d. 14-15 th); dan (2) remaja akhir (14-16 th s.d.18-20 th).

Masa remaja ditandai dengan adanya berbagai perubahan, baik secara fisik maupun psikis, yang mungkin saja dapat menimbulkan problema tertentu bagi si remaja. pabila tidak disertai dengan upaya pemahaman diri dan pengarahan diri secara tepat, bahkan dapat menjurus pada berbagai tindakan kenakalan remaja dan kriminal. Problema yang mungkin timbul pada masa remaja diantaranya :

Problema berkaitan dengan perkembangan fisik dan motorik.

Pada masa remaja ditandai dengan adanya pertumbuhan fisik yang cepat. Keadaan fisik pada masa remaja dipandang sebagai suatu hal yang penting, namun ketika keadaan fisik tidak sesuai dengan harapannya (ketidaksesuaian antara body image dengan self picture) dapat menimbulkan rasa tidak puas dan kurang percaya diri. Begitu juga, perkembangan fisik yang tidak proporsional. Kematangan organ reproduksi pada masa remaja membutuhkan upaya pemuasan dan jika tidak terbimbing oleh norma-norma dapat menjurus pada penyimpangan perilaku seksual.

Problema berkaitan dengan perkembangan kognitif dan bahasa.

Pada masa remaja awal ditandai dengan perkembangan kemampuan intelektual yang pesat. Namun ketika, si remaja tidak mendapatkan kesempatan pengembangan kemampuan intelektual, terutama melalui pendidikan di sekolah, maka boleh jadi potensi intelektualnya tidak akan berkembang optimal. Begitu juga masa remaja, terutama remaja awal merupakan masa terbaik untuk mengenal dan mendalami bahasa asing. Namun dikarenakan keterbatasan kesempatan dan sarana dan pra sarana, menyebabkan si remaja kesulitan untuk menguasai bahasa asing. Tidak bisa dipungkiri, dalam era globalisasi sekarang ini, penguasaan bahasa asing merupakan hal yang penting untuk menunjang kesuksesan hidup dan karier seseorang. Namun dengan adanya hambatan dalam pengembangan ketidakmampuan berbahasa asing tentunya akan sedikit-banyak berpengaruh terhadap kesuksesan hidup dan kariernya. Terhambatnya perkembangan kognitif dan bahasa dapat berakibat pula pada aspek emosional, sosial, dan aspek-aspek perilaku dan kepribadian lainnya.

Problema berkaitan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas dan keagamaan.

Masa remaja disebut pula sebagai masa social hunger (kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (peer group). Penolakan dari peer group dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya. Problema perilaku sosial remaja tidak hanya terjadi dengan kelompok sebayanya, namun juga dapat terjadi dengan orang tua dan dewasa lainnya, termasuk dengan guru di sekolah. Hal ini disebabkan pada masa remaja, khususnya remaja awal akan ditandai adanya keinginan yang ambivalen, di satu sisi adanya keinginan untuk melepaskan ketergantungan dan dapat menentukan pilihannya sendiri, namun di sisi lain dia masih membutuhkan orang tua, terutama secara ekonomis. Sejalan dengan pertumbuhan organ reproduksi, hubungan sosial yang dikembangkan pada masa remaja ditandai pula dengan adanya keinginan untuk menjalin hubungan khusus dengan lain jenis dan jika tidak terbimbing dapat menjurus tindakan penyimpangan perilaku sosial dan perilaku seksual. Pada masa remaja juga ditandai dengan adanya keinginan untuk mencoba-coba dan menguji kemapanan norma yang ada, jika tidak terbimbing, mungkin saja akan berkembang menjadi konflik nilai dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.

Problema berkaitan dengan perkembangan kepribadian, dan emosional.

Masa remaja disebut juga masa untuk menemukan identitas diri (self identity). Usaha pencarian identitas pun, banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba, perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan keadaan diri yang sebenarnya. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.

Selain yang telah dipaparkan di atas, tentunya masih banyak problema keremajaan lainnya. Timbulnya problema remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Agar remaja dapat terhindar dari berbagai kesulitan dan problema kiranya diperlukan kearifan dari semua pihak. Upaya untuk memfasilitasi perkembangan remaja menjadi amat penting. Dalam hal ini, peranan orang tua, sekolah,

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/problema-masa-remaja-2/

Perkembangan Keagamaan

Dengan melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya, pada saat-saat tertentu, individu akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu disebut pengalaman keagamaan (religious experience) (Zakiah Darajat, 1970). Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.

Abin Syamsuddin (2003) menjelaskan tahapan perkembangan keagamaan, beserta ciri-cirinya sebagai berikut :

1. Masa Kanak-Kanak Awal

• Sikap reseptif meskipun banyak bertanya

• Pandangan ke-Tuhan-an yang dipersonifikasi

• Penghayatan secara rohaniah yang belum mendalam

• Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya)

2. Masa Kanak-Kanak Akhir

• Sikap reseptif yang disertai pengertian

• Pandangan ke-Tuhan-an yang diterangkan secara rasional

• Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.

3. Masa Remaja Awal

• Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat realita orang – orang beragama yang hypocrit (pura-pura)

• Pandangan ke-Tuhan-an menjadi kacau, karena beragamnya aliran paham yang saling bertentangan

• Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik, sehingga banyak yang enggan melaksanakan ritual yang selama ini dilakukan dengan penuh kepatuhan

4. Masa Remaja Akhir

• Sikap kembali ke arah positif, bersamaan dengan kedewasaan intelektual bahkan akan agama menjadi pegangan hidupnya

• Pandangan ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.

• Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja, ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran manusia

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perkembangan-keagamaan/

Karakteristik Perilaku dan Pribadi pada Masa Remaja

Abin Syamsuddin Makmun, (2003) memerinci karakteristik perilaku dan pribadi pada masa remaja, yang terbagi ke dalam bagian dua kelompok yaitu remaja awal (11-13 s.d. 14-15 tahun) dan remaja akhir (14-16 s.d. 18-20 tahun) meliputi aspek : fisik, psikomotor, bahasa, kognitif, sosial, moralitas, keagamaan, konatif, emosi afektif dan kepribadian, sebagai berikut:

Remaja Awal

(11-13 Th s.d.14-15 Th) Remaja Akhir

(14-16 Th.s.d.18-20 Th)

Fisik

Laju perkembangan secara umum berlangsung pesat Laju perkembangan secara umum kembali menurun, sangat lambat

Proporsi ukuran tinggi dan berat badan sering- kali kurang seimbang Proporsi ukuran tinggi dan berat badan lebih seimbang mendekati kekuatan orang dewasa

Munculnya ciri-ciri sekunder (tumbul bulu pada pubic region, otot mengembang pada bagian – bagian tertentu), disertai mulai aktifnya sekresi kelenjar jenis kelamin (menstruasi pada wanita dan day dreaming pada laki-laki Siap berfungsinya organ-organ reproduktif seperti pada orang dewasa

Psikomotor

Gerak – gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan Gerak gerik mulai mantap

Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan Jenis dan jumlah cabang permainan lebih selektif dan terbatas pada keterampilan yang menunjang kepada persiapan kerja

Bahasa

Berkembangnya penggunaan bahasa sandi dan mulai tertarik mempelajari bahasa asing Lebih memantapkan diri pada bahasa asing tertentu yang dipilihnya

Menggemari literatur yang bernafaskan dan mengandung segi erotik, fantastik dan estetik Menggemari literatur yang bernafaskan dan mengandung nilai-nilai filosofis, ethis, religius

Perilaku Kognitif

Proses berfikir sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (asosiasi, diferen-siasi, komparasi, kausalitas) yang bersifat abstrak, meskipun relatif terbatas Sudah mampu meng-operasikan kaidah-kaidah logika formal disertai kemampuan membuat generalisasi yang lebih bersifat konklusif dan komprehensif

Kecakapan dasar intelektual menjalani laju perkembangan yang terpesat Tercapainya titik puncak kedewasaan bahkan mungkin mapan (plateau) yang suatu saat (usia 50-60) menjadi deklinasi

Kecakapan dasar khusus (bakat) mulai menujukkan kecenderungan-kecende- rungan yang lebih jelas Kecenderungan bakat tertentu mencapai titik puncak dan kemantapannya

Perilaku Sosial

Diawali dengan kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat temporer Bergaul dengan jumlah teman yang lebih terbatas dan selektif dan lebih lama (teman dekat)

Adanya kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi Kebergantungan kepada kelompok sebaya berangsur fleksibel, kecuali dengan teman dekat pilihannya yang banyak memiliki kesamaan minat

Moralitas

Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan dan bantuan dari orang tua Sudah dapat memisahkan antara sistem nilai – nilai atau normatif yang universal dari para pendukungnya yang mungkin dapat ber-buat keliru atau kesalahan

Dengan sikapnya dan cara berfikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para pendukungnya Sudah berangsur dapat menentukan dan menilai tindakannya sendiri atas norma atau sistem nilai yang dipilih dan dianutnya sesuai dengan hati nuraninya

Mengidentifikasi dengan tokoh moralitas yang dipandang tepat dengan tipe idolanya Mulai dapat memelihara jarak dan batas-batas kebebasan- nya mana yang harus dirundingkan dengan orang tuanya

Perilaku Keagamaan

Mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipertanyakan secara kritis dan skeptis Eksistensi dan sifat kemurah-an dan keadilan Tuhan mulai dipahamkan dan dihayati menurut sistem kepercayaan atau agama yang dianutnya

Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan atas pertimbangan adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari mulai dilakukan atas dasar kesadaran dan pertimbangan hati nuraninya sendiri secara tulus ikhlas

Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidup Mulai menemukan pegangan hidup

Konatif, Emosi, Afektif dan Kepribadian

Lima kebutuhan dasar (fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktualisasi diri) mulai menunjukkan arah kecenderungannya Sudah menunjukkan arah kecenderungan tertentu yang akan mewarnai pola dasar kepribadiannya

Reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya masih labil dan belum terkendali seperti pernya-taan marah, gembira atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah dan silih berganti dalam yang cepat Reaksi-reaksi dan ekspresi emosinalnya tampak mulai terkendali dan dapat menguasai dirinya

Kecenderungan-kecenderungan arah sikap nilai mulai tampak (teoritis, ekonomis, estetis, sosial, politis, dan religius), meski masih dalam taraf eksplorasi dan mencoba-coba Kecenderungan titik berat ke arah sikap nilai tertentu sudah mulai jelas seperti yang akan ditunjukkan oleh kecenderungan minat dan pilihan karier atau pendidikan lanjutannya; yang juga akan memberi warna kepada tipe kepribadiannya

Merupakan masa kritis dalam rangka meng-hadapi krisis identitasnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi psiko-sosialnya, yang akan membentuk kepribadiannnya Kalau kondisi psikososialnya menunjang secara positif maka mulai tampak dan ditemukan identitas kepriba-diannya yang relatif definitif yang akan mewarnai hidupnya sampai masa dewasa

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/05/karakteristik-perilaku-dan-pribadi-pada-masa-remaja/

APLIKASI PSIKOLOGI PENDIDIKAN